15 Maret
Selena keluar bersama seorang temannya yang belum pernah Ronan lihat. Sepertinya dia bukan dari kalangan kru film manapun.
"Manis juga," gumam Ronan seraya menyeringai lebar. Sebaris skenario mulai berkelebat dalam benaknya.
Ketika melihat pakaian yang dikenakan Selena kali ini cukup ketat, naluri kelelakian Ronan memberontak seketika. Rasanya ia tak sabar ingin segera mencicipi tubuh indah tersebut, apalagi kalau ternyata temannya pun bersedia untuk Ronan masuki. Sungguh tak terbayang akan seberapa nikmatnya dia nanti. Kedua tangan, mulut, serta senjata andalannya pasti akan sibuk meremas, bercocok tanam, dan mengisap sana-sini.
"Shit! Kalian membuatku tegang!" rutuk Ronan setangah kesal.
Ah, sepertinya kapan-kapan Ronan harus berkonsultasi dengan psikiater. Kebutuhan seks Ronan begitu tinggi dan menggebu. Fantasi bercintanya pun sudah berada di level dewa. Ronan rasa, dia sudah tidak normal.
Melalui spion mobil, Ronan dapat melihat Selena dan temannya berjalan ke arah utara, kemudian berbelok menelusuri Calle Marques de Falces road setelah sebelumnya menyebrangi jalan.
Ronan memutar balik mobilnya ke arah yang sama. Berusaha mengejar Selena dan temannya sebelum dia kehilangan jejak mereka.
Kesempatan untuk merengkuh dua gadis dalam waktu bersamaan tidak boleh Ronan sia-siakan begitu saja. Setidaknya, kalau dia gagal mendapatkan Selena, masih ada temannya yang imut itu.
Selena belum pergi terlalu jauh. Hanya dalam waktu satu menit, Ronan sudah bisa menyusul keduanya. Ronan sengaja menjalankan mobilnya dengan kecepatan siput. Tujuannya sudah pasti. Dia ingin menarik perhatian Selena.
Mendengar deru mesin mobil yang tak begitu jauh dari dirinya, Selena dan temannya refleks menoleh ke belakang. Mereka pun dapat melihat mobil Ronan—sebagai satu-satunya kendaraan yang melintas—melaju ke arah yang sama dengan mereka.
Seketika mereka dirundung curiga. Mobil tersebut terlihat mencurigakan. Lajunya jauh di bawah kecepatan normal.
'Apakah pengemudi di mobil itu membuntuti mereka?' terka Selena yang mulai ketakutan.
Selena dan temannya kini berhenti melangkah. Menanti dengan pasrah takdir apapun yang akan menimpa mereka saat ini.
Tak lama setelah Selena berhenti berjalan, mobil itu pun ikut berhenti. Membuat kecurigaan dua gadis tersebut semakin membumbung tinggi.
"Apakah dia orang jahat, Rose?" bisik Selena di samping telinga temannya yang ia panggil Rose.
Rose—atau Roselyn—mengedikkan bahu. "Entahlah. Apa kau punya senjata untuk melindungi diri?"
"Tidak," jawab Selena lemah.
Rose mendecih pelan. Di situasi darurat begini, rasanya dia menyesal tidak mengenakan heels berhak runcing dari rumah tadi. Padahal, benda tersebut bisa sangat berguna untuk melindungi anak gadis macam mereka.
Ronan sengaja tidak langsung membuka kaca mobil. Dia terkekeh, menikmati wajah pucat dua calon korbannya. Mereka pasti mulai berpikir macam-macam. Padahal, ya ... Ronan memang berniat untuk berbuat macam-macam.
Merasa intimidasinya sudah cukup, Ronan pun menurunkan kaca mobil. Dia langsung memamerkan senyum terbaiknya begitu saling bertatapan dengan Selena dan Rose.
"Selamat malam!" sapa Ronan ceria.
Mata Selena menyipit. Berusaha mengenali siapa pria di balik kemudi dan baru saja menyapa dirinya itu.
"Kau, kan ...." Telunjuk Selena menuding Ronan. "Kau ... Ronan?"
Roselyn menatap wajah Ronan yang dia kenal di layar TV maupun layar lebar. Roselyn menarik tubuh Selena dan berbisik kalau itu adalah artis.
Senyum Ronan makin melebar. "Tentu saja aku Ronan," sahutnya penuh percaya diri. "Dan kalau boleh kutebak, namamu Selena, kan?"
"Hahaa ... iya aku tidak bisa mengenali wajahmu karena agak gelap di sini."
"Oh, ya, tadi kan kita sudah berkenalan?" Ronan pura-pura kaget.
"Beruntung sekali aku bisa berkenalan dengan gadis secantikmu," sahut Ronan kembali.
Selena berusaha menyetting wajahnya tetap datar. Namun, Ronan masih bisa melihat ada rona merah jambu di kedua pipinya.
Merasa mendapat angin segar, Ronan lekas turun dari mobil. Dia menghampiri Selena dan Roselyn yang sudah tidak ketakutan lagi. Namun, masih jelas tersisa kewaspadaan di wajah keduanya.
"Kalian sedang apa malam-malam begini berada keluyuran di luar rumah? Jalanan di sini sepi, lho. Bahaya untuk gadis-gadis cantik seperti kalian." Ronan melirik Selena kemudian bergeser pada gadis di sebelahnya
"Oh, ya. Siapa namamu?"
Roselyn terperanjat kaget. Tidak menyangka dirinya akan ditanyai oleh pria itu. Artis bernama Ronan. "A-apa kau bertanya padaku?" Dia menunjuk dadanya sendiri.
Ronan mengiyakan. "Memangnya ada siapa lagi di sini selain kita bertiga?"
Wajah Roselyn merona malu. "Ma-maaf."
"Namanya Roselyn." Selena mewakili Roselyn dalam memperkenalkan diri. "Dia teman satu rumahku."
"Teman satu rumah?" ulang Ronan seraya tidak percaya kalau dia akan bertemu dua gadis yang serumah. Membuat fantasi liar Ronan semakin menjadi.
"Ya. Kau sendiri sedang apa di sini?" tanya Selena balik.
"Tunggu dulu. Kalian belum menjawab pertanyaanku." Ronan tidak mau kalah. "Apa alasan kalian berada di luar malam-malam begini?"
Selena dan Roselyn saling melempar pandang. Mencoba berdiskusi tanpa suara.
Sebagai pihak yang mengajak Selena keluar, Roselyn merasa dirinya punya kewajiban untuk menjawab pertanyaan Ronan. "Rumah kita memang ada di dekat sini." Dia memilih jawaban paling aman. Bagaimanapun, informasi mengenai dirinya yang diminta seorang nenek untuk mencari cucunya yanf bekerja di sebuah klub malam akan menjadi rahasianya saja.
Sekali lagi, Ronan memainkan perannya sebagai aktor dengan sangat baik. "Rumah kalian di dekat sini? Ternyata cukup dekat juga dengan rumahku."
Selena dan Roselyn hanya manggut-manggut tak jelas. Seingat mereka, tidak ada pria berwajah seperti Ronan yang tinggal di sekitar sini. Atau merekanya saja yang tidak tahu?
"Rumahku ada di ujung jalan sana." Ronan menunjuk jalan gelap di depannya. "Aku dalam perjalanan pulang. Apakah rumah kalian di sekitar situ juga? Kalau iya, mari kuantar!"
Selena terlihat ragu menjawab. Tawaran Ronan terdengar menggiurkan andai mereka benar dalam posisi hendak pulang.
"Sebenarnya kami dalam perjalanan ke suatu tempat," ucap Roselyn mengaku akhirnya. "Tapi sungguh, rumah kami memang di sekitar sini."
"Perjalanan? Selarut ini? Jalan kaki? Hanya dua orang perempuan?" tanya Ronan beruntun.
Selena dan Roselyn mengangguk kecil.
"Memangnya kalian mau ke mana?" tanya Ronan lagi. Sungguh dia memang penasaran.
"Ke ...." Selena melirik Roselyn. "Mau ke mana kita?"
"Luz Del Alba," sahut Roselyn cepat. Seolah nama tersebut sudah berada di luar kepalanya.
"Sepertinya aku tahu di mana tempat itu berada," dusta Ronan. Sejak kapan dia tahu seluk-beluk kota kecil di benua Eropa ini?
"Kau serius?" tanya dua gadis di depannya ragu.
Ronan mengangguk mantap. Mencoba meyakinkan mereka bahwa dia bisa dipercaya.
"Mari kuantar!" seru Ronan. "Jangan takut padaku. Aku bukan pria jahat. Bukankah begitu, Selena?"
"Ah, i-iya. Kau bukan orang jahat."
"Nah, jadi bagaimana?"
Setelah berdiskusi selama beberapa saat, akhirnya Selena dan Roselyn bersedia menerima penawaran Ronan. Mereka duduk di jok belakang mobil. Sesuatu yang sedikit membuat Ronan kecewa sebab matanya jadi tidak bisa dimanjakan oleh pemandangan dua bukit kembar milik Selena atau Roselyn.
Tapi mau bagaimana lagi. Mau tak mau, Ronan terpaksa duduk di jok depan sendirian.