'Bang, bangun! Ga takut telat sekolah, entar?' Ini adalah isi dari kertas yang dituliskan oleh Ella. Ia memasukkan kertas itu dari celah bawah pintu kamar Adriel. Konyol? Tentu saja.
Lima menit sudah ia menunggu, namun masih tidak ada sahutan dan pergerakan. Ia berpikir keras bagaimana caranya membangunkan orang yang sedang tak disukainya. Ia lalu melangkah.
Tok! Tok!
Berharap, dari dalam sana, Adriel segera mendengar ketukan itu lalu bergerak untuk membaca tulisan di keras yang telah ia buat. Namun naas, masih tidak ada tanda-tanda jika Adriel telah bangun. Sial!
Ella melihat jam dinding yang hampir menunjuk ke angka 12. Jika saja jam itu menunjukkan pukul 6 tepat, maka pasti mereka telah terlambat.
Brak! Brak! Ia menghantam pintu itu dengan telapak tangan yang sebenarnya tak begitu kuat, namun satu yang pasti, dia sedang murka.
"Bang?!" panggilnya dengan suara yang amat kencang.
Di dalam sana, Adriel yang sebenarnya sudah bangun dan sudah bersiap-siap dengan seragam olahraganya pun terkekeh setelah membaca pesan di kertas itu.
Ia kemudian meraih selimut tipisnya, menutupi sekujur tubuhnya, dan tak lupa mengembalikan kertas ke tempat semula.
"Hoam ... ada apa, pagi-pagi udah ganggu? Masih jam berapa ini!" kesalnya sambil menatap Ella yang juga sudah bersiap dengan seragamnya.
"Abang tuh yang kenapa, gila? Dari tadi aku panggilin, udah disuruh bangun juga!" balas Ella sambil mencari kertas yang ia masukkan tadi, ternyata sudah terbawa oleh arus pintu yang tergerakkan. Artinya, Adriel memang sama sekali belum membacanya.
"Kapan kamu manggil abangmu ini, hah? Dari tadi, aku nggak denger ada yang manggil nama aku." Adriel tersenyum licik ketika melihat wajah sedih adiknya itu.
"Ini, aku udah buat pesan di kertas! Kenapa belum dibaca?"
"Ya, karna kamu nggak manggil aku, aku mana tau."
"Ah, dasar! Udah, sana mandi, cepat! Kita bisa telat!" Ella mendorong tubuh abangnya itu untuk segera masuk lalu bersiap ke sekolah.
"Jangan lupa dengan sarapan terbaik! Aku akan keluar 3 menit lagi, tidak ada pengampunan untuk yang lambat!" teriak Adriel.
Dengan segera dan terburu-buru, gadis itu menyiapkan roti panggang untuk abangnya, walau sebenarnya ia menyiapkan itu di pagi-pagi sekali hanya untuk Jodi. Memang, rencananya untuk membuat senang hati pacarnya selalu tergagalkan, pupus sudah keinginannya untuk mendapat kesan romantis dengan Jodi. Walau terkadang, ia curiga dengan Adriel yang selalu tau apa yang hendak ia lakukan, tapi ya sudahlah, ia tetap harus hormat pada laki-laki itu, karena memang begitulah seharusnya.
***
Di sekolah, seperti biasa, ketika bel istirahat telah berbunyi, Ella dan Jodi segera berangkat menuju taman sekolahnya. Tempat ternyaman untuk mereka berdua bisa belajar bersama. Namun, untuk kali ini, alih-alih mendapatkan kenyamanan, Adriel datang sebagai pengganggu.
"Hem, kencan kok di sekolah, nggak ada modal juga nih berdua. Yang cewek nggak pernah ngasih perhatian, bawa bekal kek sekali-sekali, ini malah nggak pernah. Yang cowok malah maunya belajar mulu, dasar!"
"Tutup mulutmu! Selalu cari masalah, lihat aja entar, besok aku nggak bakal bangunin kamu, biarin aja telat sekalian!" ketus Ella dengan segera. Ia segera menerima headphone dari Jodi, barang yang sebenarnya tak boleh dibawa ke sekolah.
"Tutup aja tuh telinga kalian berdua, tunggu ya aku laporin ke guru BP!"
Adriel benar-benar mengganggu.
Ia tak benar-benar melapor karena Tia datang, terkadang keberadaannya memang membawa keberuntungan untuk Ella dan Jodi. Bagaimana pun, Adriel tak boleh terlalu menujukkan sikap jahilnya pada Ella, karena mungkin akan menimbulkan penilaian buruk.
"Ini, aku bawain makanan, silakan," katanya.
"Jo, maafin aku lagi, aku benar-benar nggak bisa diandalkan." Ella menjadi sedih setelahnya.
"Gapapa kok, ini aku juga ada makanan, kita makan sama-sama, yuk?" ajak Jodi. Ella menyambut dengan senang. Ia sama sekali tak menyadari maksud dari senyum Jodi dan Tia setelah itu. Adriel yang selalu memantau keadaan pun tahu, namun ia tahankan saja, untuk apa juga dia berpikir negatif tentang pacar dan temannya sendiri.
"El, nanti aku ajakin Ella main. Boleh, nggak?" kata Jodi.
Ella segera menatap ke arah abangnya itu. Ia sadar dan yakin, jawabannya sudah pasti adalah tidak. Ia kemudian melanjutkan membaca bukunya.
"Boleh tidak, ya? Boleh deh, tapi mainnya di rumah aja. Udah deh, nggak usah kemana-mana dulu, Jo. Bentar lagi kita ujian akhir sekolah, masa masih nyempatin waktu buat main-main. Apa kata angin ketika melihat kita yang katanya pintar malah berperilaku seperti itu?" Adriel menjawab dengan enteng, seperti biasa, dia selalu berhasil membuat alasan terbaik dan tentunya dapat diterima akal.
"Bang, kami mau melakukan petualangan. Lagian kan, ini hari sabtu, masa iya sabtu juga harus belajar keras? Abang lupa ini hari sabtu, itu dinas abang tandanya!" sahut Ella, ia menutup bukunya.
Adriel melihat pakaiannya yang kusut, teringat dengan kejadian tadi pagi, ia yang sengaja mengerjai adiknya itu. Rambut yang bahkan sudah tertata rapi harus kembali acak-acakan. Mengerjai saja butuh perjuangan, pikirnya.
"No! Sekali tidak, tetap tidak!" Adriel tetap pada keputusannya, menolak.
Ella dengan segala kekesalannya, pun segera pergi dari sana, waktunya juga sudah tepat, bel sudah kembali berbunyi. Artinya kelas akan kembali dimulai.
"Biarin aja dia pergi! Btw, aku mau cobain makanan kalian ini, seberapa enak sih, sampai-sampai itu bocah bisa makan banyak," ucap Adriel sambil memasukkan makanan itu ke dalam mulutnya.
"Bagaimana rasanya?" heboh Tia tampak penasaran dengan penilaian Adriel.
Pacarnya itu menghentikan langkah, menikmati makanan dengan lembut layaknya seorang juri, lalu menggeleng.
"Jo, siapapun yang memasak makanan ini, katakan ..."
"Apa?" tanya Tia dan Jodi bersamaan.
"Biasa saja!" Adriel kemudian berlari menuju ruangan kelasnya. Walau sebenarnya guru yang akan mengajar belum datang, semua orang tahu dia hanya ingin memastikan keadaan kembarannya itu.
"Jo, lihatlah, Ella saja menyukainya. Tapi dia yang bahkan pacarku, tak sedikit pun menyadari jika ini masakanku. Ya, aku tau dia hanya menyukai masakan Ella. Ella Ella dan Ella lagi. Argh!" teriak Tia frustasi.
"Sudahlah, aku masih yakin kok, ini semua terjadi karena mereka berdua sudah terlalu sering bersama dalam hal apapun, keduanya saling membutuhkan satu sama lain. Mungkin, keduanya tidak akan pernah terpisahkan," jelas Jodi yang semakin membuat Tua sakit hati.
"Jo, apa salah satu dari kalian berdua yang merasa jadi teman laki-lakiku tak bisa paham dengan apa yang kurasakan? Apa aku ini sangat buruk? Apa hanya dia yang pantas untuk disayang?" tanya Tia dalam teriakannya.
Namun, itu hanyalah sia-sia. Kini, Jodi sudah masuk ke dalam kelas, membawa pikiran tentang pertanyaan Tua yang begitu menyedihkan. Memang apa yang bisa dia lakukan, kecuali ikut permainan si kembar, Adriel—Ella.