"Iya, ibumu telah membunuh kucing anak saya! Dasar manusia tidak tau diuntung. Pantas saja, suamimu menghilang tiba-tiba dan dianggap mati. Atau jangan-jangan kau berniat membunuhnya dulu, ya?" ucap seseorang dari mereka. Tatapan dan tunjukan kasarnya ia layangkan pada Jodi dan Alin secara bergantian.
Bugh! Bugh! Pukulan demi pukulan Jodi layangkan seketika. Ia merasa bahwa umpatan itu sudah terlalu kejam. Ia sungguh tidak akan rela ketika orang lain mampu berkata yang tidak-tidak tentang ibunya. Ia tak akan sanggup melihat ibunya direndahkan seperti itu, baginya biarlah dia dihina, namun tidak dengan ibunya, orang yang sangat ia sayangi dalam hidup ini.
"Astaga, Jodi! Jangan! Jo, cukup!" teriak Tia begitu heboh. Ia berlari untuk mencoba menengahi perseteruan itu.
Jodi menang banyak. Tubuhnya yang masih muda dan lebih kekar membuat lawannya kalah telak.
"Sakit," pekik bapak-bapak itu. "Dasar, anak orang gila!"
Sebutan paling kasar untuk seorang Jodi. Ia hampir saja menangis, namun sebisa mungkin ia tahan. Tangannya mendorong tubuh nenek dan ibunya agar segera masuk ke dalam rumah. Dia tak ingin disaksikan untuk perkelahian kali ini.
"Udah, Jo, udah!" tegas Adriel. Ia bisa melihat dengan jelas bahwa gambaran kemarahan masih terbentuk di wajah Jodi.
"Dasar, anak orang gila! Urus ibumu yang gila itu!" teriak sang istri dari orang yang baru saja ia hantam dengan pukulan.
"Iya, Bu. Kita pergi aja sekarang," ajak sang suami.
"Tunggu, Pak. Kita harus mengingatkan anak ini. Kalau sampai terjadi apa-apa dengan suami saya, kamu akan saya tuntut. Saya akan membuat hidup kalian lebih tersiksa. Saya akan buat kamu mendekam di penjara, kamu nggak akan pernah ketemu lagi dengan ibumu yang gila. Eh, dasar anak orang gila. Panggilan itu memang sangat pantas untukmu," umpat sang istri, lagi, sebelum akhirnya suami istri itu pergi menjauh dari mereka yang terdiam.
Jodi menahan amarahnya. Ia hampir saja ambruk jika Tia tidak segera menolong dan memapahnya untuk masuk ke arah teras rumah yang sederhana. Ia memijat keningnya yang terasa pusing, ingatan demi ingatan seakan menyatu.
Bayangan menyakitkan di masa kecil kembali datang, menyakiti kepalanya. Ia terisak, pelan.
"Ah, dasar anak orang gila. Menjauh, sana! Jangan pernah berniat untuk ikut bermain bersama kami!" Teriakan seorang anak laki-laki di masa kecilnya. Ucapan yang membuat hari demi hari Jodi semakin tak berarti. Tak pernah ia rasakan bagaimana hidup bersama teman, bermain, berlari kesana-kemari, pun belajar bersama atau sekadar keluar dari rumah untuk menikmati hidup seperti anak kecil kebanyakan.
"Kau nggak apa-apa, kan?" tanya Tia. Ia mencoba menepuk-nepuk punggung Jodi, pelan.
"Ella, tolong aku," lirih Jodi.
Mau tidak mau, Adriel yang sudah menyaksikan kesedihan itu, pun segera mendorong tubuh adiknya agar segera mendekat pada Jodi yang tampak sedih.
"Ada apa, Jo? Apa ada yang sakit? Kau ingin kita ke rumah sakit?" tanya Ella. Ia menjongkokkan tubuhnya, melirik ke arah wajah Jodi yang tertutupi oleh poni yang tidak begitu panjang.
"Ada yang sakit, El. Di sini," tunjuk Jodi pada dadanya. "Hati, juga pikiranku benar-benar sakit. Kalian udah tau siapa aku sekarang, kan? Aku yang selalu dipanggil sebagai orang gila, gila, gila, dan gila. Padahal aku yakin, ibuku nggak gila, dia sama sekali nggak gila!" teriak Jodi sekencang mungkin.
"Jo?" panggil Ella pelan.
"Argh!" teriak Jodi, lagi. Suaranya yang begitu parau, ia paksakan agar bisa terdengar sekencang mungkin. "Kenapa hidup begitu menyakitkan? Kenapa? Ibu, kenapa aku engkau lahirkan jika setiap harinya hanya untuk merasa tertekan?"
Kejujuran Jodi membuat Adriel untuk bergerak, ia sedikit masuk ke dalam rumah teman sekelasnya itu dan melihat keadaan ibu dan neneknya yang tengah bersedih.
"Ella, Ad, Ti. Apa kalian tau kalau selama ini, kalian itu adalah teman pertama yang pernah membuatku merasa tenang. Kumohon, setelah kalian berkunjung dan melihat keadaanku, jangan tinggalkan aku, kumohon." Jodi berucap dengan suara yang parau. Ia sedih, sesedih-sedihnya.
"Kami janji!" seru Tia. Adriel dan Ella menatap ke arah gadis yang tidak menunjukkan rasa bersalah, sedikit pun.
"Iya, kita juga janji, kok!" seru Adriel dan Ella kemudian dengan kompak.
"Terimakasih."
"Apa masalahnya, Jo? Coba ceritakan pada kami. Mungkin aja kami bisa bantu," pinta Tia. Ia tampak sangat penasaran membuat Jodi seakan tertekan.
"Kalau kamu merasa tertekan dan nggak ingin cerita masalah hari ini. Kapan-kapan aja, atau kalau kamu mau, datang aja ke rumah," ucap Adriel. Tanpa sadar, senyuman kebencian dan tidak suka terbentuk di wajah Tia. Adriel tak peduli untuk itu. Ia meminta adiknya membantu Jodi untuk segera masuk ke dalam rumah.
Jodi kemudian mengenalkan ketiga temannya itu pada ibunya. Adriel menyipitkan kedua matanya. Ia memijat keningnya, pelan. Mencoba memikirkan umpatan demi umpatan yang ia dengar tadi untuk Jodi dan ibunya.
'Tampak sangat normal, lalu kenapa mereka berani berkata seperti itu. Dan mulai sejak Jodi kecil?' batin Adriel. Ia merasa sedikit penasaran.
"Terimakasih anak-anak, kalian telah mau berteman dengan anak saya. Saya sangat merasa senang," kata Alin. Ia kemudian segera menundukkan kepalanya lebih dalam. Menyenggol tubuh ibunya dengan siku, meminta agar dirinya saja yang berbicara pada ketiga teman Jodi.
"Nak, terimakasih sudah datang dan menghentikan perkelahian itu. Jika kalian nggak datang, udah nggak tau lagi, apa yang akan terjadi," ucap sang nenek.
Belum sempat Tia, Adriel, dan Ella menjawab, klakson mobil yang kencang dan berulang-ulang benar-benar mengganggu perbincangan mereka. Dari sana, keluar dua orang lelaki bertubuh besar, tinggi, dan cukup kekar. Segera masuk ke dalam rumah Jodi tanpa dipersilakan terlebih dahulu.
"Siapa mereka?" kesal Adriel. Ia tak suka dengan sikap tak sopan dan kesemana-menaan yang ditunjukkan oleh kedua orang itu.
"Hehe. Itu orang dari mami papi aku. Maklum, ponsel aku dibuatin GPS, jadi mereka bakal tau di mana aku. Maaf banget!" kata Tia. Ia mengatupkan kedua tangannya untuk meminta maaf. Adriel menggerakkan lehernya, menginterupsi agar Tia meminta maaf pada Alin.
"Maaf, Tante. Teman-teman, aku pamit dulu, ya. Jo, aku pamit, ya. Kalau kamu masih sedih atau butuh apa-apa, kabari aja. Aku pasti bantu sebisa aku. Sampai jumpa besok di sekolah. Eh iya, Tante, Nek. Aku pamit!" ucap Tia, lagi. Ia segera berlari menemui kedua lelaki bertubuh besar itu. Tanpa aba-aba, pun dirinya segera masuk ke dalam mobil yang setelah itu segera melaju dengan sangat kencang.
"Maklum anak mami papi, pasti sibuk," canda Adriel.
Mereka berbincang untuk beberapa saat, sebelum akhirnya ponsel Ella pun bergetar. Ayahnya memerintahkan mereka untuk segera pulang dan beristirahat. Jonas paling tidak suka jika kedua anaknya harus makan dan menginap di tempat orang lain. Menurutnya itu hanyalah kegiatan yang merepotkan orang lain.
"Yok, Bang. Kita pulang," ajak Ella. Ia menarik lengan Adriel dengan kasar.
"Nek, Tante, Jo, kami pamit dulu, ya. Kalau ada apa-apa hubungi kami aja, nggak perlu segan-segan. Tapi jangan coba-coba buat telepon Ella tanpa sepengetahuan aku!" tegas Adriel mewanti-wanti.
Keduanya kemudian kembali. Namun, masih beberapa saat mereka menjauh dari rumah Jodi. Adriel mengajak Ella untuk pergi dan singgah sebentar di rumah orang yang telah mengumpati Jodi. Mencoba mencari tahu, masalah apa yang sebenarnya dihadapi teman mereka itu.