14 Maret.
Peluh Ronan sudah bercucuran deras. Irama jantungnya tak lagi beraturan. Namun, ia tetap semangat menggerakkan tubuhnya berirama. Membuat seorang gadis mungil di bawah kungkungan tangannya menjerit-jerit tak keruan.
"Ronaaan!"
"Bagus, Sebut namaku, Gina!"
"Ro-nan,a-ku, su-dah tidak—"
Ronan memutus ucapan terbata Gina dengan satu lumatan dalam. Ia mengisap bibir seksi itu kuat-kuat. Bahkan, Ronan tak memberi Gina kesempatan untuk bernapas. Dia terus mengejar kepuasannya sendiri.
Ronan tahu, dia nyaris mencapai puncaknya.
Desahan Gina kian tak terkontrol. Ke sepuluh jemarinya meremas sprei hingga buku-bukunya memutih. Ia menengadah, hingga memberi kesempatan Ronan untuk masuk ke ceruk lehernya.
"Ouch!" jerit Gina kala Ronan memberi tanda kepemilikannya di sekitar leher jenjangnya. Dia hanya bisa menggeliat seperti ulat, tak sanggup melawan segala kenikmatan yang mendera.
"It's my time, Baby--," bisik Ronan tepat di samping telinga Gina. Menggoda. " Di dalam atau …?"
Gina tersenyum sayu. Pasrah terhadap apa pun yang akan Ronan perbuat padanya.
Mendapat lampu hijau dari sang kekasih, Ronan menggerakkan tubuhnya semakin cepat, cepat, cepat,dan …
"Yes, Sweety …"
Bersamaan dengan teriakan tersebut, Ronan berhasil mencapai klimaksnya. Dan permainan berakhir.
Ronan membiarkan tubuhnya tetap menempel di atas Gina selama beberapa saat. Hingga Ronan tidak dapat membedakan, irama jantung yang sedang dia dengar adalah miliknya atau milik Gina?
Sengal napas mereka yang saling bersahutan mengisi udara di ruang kamar seluas 2x4 meter itu.
Ronan baru bersedia turun dari atas tubuh Gina sepuluh menit kemudian. Dia tidur telentang di samping kekasihnya sambil menatap langit-langit kosong.
"Sayang," bisik Gina lirih. Ia merasa begitu lemas setelah dihajar habis-habisan oleh Ronan barusan.
Percayalah, ini adalah kali pertama Gina melakukannya dengan Ronan. Tetapi pria itu berhasil membuat Gina bertekuk lutut tak berdaya.
Nampaknya, Gina telah jatuh semakin dalam pada pesona Ronan.
"Gina."
Gina menoleh. Merasa ada yang salah. Bukankah mereka baru saja bercinta? Mengapa Ronan memanggilnya dengan sebutan Gina? Bukannya panggilan sayang atau apa yang lainnya yang manis?
"Gina." Ronan kembali memanggil dengan tegas. Dia kini turun dari atas ranjang, lalu mulai memunguti satu persatu pakaiannya yang berceceran di atas lantai. Gina hanya mengamati seluruh aktivitas Ronan dengan heran dan diam.
"Sepertinya, mulai hari ini kita harus putus!"
Sulit dipercaya bahwa Ronan mengucapkan kalimat yang menyakitkan tersebut dengan begitu santai. Berbanding terbalik dengan reaksi Gina yang kaget bukan main.
"Ma-maksudmu?" tanya Gina tak percaya. Ia berharap pendengarannya salah.
"Kita putus!"
Tidak ada yang salah dengan pendengaran Gina. Yang salah justru isi otak Ronan.
Bagaimana mungkin pria tampan itu memutuskan hubungan mereka sesaat setelah keduanya meraih kenikmatan bersama?
Tidak ada pria yang berbuat seperti itu kecuali orang gila. Dengan kata lain, Ronan adalah orang gila--- demikian menurut Gina.
Ronan telah selesai berpakaian. Dia menyempatkan diri bercermin di meja rias sejenak. Sambil tersenyum pada refleksi dirinya sendiri. Ronan menyisir rambut dengan kelima jarinya.
Sempurna!
Wajah milik Ronan memang tidak pernah gagal tampan. Sudah tidak terhitung berapa banyak gadis yang terpikat akan pesona Ronan. Dan Gina, adalah satu di antara ratusan gadis ber-tittle kekasih yang akan Ronan tinggalkan sesaat lagi.
"Kamu bercanda, kan?"
Ronan mendengus. Rupanyan Gina belum bisa menerima kenyataan. Dia melirik gadis malang yang masih duduk di atas ranjang itu dengan tatapan jenuh.
"Aku serius. Kita putus." Begitu datar tanpa nada apalagi perasan iba.
"Ta-tapi kenapa, Sayang?"
Ronan memutar bola matanya. Ini adalah bagian yang paling tidak dia sukai.
Kenapa para gadis tidak bisa menerima begitu saja ketika Ronan memutuskan mereka?"
Kenapa harus ada alasan? Kenapa?
Pada akhirnya, Ronan kembali menggunakan alasan klasik yang sering dia pakai setiap putus dengan mantan-mantannya.
"Dengar!" Ronan mendekati tempat tidur di mana Gina berada. Dia baru sadar, kalau ternyata gadis itu belum berpakaian kembali.
Tubuhnya masih polos tanpa sehelai benang pun menutupi. Sayang, Ronan sudah tidak tertarik lagi untuk menikmati tubuh Gina.
Tidak ada yang istimewa dari milik Gina. Rasanya sama saja seperti lusinan gadis lain yang pernah Ronan tiduri sebelumnya.
"Kau tanya enapa aku memutuskanmu begitu saja?" tanya Ronan retoris.
Gina mengangguk pelan. Bola matanya tampak memerah. "Iya. Kenapa kau setega itu?Bukankah kita baru saja melakukannya bersama? Bahkan kau sangat puas tadi. Lalu kenapa tiba-tiba, kau …." Ia tak sanggup menyelesaikan kalimatnya.
"Karena aku bukan yang pertama bagimu."
Satu kalimat pamungkas dari Ronan.
Tanpa memedulikan bagaimana reaksi Gina, Ronan meninggalkan ruangan tersebut begitu saja. Membiarkan Gina meratapi nasibnya seorang diri.
Bahu Gina berguncang keras. Ia terisak lirih, tanpa pundak yang bisa ia sandari.
***
"Yo, yo , yo! Aktor tampan kita sudah datang!"
Ronan tersenyum lebar mendapat sambutan yang begitu meriah dari rekan seprofesinya, Billy. Pria yang tak kalah tampan dari Ronan itu berperan sebagai second male di project terbaru PH tempat mereka bernaung.
Karena baru datang, Ronan langsung berkeliling untuk beradu toast dengan para pemain lain beserta seluruh kru yang bertugas. Ironisnya, Billy yang menjadi orang terakhir yang Ronan ajak untuk ber-toast ria.
"Kau tadi dari mana?" bisik Billy seteah dia hanya berduaan dengan sang aktor utama, Ronan. Mereka biasa diskusi bersama sebelum syuting dimulai.
Hari ini, Ronan memang menjadi orang yang paling terakhir datang. Padahal, hotel tempatnya menginap di kota Granada ini tidak begitu jauh dari lokasi syuting. Paling dekat malah di antara yang lain. Sebab, dia satu-satunya pemain yang diberi fasilitas high-end selama syuting berlangsung di kota ini. Maklum, Ronan sedang naik daun sekarang.
"Biasa," sahut Ronan santai.
Billy sudah hafal seluruh tindak-tanduk brengsek Ronan. Dia refleks meninju lengan sahabatnya itu keras-keras.
"Gila kamu! Kapan kau bertobat? Wanita mana lagi kau permainkan, Ron?"
Nadanya memang marah-marah. Tapi nyatanya Billy malah terbahak puas.
"Gina," jawab Ronan sambil membayangkan wajah cantik gadis mungil berlesung pipit itu.
"Astaga! Itu anak kecil, kau tega sekali!"
Dikatakan anak kecil, sebab postur tubuh Gina memang mungil. Kalau dari segi usia, Rona tidak dapat memastikan. Toh, mereka hanya pacaran satu minggu saja – batas maksimum seorang Ronan mempertahankan status pacaran dengan satu orang gadis.
"Anak kecil yang pandai membuat anak maksud kau?"
Billy dan Ronan terbahak puas oleh lelucon yang tak lucu tersebut.
"Selamat siang, semua! Maaf saya terlambat!"
Ronan dan Billy kompak menoleh ke arah sumber suara. Mereka penasaran pada suara asing yang baru pertama mereka dengar itu.
Tampak seorang gadis berjalan kikuk menghampiri seluruh kru film. Dilihat dari pakaian yang dia kenakan, sepertinya gadis itu adalah bagian dari kru tersebut. Akan tetapi, mengapa wajahnya terlihat begitu asing? Ronan seperti baru melihatnya pertama kali.
Ketika Ronan menoleh ke arah Billy, ternyata sahabatnya itu pun sedang menatap Ronan penuh arti.
"Target baru, Ron?"
*Bersambung
Jangan lupa untuk meninggalkan jejak review dan komentar ya!