Chereads / Back To Me, Please / Chapter 6 - Mimpi Kita Berbeda

Chapter 6 - Mimpi Kita Berbeda

Di depan sekolah. Adriel dan Ella tampak masih bermalas-malasan, keduanya merasa sedih karena kembali lagi, ayahnya pergi untuk perjalanan bisnis ke luar kota. Kali ini untuk seminggu.

Hingga akhirnya Jodi dan Tia datang. Mereka keluar belakangan karena urusan mengantar buku ke perpustakaan. Keduanya memang sering kali diperintah oleh guru walaupun tidak terlalu dekat di kelas.

Adriel memperhatikan kedua temannya itu dengan fokus. Ia bisa merasakan ada sesuatu yang berbeda dari keduanya. Berjalan dengan selalu dibarengi dengan tawa. Ia merasa sedikit curiga dengan Tia, entah dia hanya sengaja membuat cemburu atau mungkin benar-benar memiliki perasaan dengan Adriel. Ah sudahlah, biarkan saja begitu, mereka berstatus sebagai teman dan tetaplah teman.

"Ayo," ajak Jodi.

Adriel dan Ella yang tak membawa kendaraan memang harus mengambil jalan masing-masing. Adriel kian kesal setelah menyadari itu. Jonas yang meminta mereka untuk diantarkan saja pagi itu membuat sebuah kejadian berat. Ella harus pulang bersama dengan Jodi dan harus berduaan di atas motor.

Adriel kini berusaha memutar otak, memikirkan bagaimana caranya ia bisa menggagalkan perjalanan sepasang manusia itu. Ia duduk di atas motor Jodi.

"Aku mau nyobain naik motor anak ini. Boleh dong, ya?" katanya.

"Eyy! Apa maksudmu, El? Tolonglah, aku mau pulang bersama Ella sekarang. Jangan persulit kami, kali ini aja. Ella juga udah capek dan laper, tuh!" sahut Jodi.

"Ya, karena itu, aku harus segera bawa dia pulang. Udahlah, aku aja yang bawa motor ini. Aku bawa Ella aja, kau naik mobil Tia aja," tawar Adriel dengan liciknya. Memang siapa yang tidak tahu dan tak paham akan rencana itu.

Kini, Jodi menghela nafas berat, menahan beban atas perlakuan Adriel yang selalu semena-mena terhadapnya, juga dengan Ella. Dan entah mengapa, pacarnya itu tetap saja sabar dan menerima perlakuan abangnya dengan menganggap bahwa itu adalah bentuk kasih sayang dan kepedulian darinya.

"Aku nggak mau, Bang. Sekali ini aja," kata Ella dengan lembut membuat Adriel tak sanggup untuk mengerjai adiknya itu, kali ini.

"Ya udah, deh. Nggak apa-apa, tapi kalian harus cepat," ucap Adriel.

"Cepat gimana sih, Bang? Emang kita mau balapan? Abang nggak sayang sama aku? Abang nggak mau kan terjadi apa-apa, jadi kami harus bergerak dengan lambat asal selamat," celoteh Ella mulai menahan tawanya. Ia sedang menguji abangnya itu bahwa apakah dia akan mengikuti permainannya.

"Aish, kau cari alasan aja! Abang nggak mau tau dan nggak peduli. Yang pasti, kau dan pacarmu itu harus cepat sampai di rumah. Jangan sampai aku menunggu lebih dari 2 menit, atau aku akan menjemputmu lagi dan nggak pernah ngasih kalian kesempatan untuk jalan berdua. Paham?"

Jodi, Tia, dan Ella saling menatap. Ketiganya sadar bahwa itu adalah perintah dan puncak dari segala ketegasan.

***

Kini, Adriel tengah duduk di depan rumahnya setelah supir Tia kembali. Mereka memang berjanji akan belajar hingga sore nanti. Artinya Tia akan dijemput setelah jadwal belajarnya usai.

"Ck! Di mana mereka berdua? Kenapa lama?" kesal Adriel. Ia memperhatikan jam tangannya terus menerus.

"Yang sabar dong, Adriel. Katamu perlu menunggu selama 2 menit. Kalau udah berlalu baru perlu panik. Untuk sekarang, jangan dulu, dong," balas Tia. Ia kemudian membuka sepatunya dan meletakkan di urutan rak yang teratas. Tak ingin sepatunya dengan yang lain saling bersentuhan. Semua orang juga dapat memaklumi itu. Bagaimana tidak, kedua orangtuanya yang kaya, selalu membelikan barang bermerk dan berkualitas untuknya. Pun, dengan ibunya yang selalu mendesak dan membuat aturan agar menjaga barang dengan baik, jangan sampai rusak dengan alasan yang mendekati kata sengaja, apalagi karena telah bersentuhan dengan barang yang tak seharga dengan sepatu putrinya itu.

"Argh! Ini udah 2 menit. Ke mana sih mereka. Aku mau pergi sekarang, kau di rum—" Ucapan dalam kecemasan Adriel terpotong, motor Jodi telah berada di depan rumahnya. Keadaan adiknya juga baik-baik saja.

"Aku kan udah bilang, jangan khawatir!" seru Tia dari dalam sana. Ia memang sedang membuatkan air untuk pacarnya ini. Mungkin, ia terlalu sering menyaksikan itu dari tingkah ayah dan ibunya. Oleh karena itu, ia langsung mengaplikasikan pengetahuan yang tersimpan di otaknya.

"Kita makan dulu, yuk!" ajak Tia. Ia menarik tangan Jodi, dan seperti biasa, Adriel segera memukul tangan Jodi agar menjauh dari tangan adiknya itu.

"Jangan sesekali berbuat nggak sopan dan enggak dengan adikku, apalagi dalam pandanganku. Kau akan mati! Simpan di otakmu!" katanya tanpa peduli dengan perasaan lelaki itu.

"Jangan dengarkan dia, Jo. Sekarang bukakan sepatumu. Oh iya, jangan lupa kabarin Ibu, ya!" ucap Ella, ia selalu menjadi penyejuk untuk pacarnya itu.

Setelah acara makan anak muda itu usai. Adriel mengajak mereka untuk duduk di taman belakang rumahnya, ia ingin mereka belajar dan memikirkan masa depan dengan menikmati pemandangan yang cukup menyejukkan mata dan pikiran itu.

"Apa mimpimu?" tanya Jodi.

"Kau bertanya pada siapa, Jo? Pada Ella? Hanya padanya?" sahut Tia dengan segera.

Lagi-lagi, hal itu menimbulkan kecurigaan yang parah di hati Adriel. Ia bisa melihat dengan jelas gambaran benih-benih cinta di mata gadis yang sedang berstatus sebagai pacarnya namun tampak tertarik pada laki-laki lain.

"Pada kalian bertiga aja, deh. Hehe."

"Oh ya?" tanya Ella. Jodi mengangguk dengan segera dan memasang wajah penuh meyakinkan.

"Aku mau nggak punya mimpi. Semua mimpiku ada di tangan mami papi aku. Mereka mau setelah aku lulus sekolah, aku belajar jadi seorang ibu rumah tangga yang baik, mulai dari memasak, mencuci, beberes rumah, pokoknya semua urusan seorang ibu lah," terang Tia.

"Kau akan jadi apa setelah itu?" tanya Jodi. Adriel mencolek tangan adiknya agar tak menyahut dan membiarkan kedua orang di hadapan mereka saja yang mengobrol. Ia ingin lihat seberapa kuat ketertarikan di masing-masing manusia itu.

"Aku akan menikah setelahnya. Mami papi aku bakal ngasih tunjuk calonnya ke aku setelah itu."

"Oh ya? Jadi kamu mau aja, gitu? Bukannya Adriel itu pacar kamu? Bukannya mereka udah tau juga? Jadi, kamu mau menikah sama orang lain, begitu?" tanya Jodi tampak penasaran dan bersemangat.

"Ya lihat nanti aja. Mereka pasti mikirin kebaikan aku dong. Mungkin yang jadi suami aku nanti adalah Adriel. Dia cuma akan memimpin perusahaan mami papi aku, jadi tenang, deh."

"Oh!" sahut semua orang di sana, lalu terdiam untuk sesaat, seperti tidak ada ketertarikan lagi untuk membalas menjawab dan melanjutkan pembahasan tentang Tia.

"Kamu?" tanya Jodi. Kini, ia beralih pada Ella.

"Aku masih banyak mimpi yang harus diwujudkan!" Hanya kalimat itu saja yang keluar dari mulut Ella.

"Aku juga sama dengan adikku. Masih banyak mimpi dan nggak cuma jadi seorang suami yang ingin punya istri kaya dan tinggal menikmati harta orangtua. Jika aku ada di posisi seperti itu, sepertinya, aku akan memilih jadi orang miskin dulu," kata Adriel.

"Oh!" sahut semua orang. Mereka sadar, ucapan Adriel keras maksudnya. Dia tak ingin dikomentari, sama sekali.

Kini, giliran Jodi untuk menjelaskan. "Mimpi kita berbeda. Kita berempat punya mimpi masing-masing, so jalan kita juga. semoga aja nanti bisa terwujud, ya. Aku kayaknya nggak perlu jelasin deh, kalian pasti udah tau."

"Jadi orang kaya?" kata Tia.

Jodi hanya tersenyum penuh misteri. Tapi Adriel dan Ella berhasil membentuk senyum pahit setelahnya.