"Kamu dari mana aja?" tanya mami papi dari Tia dengan nada lantang. Keduanya tampak duduk berselonjor dekat kolam dengan kaki yang ditimpa. Tatapan tajam itu mereka layangkan pada Tia yang kini menundukkan kepalanya. Ia merasa segan dan takut.
"Tia, dalam satu minggu ini kamu nggak boleh pulang telat dari sekolah. Nggak ada alasan buat belajar bareng atau kelompok. Segera pulang, itu hukuman buat kamu!" kata Neni.
"Kamu tau kesalahanmu?" tanya Vino, bermaksud mengalihkan pikiran Tia dari amarah ibunya yang tengah memuncak.
"I-iya, aku tau, Pi."
"Apa kesalahan kamu, coba jelasin ke mami!" ucap Neni dengan nada lantang. Sekalipun wanita itu adalah ibu kandungnya, ia jauh lebih kejam dari ayah tiri yang malah sering mendukungnya dalam hal apapun.
"Em ... tadi, a-aku nggak ngasih tau keberadaanku. Enggak nerima telepon dari Mami dan Papi, juga dari pengawal Papi," terang Tia. Ia menggigit kuku jari telunjuknya sebagai tanda bahwa dirinya memang sedang benar-benar sangat ketakutan sekarang.
Entah hukuman apa yang akan didapat setelahnya. Neni tersenyum tipis. Ia memandang tubuh putrinya dari atas hingga bawah. "Kamu mandi sekarang juga, jangan sampai kamu bawa virus kemiskinan ke rumah ini."
"Mi?!" bentak Vino.
"Papi, biarin mami buat mengajar dia sekali aja. Jangan ikut campur terus. Anak ini memang perlu dihajar, berani-beraninya nggak peduli dengan telepon mami. Semua biayanya masih kita yang urus. Bahkan udah berulang-ulang mami bilangin kalau anak ini nurut, semuanya pasti akan baik-baik aja. Semua udah mami urus buat masa depannya, tapi masih aja ngeyel."
"Mi, aku juga pengen bebas kayak teman yang lain. Enggak cuma berdiam diri di rumah kayak orang gila!" seru Tia. Ia merasa muak dengan kehidupan yang dihadapinya, juga sindiran-sindiran yang keluar dari mulut Neni, hampir setiap harinya ketika mereka sedang berseteru.
"Kamu?! Bersyukur, dong! Anak yang lain juga pasti banyak yang iri dengan kehidupan kamu sekarang. Mereka yang pengen punya uang banyak, kehidupan mewah, makanan sehat yang bisa membuat otakmu bisa bekerja dengan baik, jadi nggak bodoh lagi. Juga perhatian penuh dari mami dan papi. Sekarang coba jelasin, kurangnya di mana lagi?" balas Neni. Ia pasti akan bersikeras bahwa yang dilakukan terhadap putrinya ini memang benar. Dengan dalih, semua itu demi kebaikan Tia.
"Mi, aku pengen kayak anak yang lain. Aku ma—"
"Ssst! Dasar, anak nggak tau diuntung. Oh iya, tadi kamu mau bilang apa? Berdiam diri di rumah? Semua yang mami berikan masih kurang? Kamu juga sering jalan-jalan. Harusnya kamu senang karena sekalipun kami sangat sibuk, masih menyempatkan waktu untuk kamu dibawa happy bersama keluarga. Pikirkan juga dong, kehidupan orang lain yang keluarganya hanya fokus dalam mencari uang, uang, dan uang," potong Neni. Ia membuat Tia terdiam. Sungguh, Tia tak lagi dapat membantah atau melawan ibunya itu.
"Mi, aku cuma mau dibebasin keluar sama teman," gumam Tia pelan. Mungkin masih terdengar oleh Vino dan Neni yang sedang beradu pola pikir. Keduanya merasa muak satu sama lain. Neni yang tak pernah peduli dengan pendapat Vino juga Tia. Dia yang hanya merasa bahwa keputusannya adalah yang terbaik bagi keluarganya.
Tia segera masuk ke kamarnya. Ia menyalakan shower lalu menyiram tubuhnya dengan guyuran air. Menggosok seluruh tubuhnya itu, melakukan seperti yang Neni mau, 'jangan sampai membawa virus kemiskinan'. Tia menangis dalam guyuran air. Matanya sembab. Bukannya ia tidak bersyukur dengan kehidupan santainya kini, namun ia hanya ingin hidup normal.
"Tia?" panggil Neni dari luar sana. Ia kemudian masuk, tersenyum senang setelah mendengar gemercik air di kamar mandi, menandakan bahwa putrinya sedang mandi. Ia meninggalkan segelas air dan makanan kesukaan Tia, nasi goreng sederhana buatan Vino.
"Kamu makan setelah ini ya, Nak!" seru Neni sebelum akhirnya dia melangkah keluar. Menutup pintu dengan pelan, ia sudah tak sabar segera bertemu suaminya untuk menjelaskan bahwa putrinya benar-benar patuh pada dirinya.
Ia hanya tidak tahu bahwa Vino sangat mengasihani Tia, sejauh ini dirinya sudah menganggap gadis itu seperti anak kandung, terlebih lagi dirinya yang tak lagi bisa untuk memiliki keturunan semenjak kecelakaan di masa lalu.
***
Sementara di kediaman Jonas. Adriel dan Ella yang baru saja membersihkan diri masing-masing. Segera berkumpul di ruang keluarga. Keduanya duduk dengan gaya masing-masing. Sambil menatap, berpikir, lalu tersenyum.
"Kita harus bantu Jodi!" seru keduanya kompak. Mungkin karena kembar, keduanya sering kali memiliki pemikiran yang sama. Bahkan dalam melakukan hal apapun.
"Tapi tunggu dulu, Abang cuci pakaian sendiri dulu. Baru bisa melakukan hal-hal lain!" kata Ella.
"Aku nggak mau, dong. Itu kan, urusan kamu. Gimana, sih?"
"Kenapa jadi urusan aku sih, Bang? Bukannya itu pakaian Abang, ya cuci sendiri, dong. Kan, ada mesin cuci tinggal masukin aja," balas Ella dengan nada memelas. Ia sudah menduga bahwa akan ada saatnya Adriel akan memperbudak dirinya.
"Lah, itu kamu tau. Kenapa nggak ngelakuin sendiri aja. Punya tangan, kan? Punya kaki?" sahut Adriel membuat Tia semakin kesal. Wajahnya yang segar sebab baru mandi, kini berubah masam.
"Bang, lakuin sendiri aja, ya," pinta Tia. Ternyata otak liciknya tak jauh lebih hebat dari Adriel. Padahal dirinya sudah sengaja mencuci pakaian sendiri terlebih dahulu dan membiarkan sang abang saja yang mencuci pakaian bekasnya sendiri.
"Aku nggak mau, sekarang aku lapar dan harus masak. Udah sana, cuci pakaian kotor itu! Kamu seorang cewek, kan. Nggak boleh, dong, main kotor-kotor begitu. Nanti calon suamimu marah dan pergi," ledek Adriel dengan senyum licik.
"Biarin aja dia pergi!" teriak Ella.
"Yah, jadi aku pergi, nih!"
"Emang Lo siapa?" kesal Ella sambil melemparkan handuk kecil di kepalanya pada Adriel yang segera menangkapnya.
"Huh, entah laki-laki mana yang nantinya mau sama anak gadis yang kerjaannya menggerutu, bersungut-sungut, bisa dipulangin sehari setelah nikah."
"Jangan menyumpahi adikmu ini. Kalau aku dipulangin, emang mau nikahin aku?" kesal Ella.
"Iya, aku aja yang nikahin," ucap Adriel dengan serius namun tak ditanggapi Ella lagi yang segera mencuci pakaiannya.
Ella tampak serius dengan pekerjaannya. Ia berusaha melakukan segalanya tanpa bersungut-sungut lagi. Ia takut jika ucapan abangnya itu akan benar adanya, kelak. Alangkah malunya sang ayah jika putri satu-satunya harus dipulangkan karena tidak bisa menjadi seorang istri yang baik.
Ketika berandai-andai dan telah berhasil memasukkan semua pakaian dalam mesin cuci. Ia teringat dengan Adriel yang akan memasak. Ini kali kedua untuk lelaki itu melakukannya. Ia sungguh tidak ingin jika sang abang akan menghancurkan dapur miliknya.
"Tidak!" teriak Ella sekencang mungkin. Berusaha membuat Adriel untuk tidak melanjutkan pekerjaannya. Ia bahkan ngos-ngosan setelah melihat Adriel yang berusaha menyalakan kompor.
"Kau kenapa, hah?" tanya Adriel.
"Kau jangan sentuh itu. Kau jangan pernah mengganggu dapurku. Aku aja yang masakin dan terimakasih telah tidak membuatku gila," ucap Ella sambil mendorong tubuh Adriel untuk segera pergi dari sana. Dirinya sedikit tenang karena dapur masih terlihat rapi. Ia menelusuri sekeliling dapur dan terkesiap ketika melihat tempat sampah yang sudah sangat berantakan dengan kuning telur yang belepotan.
Entah sudah berapa telur yang berusaha ia pecahkan dan mungkin karena kesal, lelaki itu segera membuang telur ke dalam tong sampah.
"Argh!" seringai Ella penuh kemurkaan. "Aku akan tetap memanggilmu Mr. Adtolol. Kau gila! Tidak berguna!" umpat Ella. Ia hampir saja menangis melihat dapur indah dan estetiknya berubah hanya dalam hitungan menit.