Chereads / Back To Me, Please / Chapter 7 - Masalah Jodi

Chapter 7 - Masalah Jodi

Di sekolah SMA negeri, para siswa tengah belajar dengan serius. Tingkat kelas 3 membuat mereka harus benar-benar bisa untuk belajar dengan baik hingga nantinya bisa lulus dengan nilai yang memuaskan. Jodi dan Ella tengah serius mengerjakan soal-soal di meja mereka. Berbeda dengan Adriel dan Tia yang sedang keluar kelas karena sedang tak ada guru.

Keduanya bergerak menuju perpustakaan, mencari buku-buku pelajaran untuk dipinjam dan dibawa pulang. Rencananya mereka akan kembali belajar bersama hari ini.

Tia memperhatikan pacarnya yang tengah serius itu. Ia mencoba mendekat dan mulai bertanya, "El, kapan kita jalan? Kita udah lama pacaran tapi belum pernah ke mana-mana."

"Tia, kamu kan tau siapa aku, apa tugasku. Awal kita kenal juga aku udah bilang, aku nggak akan bisa menjadi seseorang seperti yang kamu suka. Aku harus jaga rumah, adik aku, Ella."

"El, bukan itu maksudku, seriusan. Aku cuma nanya aja loh dan kalau bisa kasih saran. Gimana kalau kita coba jalan atau date sekalian Ella dan Jodi ikut aja."

"Maksudmu double date?" tanya Adriel menimpali. Ia bahkan menghentikan aktivitasnya itu untuk beberapa saat. Ia menatap ke sembarang arah dengan tangan yang ia letakkan di pinggang. Tangan kirinya bertumpu pada rak yang menunjukkan susunan buku-buku yang sangat rapi.

"Hm."

"Gimana, kamu setuju, nggak? Itu bakal seru, dong. Aku, kamu, Jodi, Ella. Kita satu perjalanan. Dijamin senang, deh."

"Nanti aku coba pikirin dulu. Kamu jangan coba-coba buat ngasih tau ke Ella. Ingat jangan coba-coba buat bilangin ke dia. Tunggu aku pikirkan dulu, setelah itu aku sendiri yang akan nyampaiin ke dia juga," ucap Adriel.

Setelah itu, ia kembali menutup mulutnya rapat-rapat. Membuka lembaran buku walau hanya beberapa, memikirkan apa itu cocok untuk dibawa atau tidak perlu.

Sementara Tia, ia mengeluarkan ponsel merk terbarunya dari saku rok, lalu mengirimkan pesan pada seseorang, entah itu siapa. Tapi yang pasti, bentukan senyum terukir setelahnya.

***

"Kenapa bukunya banyak banget? Bukannya kita mau belajar kelompok atau grup?" tanya Ella sewot sembari melirik pada abangnya itu.

"Udah dipelajari aja. Aku emang sengaja bawain banyak biar kita bisa belajar dan ngerjain soal masing-masing dulu. Setelah nanti nggak bisa, baru deh ditanyain dan dipelajari bersama. Paham, kan?" sahut Adriel memberi keterangan.

Tia tampak membawakan air es setelahnya. Ia bisa membawakan itu dengan baik, sebuah pujian pun keluar dari mulut Jodi. "Kamu hebat, Tia. Walau dimanja, nggak pernah ngerjain apa-apa tapi kamu bisa melakukan hal yang seperti ini. Keren, sih."

"Haha. Biasa aja, semua wanita juga bisa begitu, kok. Aku cuma liatin asisten rumah kami, ya jadinya aku praktekin, deh. Aku bahkan bangun di jam 4 buat nyapu rumah. Maklum penasaran banget, soalnya. Haha," balas Tia yang tertawa kecil. Yang dikatakan memang benar adanya sehingga Adriel hanya bisa manggut-manggut. Ia pernah melihat video di ponsel pacarnya itu, dan itu ia dapatkan secara tidak sengaja.

Mereka berempat kemudian belajar masing-masing. Soal-soal yang tak bisa dikerjakan mereka tuliskan di satu buku. Dilanjutkan untuk mengerjakan bersama, nanti. Keempat anak muda itu duduk di kursi depan rumah. Mungkin Adriel menyadari bahwa belajar bersama akan jauh lebih menyenangkan, ditambah lagi ia bisa memperhatikan adiknya itu secara jelas.

Satu jam kemudian, ponsel milik Jodi bergetar. Sebuah panggilan masuk. Ia merasa malas dan mencoba untuk mengabaikan itu. Namun, perasaannya berubah menjadi cemas ketika Tia yang terlebih dahulu meraih ponsel itu.

"Ini ibu kamu, loh, Jo. Kok nggak diangkat, sih? Dijawab, dong. Mana tau ada yang penting," ucap Tia walau getaran itu segera berakhir karena Alin segera mengakhiri dari ujung sana.

"Biarin aja, paling juga salah sentuh. Kita lanjut belajar aja," balas Jodi. Ia mencoba bersikap sebiasa mungkin. Walau pada akhirnya, itu hanya sia-sia. Ponselnya kembali bergetar, dan asalnya masih dari orang yang sama membuatnya terpaksa haru segera beranjak dan menerima panggilan itu.

"Iya, Bu," jawabnya ketika dirinya sedikit menjauh dari yang lain.

"Nak, kamu di mana? Ibu kamu tuh, buat masalah lagi. Cepat, pulang!" perintah seseorang dari ujung telepon yang ternyata adalah neneknya. Nenek yang selama ini membiayai kebutuhan hidup mereka dengan memanfaatkan uang pensiun dirinya dan suaminya dulu. Tubuhnya yang sudah mulai tua dan renta tak mengizinkan lagi untuk ia bekerja di tempat lain karena hanya akan membuat masalah baru. Ketika dirinya sakit maka Jodi lah yang akan menahan rasa sakit itu. Ia akan kembali tersiksa oleh rasa stress yang dialami ibunya.

Ella bisa paham akan raut wajah Jodi. Ia bergegas untuk mengumpulkan buku-buku milik pacarnya itu namun gagal sebab Tia segera merampas buku itu dan memasukkan ke dalam tas Jodi, tepat ketika pemiliknya datang.

"Aku harus pergi," katanya dengan nada pelan dan menunjukkan wajah sedih.

"Silakan aja, hati-hati, ya." Adriel segera membalas ucapan itu.

"Bang, kumohon kita ikut, ya. Kasihan dia, itu panggilan tadi kayaknya dari ibunya, deh. Pasti terjadi apa-apa pada ibu atau neneknya. Bagaimanapun, dia itu adalah teman kita, kita berkewajiban untuk tau dan membantunya sebisa kita. Aku janji akan pergi bareng Abang aja, yuk," pinta Ella dengan niat tulusnya membuat siapapun yang mendengarnya akan segera luluh dan menuruti kemauan gadis ini.

"Ya udah, yuk, kita pergi sekarang." Adriel menyetujui. "Tia, kita ikut Jodi, ya. Kamu duluan aja bareng dia. Aku bakal segera nyusul bareng Ella. Adik aku masih mau ke toilet bentar," ucap Adriel sembari mendorong tubuh adiknya itu agar bergerak seperti yang dia inginkan.

Beberapa saat kemudian, mereka tiba di depan rumah Jodi. Banyak orang di sana, entah kumpulan dari mana itu, tapi yang pasti gambaran kemarahan bisa terlihat jelas di sana.

"Ibu?" panggil Jodi. Dengan segera, Alin menangkap tubuh putranya itu dan mendekap dengan erat. Ia seperti merasa takut dan merasa bahwa kehadiran orang-orang ini adalah ancaman baginya.

"Jodi, tolong usir mereka. Tolong!" seru Alin.

"Nek, ada apa ini?" tanya Jodi pada neneknya yang juga terduduk lemas.

"Nenek tidak tau pasti, Nak. Tapi mereka tiba-tiba datang dan bawain kucing yang telah mati ini. Dan, kucing itu adalah milik anak kecil ini," jelas neneknya.

"Apa maksudnya mereka menuduh ibu sebagai pembunuh kucingnya?" tanya Jodi, ia segera menatap wajah takut ibunya. Ia yakin, ibunya pasti tidak akan tega melakukan hal bejat seperti itu.

"Iya, ibumu telah membunuh kucing anak saya! Dasar manusia tidak tau diuntung. Pantas saja, suamimu menghilang tiba-tiba dan dianggap mati. Atau jangan-jangan kau berniat membunuhnya dulu, ya?" ucap seseorang dari mereka. Tatapan dan tunjukan kasarnya ia layangkan pada Jodi dan Alin secara bergantian.