Rintik hujan masih membasahi dan menyapu jalanan di luar kedai kopi.
Reino duduk di pojok sebuah kedai sambil meneguk kopi hasil racikan Juan. Secangkir kopi Americano yang menjadi pilihannya malam hari ini. Kopi Americano adalah kopi hasil proses ekstraksi kopi dengan mesin penyeduh kopi bertekanan tinggi menghasilkan sebuah seduhan kopi yang disebut espresso. Hasil seduhan dari mesin, membuat kopi menjadi hitam kental dan terdapat crema dipermukaannya. Crema berupa busa berwarna cokelat yang memenuhi permukaan secangkir espresso sekaligus menjadi penanda bahwa kopi yang diseduh masih segar.
Bagi Reino yang sudah berkecimpung di bisnis kopi ini, kopi Americano adalah seperti prinsip hidupnya yang simple, tak banyak yang harus ia campurkan dalam kehidupan, termasuk cinta. Ia tak butuh itu. Kopi Americano hanya membutuhkan dua elemen yaitu kopi dan air panas.
Ia menatap keluar kaca besar sampingnya yang sebagai ganti dari tembok kedai miliknya. Ya, kedai kopi yang terletak di pusat kota itu adalah miliknya sejak ia menamatkan bangku kuliahnya. Ia mencoba peruntungannya di bisnis penjualan kopi. Meski awalnya sangat sulit mendirikan kedai kopi itu, akhirnya beberapa tahun baru-baru ini, kedai miliknya banyak diminati penggemar kopi, terutama ketika ia menambahkan menu kopi yang sedang trend di kalangan anak muda. Cappuccino dan mocaccino menjadi pilihan terbanyak yang disukai anak muda.
Beruntungnya, ia memiliki Juan. Juan adalah pegawai pertamanya saat merintis kedainya. Seorang pemuda tampan yang mampu menarik para pelanggan datang dari sikapnya yang ramah. Tak hanya itu, ia juga memiliki keterampilan dalam meracik kopi yang diinginkan para penikmat kopi terlebih lagi para gadis-gadis.
Wanita? Ah … Reino mengerjapkan mata ngeri, jika mengingat makhluk ciptaan Tuhan yang satu itu. Sepanjang hidupnya ia tak pernah jatuh cinta. Jangankan bercinta di atas ranajang yang menurut sebagian laki-laki adalah hal yang sangat nikmat hingga tak bisa hidup tanpa bercinta barang seharipun. Untuk hanya mempunyai teman perempuan saja, Reino tak punya. Ada trauma tersendiri jika berdekatan dengan wanita.
Reino menyeruput lagi cangkir kopinya hingga tandas. Malam ini adalah akhir pekan yang membahagiakan bagi sebagian orang, sebab hanya di akhir pekan mereka bisa menghabiskan waktu dengan pasangan mereka. Terbukti dari lonjakan pengunjung kedai kopinya. Reino tengah gelisah, ia belum mengambil keputusan atas usulan Juan.
Di akhir pekan, kedainya sangat ramai hingga Juan dan beberapa karyawan laki-lakinya sangat kewalahan melayani para pelanggan yang datang. Ya, benar! Semua karyawan yang bekerja di kedai kopinya adalah kaum Adam, karena hal itulah, Reino gundah. Pasalnya Juan mengajukan sebuah nama yang ia sudah pasti bisa menebak bahwa pemiliknya adalah seorang wanita.
Ruby, nama yang diajukan Juan sebagai tambahan karyawan di akhir pekan. Sebutlah sebagai karyawan magang di akhir pekan. Sudah lebih dari ratusan kali Juan menyarankan Reino untuk mencoba berhubungan dengan wanita, meski hanya sekedar berteman di dunia maya. Namun, Reino tak bisa. Ia selalu tak bisa melanjutkan percakapannya dengan wanita. Trauma masa lalu yang membuatnya seolah berada di balik dinding tebal yang membatasi hatinya pada seorang wanita.
"Reino, bagaimana usulanku? Cobalah kau sedikit mengalah dari egomu. Kasian para pelanggan kalau sampai menunggu pesanan hingga mengantri lama?"
Reino tak menggubris suara Juan yang mendekati tempat duduknya. Ia masih terpaku pada titik-titik air yang jatuh dari langit. Apa? Ego katanya? Reino tak terima jika penolakannya terhadap wanita hanya karena sebuah ego. Bukan. Bukan itu. Taka da yang tahu tentang trauma masa lalunya. Bahkan pada Juan, ia tak menceritakan hal itu.
"Anggaplah kau sedang beramal. Membantu seorang gadis yang sedang mencari penghidupan ekonomi untuk keluarganya."
Reino menoleh ke arah Juan tepat setelah mendengar kalimat terakhirnya.
"Baiklah, kalau begitu. Aku menerimanya hanya sebatas rekomendasimu. Kau yang harus bertanggung jawab penuh terhadapnya. Aku tidak mau ambil pusing dengan segala sikapnya nanti."
"Terima kasih banyak. Aku berhutang padamu."
"Tak perlu, aku hanya menjalankan kodratku sebagai manusia yang harus menolong sesama manusia. Aku tak memandangnya sebagai wanita. Ia hanya sebatas manusia yang sedang butuh pertolongan," ucap Reino dingin.
Juan bernafas lega. Akhirnya ia bisa membantu Ruby mencari tambahan uang untuk keluarganya. Juan sudah berteman dengan Ruby sejak masa SMA nya. Sudah sejak lama, Ruby mengajukan diri pada Juan agar membantunya merekomendasikan dirinya pada bosnya Juan, tapi Juan selalu menolak. Alasan klasik bahwa kedai kopi milik bosnya tak menerima karyawan perempuan. Tapi bukan Ruby namanya jika tak bisa memaksakan kehendak hatinya. Hingga akhirnya Juan memberanikan diri untuk mengajukan usulan pada Reino, bosnya.
"Hanya dia … "
"Ya? Maaf aku tadi sedang melamun, jadi aku tak mendengar ucapanmu."
Dengan rasa enggan, Reino mengulang kata-katanya.
"Hanya dia satu-satunya wanita yang kuterima magang di sini. Tidak ada lagi setelah dia. No more."
"Siap, Bos. Hanya Ruby, tak ada lagi yang lain, aku janji."
Setelah mendapat jawaban anggukan dari Reino, Juan kembali ke tempatnya meracik kopi. Berbaur dengan pegawai yang lain.
Hujan di luar masih saja turun, seolah awan tak mampu lagi membendung air yang ia serap dari bumi. Reino mematikan puntung rokok yang tinggal seujung jari ke dalam asbak di atas meja. Ia lantas melirik jam tangannya, masih pukul empat. Ia lantas menyambar kunci mobilnya dan berjalan keluar kedai, pulang.
****
Jalanan nampak ramai saat akhir pekan seperti ini, meski hujan masih saja mengguyur kota yang ditinggali Reino. Ia tinggal di kota yang sumpek ini sudah sejak dari bangku kuliahnya. Sedari kecil ia tinggal dengan ayah dan ibu tiri. Orang tua kandungnya sudah lama bercerai dan ia ditinggalkan oleh ibunya sejak ia masih di bangku SD. Ibunya pergi karena tak kuat dengan perilaku mabuk-mabukan ayahnya. Tak lama berselang perceraian, ayahnya membawa pulang seorang wanita sexy, untuk menggantikan posisi ibunya. Alih-alih Reino berharap mendapatkan kasih sayang seorang ibu, ia malah diperlakukan oleh ibu tirinya sangat kasar. Dan puncak dari perlakuan kasarnya adalah saat usia beranjak SMP dengan menempelkan besi panas pada punggungnya. Reino malangpun akhirnya kabur ke kota besar mencari perlindungan dari kekejaman ibu tirinya. Terseok-seok ia hidup di jalanan sebagai gembel mencari penghidupan yang layak untuknya bertahan hidup. Bisa makan dua kali sehari adalah kemewahan baginya.
Beruntungnya nasib baik menghampiri hidupnya, sehinga perlahan ia bisa menata kehidupannya hingga sampai ia bisa menamatkan sekolah dan meraup pundi-pundi uang untuk melebarkan bisnisnya. Saat ia bisa menata kehidupannya, terdengar kabar dari kampungnya bahwa orang tuanya mengalami kecelakaan.
Ada sebersit rasa sedih tapi lebih banyak luka hatinya yang menutup hati nuraninya. Ia bersyukur wanita jahat itu tewas mengenaskan di jalanan. Seperti kopi hitam nan pahit, tak perlu dibandingkan lagi hidupnya. Ia menenggelamkan kenangan buruknya seolah menenggelamkannya ke dasar cangkir kopi hitam yang biasa ia minum, pahit tapi itulah hidupnya. It's just a cup of coffe tak perlu dikenang rasa pahitnya.