Adriel dan Ella tengah duduk di balkon. Keduanya tengah membaca buku dengan jenis yang berbeda. Mereka memang sering melakukan hal itu untuk mengurangi kejenuhan sebab hanya tinggal berdua. Ketika sudah pulang dari sekolah, maka mereka akan belajar kembali, setelah lelah baru beristirahat.
Di hari minggu, Jonas, ayah dari keduanya tidak pernah memberi izin untuk mereka keluar atau sekedar berjalan-jalan. Ia selalu mengatur segalanya agar tak perlu keluar atau butuh sesuatu yang mengakibatkan keduanya bepergian.
Masih dengan buku di tangan masing-masing, setetes cairan kental berwarna merah jatuh ke atas kertas bacaan Ella. Kini, tangannya berubah memijat kening dan hidungnya secara bergantian.
Adriel yang menyadari pun, segera bergerak. Ia melihat keadaan wajah adik kembarnya yang sudah tampak pucat itu.
"Ih, kau kenapa, Dek? Di mana yang sakit? Kita ke rumah sakit sekarang, ya?" ucap Adriel sambil berusaha mengangkat tubuh adiknya itu.
"Bang, ini hari minggu. Ayah nggak akan ngasih kita ke luar. Sebaiknya, panggil seseorang saja ke sini untuk membawakan obat sakit kepala dan mimisan," jawab Ella. Ia berucap dengan jelas dan cepat membuat Adriel sedikit curiga.
Ia tak lagi begitu mengkhawatirkan adiknya itu, badannya ia tegakkan, senyum tipis terbentuk di bibirnya. "Aku panggilkan dokter aja, ya. Biar dokternya langsung periksa, jadi kita tau apa yang salah. Nanti abang sendiri yang akan jemput obatnya."
"Ah, nggak usah, Bang. Panggilkan Jodi aja ke sini. Ini cuma mimisan biasa, kok. Bentar lagi juga sembuh. Lihatlah, aku bahkan bisa duduk tanpa pingsan."
"Oh, nggak pucat lagi, ya?" sahut Adriel sambil menepuk-nepuk wajah adiknya yang ternyata telah dipenuhi bubuk tepung. "Pantas aja, kau berlagak mencurigakan. Selamat ya, udah berhasil ngerjain!"
"Bang, aku mau jumpa sama Jodi!" kesal Ella. Ia sadar, usahanya telah benar-benar gagal sekarang. Keinginannya untuk bertemu Jodi tinggal di angan. "Argh! Apa kita nggak bisa nakal untuk sehari aja? Pacaran, main di kolam renang, tanpa ay—" Mulut gadis itu seketika terkunci. Ia yang berteriak-teriak tak jelas sedari tadi begitu terkejut ketika melihat sepatu hitam mengkilap berada di lantai dekat ia berada sekarang.
Ia tak lagi mencari keberadaan Adriel. Jonas telah pulang dari pekerjaan luar kotanya. "Ah, mampus aku! Apa Ayah dengar semua yang aku teriakin barusan? Aduh, mampus!" umpat Ella pada diri sendiri.
Ella segera membersihkan wajahnya dengan buru-buru. Sebelum kaki ayahnya benar-benar melangkah ke arahnya, beruntung Adriel menolongnya dengan datang lalu memanggil ayahnya dengan sambutan meriah.
"Ayah, akhirnya pulang juga. Ayah? Ayah? Ayah?!" Panggilan heboh adalah kunci dari kedekatan Adriel dengan Jonas.
"Haha. Kau sudah dewasa, Nak. Kenapa masih bertingkah kekanak-kanakan? Hah!" balas Jonas kemudian merentangkan kedua tangannya yang disambut dengan senang oleh Adriel.
"Ayah bisa aja. Kan Ayah yang bilang, walaupun aku dan Ella udah dewasa, bagi ayah kami tetap pahlawan dan putri kecil. Hehe."
"Ah, sudahlah. Di mana Ella? Panggilkan dia, Nak. Ini ayah bawain makanan kesukaan kalian, pasti belum makan, kan?" titah Jonas. Pikirannya telah terlupa dari Ella yang sebenarnya sudah ia lihat sekilas, tadi.
"Belum dong, Yah. Lagian aku ada insting, kalau Ayah akan datang sekarang. Dan, tepat kan, Ayah datang waktu kami lagi lapar. Aku panggilin Ella, Yah!" ucap Adriel setengah berteriak. Ia kemudian bergerak memanggil adiknya yang masih sibuk dengan tisu yang digunakan untuk menggosok-gosok wajahnya.
"Sana, cepat! Ayah udah cariin kamu! Kebiasaan, emang!" titah Adriel. Ia tak lupa dengan kebiasaannya yang menggetok kepala adiknya itu.
"Itu sakit! Ah, kau!" kesal Ella. Ia hendak berlari mengejar Adriel, namun ada sesuatu yang aneh. Hidungnya kini benar-benar mengeluarkan cairan itu, benar-benar membuat dirinya hampir menggila juga. Kepura-puraannya menjadi sebuah kenyataan.
"Kau kenapa? Dasar, ratu drama!" ledek Adriel. Ia hanya memungut sampah tisu yang sudah dikenakan Ella. "Lain kali jangan dibiasakan!" tegas Adriel. Ia memilih untuk tidak peduli dengan rasa sakit yang dialami Ella.
***
Jodi tengah duduk di tepian jalan dekat taman, tak mengharapkan apapun. Ia hanya ingin bersantai di sana, menikmati malam yang semakin dingin, hawa yang menusuk tulang demi tulang di tubuhnya.
Ia menyaksikan beberapa dari mereka yang berlalu lalang, mereka yang tengah menikmati quality time bersama keluarga masing-masing bepergian, mungkin hendak pulang.
Dalam hati, Jodi meringis, "Ayah, kau di mana? Mengapa aku tak bisa merasakan kasih sayang keluarga?"
"Jodi! Ayo, pulang!" teriak Alin, ibunya. Seorang wanita setengah baya, sering dikatai gila sebab dia yang selalu menumpahkan amarahnya pada Jodi, anak satu-satunya yang tertinggal.
"Ibu, aku masih ingin di sini. Nanti aku pulang kalau udah capek!"
"Diam! Ini udah malam, kalau sakit, gimana?!" bentak Alin dengan nada yang sangat kencang.
"Ibu ... tolonglah. Jangan tarik lagi, rasanya sakit." Jodi mencoba menolak untuk ditarik Alin terus-menerus. Tubuh ibunya yang cukup kurus membuat dirinya tak tega bila harus mendorong atau berbuat kasar. Ia sangat sayang pada wanita itu, sekalipun yang didapat setiap harinya hanyalah rasa sakit dan sakit.
"Jo, apa kamu udah nggak sayang ibu?" Pertanyaan yang sangat menyakitkan, hawa setelah kalimat itu diucapkan seolah-olah membeku, tak lagi ada yang sanggup untuk mengalir.
Jodi tersenyum getir. Ia menghela nafas, mengacak-acak rambutnya sendiri lalu beranjak, berusaha menegakkan tubuh serta pandangan yang sebenarnya malas dan bahkan ingin marah. "Aku sayang Ibu dong pasti. Yuk, yuk, kita pulang sekarang."
Ia meraih jemari ibunya, menyatukan hingga mereka berjalan bergandengan dengan langkah yang tersejajarkan.
"Kalau begini kan, ibu senang banget, Nak. Ibu pengen hidup lebih lama, lihat kamu besar, kerja dan akhirnya nikah," sahut Alin. Ia juga berjalan dengan sedikit manja, kepalanya ia jatuhkan di bahu putranya itu.
'Ibu, aku masih ingin mencari keberadaan Ayah. Ibu, andai ibu berlaku seperti ini terus, aku nggak akan pernah dihujat, ibu juga nggak akan dikatai gila. Aku benci ledekan itu, Bu. Andai ibu tau apa yang aku inginkan, cuma ingin ibu hidup normal, sayangnya nggak cuma sama aku,' batin Jodi menangis.
"Kok diam, Jo? Oh iya, ibu mau nanyain kamu!" Alin memberhentikan langkahnya. Ia juga membuat anaknya berhadap-hadapan dengannya. "Apa cita-cita kamu, Nak? Apa udah berubah seperti anak biasanya? Dari SD, SMP, SMA, cita-cita mereka selalu berubah. Haha."
"Apa Ibu nggak begitu juga, dulu?" tanya Jodi.
"Iya ... ibu lupa, deh. Jangan biasakan balik bertanya, apalagi kalau sama ibu. Berikan ibu jawabannya sekarang," ucap Alin lagi.
Jodi sedikit mempercepat langkahnya. Walau ia malas dengan ibunya kini, ia juga masih harus memastikan keadaan neneknya di rumah.
"Apa, Jo?"
Jodi terhenti untuk sesaat, ia pun memberikan jawaban yang memuaskan untuk ibunya ini, walau pada kenyataannya itu hanyalah tipuan.