Dengan tatapan dingin Reino melihat atraksi di hadapannya. Ia berpikir bagian mana yang menjadi kiblat kenikmatan para lelaki pada makhluk yang bernama wanita.
Reino melihat Baran sangat menikmati "santapan makan malam"nya. Ia melihat dari mulai "foreplay" Baran yang diawali dengan mencium ganas wanita –yang entah ia dapatkan dari mana-- di hadapannya. Membuat wanita itu terpojok di sudut ruangan sambil tangannya tak berhenti bekerja. Tangan kirinya mencengkeram kuat belakang kepala si wanita sedangkan tangan satu laginya mengangkat tinggi paha si wanita. Si wanita nampak tak berdaya dengan ganasnya ciuman Baran. Ia tak memberikan jeda sedikitpun pada si gadis meski sekedar menghirup oksigen di sekitarnya. Panas memburu.
Reino masih tak bergeming dari posisinya menyaksikan atraksi yang ditunjukkan sahabatnya itu. Baran sendiri tak merasa risih jika kegiatannya "menyantap" wanitanya di tonton oleh Reino. Ia malah merasa terpacu seolah ia adalah aktor film dewasa yang harus menunjukkan keahliannya dalam bercinta pada Reino. Ia menginginkan pujian yang keluar dari Reino atas aksinya. Dan atraksinya selalu ia sengaja acapkali Reino bertandang ke klub miliknya.
Reino, memerhatikan tiap detil dari tingkah sahabatnya itu sambil menyilangkan tangannya di depan dadanya. Di matanya ia tak lebih seolah melihat film biru yang sering dipertontonkan teman-temannya saat masih SMP. Bukan Reino seorang yang lemah syahwat, jauh di dalam lubuk hatinya ingin sekali saja mencoba seperti yang dilakukan Baran saat ini. Tapi, lagi-lagi trauma itu muncul menghalau segala nafsu yang ingin ia lampiaskan pada wanita.
"Lagi-lagi, empat puluh lima menit waktuku terbuang sia-sia," ucap Reino sinis saat Baran menyudahi permainannya di atas wanitanya. Wanita itu terkapar, entah kelelahan ataukah ngefly karena terpuaskan berkali-kali oleh aksi Baran. Reino terpaksa harus memalingkan wajah ketika si wanita berkali-kali menjerit disela desahan kenikmatan mereka. Klimaks yang diberikan Baran seolah membuat wanita itu tak kunjung berkesudahan merasakan kenikmatan.
Reino menghampiri Baran yang tengah mengenakan celana jeansnya.
"Bro, cobalah sekali saja. Di sini banyak "barang bagus". Aku jamin kau tak 'kan menyesal."
"Tidak tertarik."
"Tidak tertarik? Really? Aku tak percaya. Tadi aku lihat, kau sempat memalingkan wajahmu saat Alea mendapatkan kepuasannya. Apa kali ini aku berhasil mencairkan hatimu yang dingin, bro?"
"Aku memalingkan wajahku karena wanitamu terlalu berisik. Membuat telingaku sakit karena teriakannya," Reino berkilah. Ada tembok besar yang sengaja ia bangun agar tak pernah tertarik pada wanita.
"Baiklah, baiklah. Kau selalu seperti itu. Dingin, seperti biasanya." Baran menuangkan botol alkohol ke dalam gelas kosong di depan Reino.
Setelah mengenakan baju lengkap, Baran mengajak Reino duduk santai di bar. Ia butuh udara segar setelah menghabiskan banyak kalori saat memakan wanitanya. Alea adalah wanita kedua di malam ini yang ia santap. Hanya selang jeda waktu satu jam saja ia sudah menyantap wanitanya.
"Kau tahu bro, aku tak pernah mengerti dengan alsan tidak masuk akalmu yang membenci wanita. Lihatlah sekelilingmu, mereka sangat menakjubkan."
Baran menunjuk sekumpulan para gadis yang sedang menggoyangkan tubuh mereka di lantai dansa. Telunjuknya kemudian mengedar pada gadis penari "pole" yang dengan lihainya menari meliuk-liuk berpegangan dengan tiang besi yang menjulang.
"Lihatlah mereka meliuk-liuk sangat indah di mataku. Apakah kau tak sama sekali tak ingin mencicipi mereka? Cobalah untuk lebih rileks dalam menyikapi hidup."
Baran masih bersikeras agar sahabatnya itu mau mencicipi "hidangan" yang tersaji di atas panggung pole. Mereka adalah para penari striptis. Para wanita yang menyuguhkan tarian erotis di atas pangung mini dengan di tengahnya menjulang tiang besi yang menjadi pegangan mereka untuk berayun.
"Aku pulang saja kalu begitu. Kupikir kau menelponku karena ada hal penting yang harus dibicarakan langsung sehingga tidak bisa kau utarakan melalui sambungan telpon. Ternyata lagi dan lagi kau membahas ketidaksukaanku terhadap wanita. Baiklah aku pulang sekarang."
Dengan langkah tegap, Reino meninggalkan Baran yang terlihat kesal, karena lagi-lagi usahanya tak berhasil pada Reino.
Reino melangkah keluar bar milik Baran tanpa memedulikan lagi teriakan Baran yang mencegahnya agar tinggal lebih lama lagi di dalam bar miliknya.
Reino sudah hampir akan dekat dengan mobilnya yang terparkir di pinggir jalan, ia melihat ada seorang nenek tua yang tengah duduk di trotoar jalan. Awalnya ia acuh pada nenek tua itu, tapi entah apa yang menjadinya semakin ingin mendekatinya. Seolah hatinya tertarik oleh sesuatu sehingga ia akhirnya mendekatinya.
"Nenek sedang apa malam-malam di sini?" tanya Reino. Ia tahu bahwa saat ini masih pukul dua dini hari. Angka yang nampak di jam tangan sekilas terlihat oleh matanya.
Nenek itu tak menjawab, masih duduk terdiam. Reino mendekat dan berjongkok, ia pikir si nenek tak mendengar pertanyaannya.
"Nenek sedang dengan siapa di sini? Apakah nenek sedang menunggu seseorang di sini?" tanya Reino lagi.
Nenek itu kemudian menoleh, dan memegang tangan Reino. Sontak Reino terkejut karena mendapat respon tiba-tiba dari nenek tua itu.
"Tolong antarkan nenek ke suatu tempat," ucap nenek tua itu. Ia akhirnya mengeluarkan suara seraknya. Ada perasaan takut dalam hati Reino, tapi rasa ibanya lebih banyak daripada rasa takutnya.
"Nenek mau diantar ke mana?" tanya Reino. Tangannya masih digenggam oleh nenek tua itu.
"Antarkan nenek ke suatu tempat!" seru nenek itu. Suara hentakan nenek itu mendadak membuat Reino sedikit gentar, bahkan cengkeraman tangan nenek itu semakin kencang.
"Iya baiklah, Nek. Tolong lepaskan tanganku dulu. A-aku akan mengantarkan nenek ke tempat yang nenek inginkan tapi tolong lepaskan tangaku dulu." Reino memohon agar nenek tua itu mau mengabulkan permohonannya untuk melepaskan cengkeramannya.
Seketika nenek itu melepas cengkeramannya dan lantas perlahan berdiri. Reino pun berdiri dan mundur satu langkah ke belakang agar ia bersiap jika nenek tua di depannya akan melakukan tindakan kekerasan.
'Tindak kekerasan? Apa mungkin nenek tua ringkih di depannya itu bisa melakukan tindak kekerasan? Tapi tadi ia mencengkeram tanganku sangat kencang hingga aku tak bisa melepas dengna mudah.' Reino tak habis pikir bagaimana bisa nenek tua itu bisa mempunyai kekuatan yang begitu kuat dalam mencengkeram tangannya.
"Antarkan nenek sekarng juga. Sudah tidak ada waktu lagi."
Terdengar suaranya yang sedikit ada penekanan pada kalimat terakhirnya.
"Baik, baik Nek. Aku akan antar nenek sekarang. Tapi aku harus mengantar nenek ke mana. Aku tidak tahu nenek mau ke mana." Reino semakin takut mendengar suara nenek tua itu.
"Ke sana!" Wanita tua itu menunjukkan tangannya ke arah depan jalan. Reino semakin kebingungan, ke mana ia akan membawa nenek di depannya itu. Ia juga was-was apakah nenek di depannya itu adalah orang gila yang bisa merepotkannnya nanti. Tapi ia sudah terlanjur berjanji akan mengantarkan nenek tua itu.
Dengan terpaksa, ia akhirnya mengikuti nenek tua itu dari belakang. Ia mengambil jarak dari nenek itu. Ia takut nanti tangannya akan dicengkeram lagi.
Dan seketika itu tiba-tiba Baran terlihat berlari ke arahnya.
"Ada apa?" tanya Reino perhatiannya kini beralih ke arah Baran.
"Ponselmu tertinggal," kata Baran menyerahkan ponsel Reino dengan napas tersengal.
"Thanks!" ucap Reino dengan datar, lalu dia kembali melihat nenek itu.
Dan …
'Kemana nenek itu?' Reino celingukan mencari-cari. Baran yang melihatnya menjadi heran.
"Kau kenapa?" tanya Baran.
"Kau lihat kemana nenek tadi pergi?" tanya Reino.
"Nenek, nenek siapa?"
"Yang barusan, aku tadi hendak mengantarnya ke—"
"Rein, dari tadi kau sendirian dan aku tidak melihat nenek-nenek," sahut Baran.