Alina perlahan membuka matanya. Kejadian tadi masih membuatnya mati lemas. Padahal sebenarnya ia sudah memperoleh kesadaran nya beberapa jam yang lalu. Karena masih tak sanggup mengontrol syok beratnya, ia memutuskan untuk menenangkan diri dengan tidur lebih lama. Sesaat pikirannya masih terkenang dengan kejadian di lift tadi siang.
Terjebak dalam ruang persegi yang gelap. Rasanya seperti ia baru saja bangun dari mimpi buruk yang panjang.
Ia mengelus dadanya pelan, mencoba mengontrol tekanan dalam dirinya. Rasa sesak dan tercekik dalam ruang sempit itu, masih membekas sampai sekarang. Dan yang paling ia benci, kenangan buruk masa lalunya kembali menghantui nya karena kejadian sialan itu!
"Aku harus mandi untuk membuang semua kesialan ini!" Alina perlahan bangun, menggeser selimut kesamping dan menurunkan kakinya ke lantai. Ia melihat ada paper bag di atas nakas serta ada note kecil yang tertempel di depannya.
*Maafkan aku!*
Ia mengambil paper bag itu dan melihat isinya adalah gamis polos bewarna marun. Dari serat kain nya, ia tau kualitas bahan gamis itu sangat baik. "Bermerek dan sangat boros, apa pria itu yang membelinya?"
Alina mencabut note kecil yang tertempel di paper bag. Ia merenunginya beberapa saat. "Maaf untuk apa?"
Ceklek! Suara pintu terbuka. Alina segera mengalihkan perhatian nya.
Pria jangkung berjas putih, dengan langkah kaki yang panjang masuk kedalam.
'Tidak!'
Setelah ia memperhatikan nya lagi, langkah nya tidak panjang. Tapi pria itu memiliki kaki panjang yang sempurna.
'Aku baru menyadari kaki nya cukup panjang!'
"Kau sudah sadar?"
"Em!"
"Maaf untuk kejadian hari ini" Kata Zayyad yang berdiri tepat di depan pintu, setelah melangkah masuk.
"Kata mu hanya selama menyeduh secangkir kopi?" Alina masih sangat mengingat kalimat itu. Kata-katanya yang menjadi harapan terakhirnya di detik ujung tanduk kehidupan.
"Perkiraan ku salah, maafkan aku!"
"Lain kali jangan membeli ku gamis" Alina meletakkan paper bag itu di atas nakas dan berdiri. "Gamis ku sudah terlalu banyak!" Itu karena Maya selalu menghadiahkan nya sebuah gamis setiap kali ia ulang tahun. Padahal Maya jelas tau kalau ia tidak menyukai nya. Tapi wanita itu masih saja bersikeras memberikan nya itu. Katanya ia terlihat anggun setiap kali mengenakannya.
"Untuk situasi darurat ini, aku hanya memikirkan apa yang bisa kau kenakan. Lain kali aku akan membelikan sesuai yang kau inginkan"
"Tidak perlu! Aku masih mampu memenuhi kebutuhan ku sendiri"
Zayyad memperhatikan salah satu pundak Alina, melihat cairan asam itu sudah mengering. "Jika kau ingin bersih-bersih, kau bisa menggunakan itu" Ia menunjuk ke salah satu pintu yang merupakan kamar mandi kecil pribadinya. Biasanya ia menggunakan nya jika sudah terlanjur menginap di perusahaan. Setelah mengatakan nya ia pun pergi.
"Situasi darurat apa? Aku bisa pulang ke vila untuk berganti pakaian" Gumam Alina. Lalu berbalik dan bergegas ke kamar mandi.
Kamar mandi itu meski kecil tapi ada bathtub didalamnya. Lengkap dengan shower, peralatan mandi serta gantungan handuk.
"Sepertinya perusahaan adalah rumah keduanya" Kata Alina sambil menyentuh handuk putih yang tergantung. Karena ia ingin merilekskan diri, ia pun memilih untuk berendam di air.
"Sangat bagus! Ada fasilitas untuk air hangat" Ia mulai mengisi air memenuhi bathtub. Melihat sebotol sabun aromaterapi, ia pun menuangkan beberapa tetes kedalam air. Aroma lavender yang menenangkan pun menyeruak memenuhi ruangan. "Pria yang tau memanjakan dirinya dengan baik!"
Meletakkan kembali botol sabun itu ditempat nya, ia berkomentar. "Aroma mawar jauh lebih baik"
Alina hendak melepaskan pakaiannya, hingga tanpa sengaja ia melihat ada lingkaran kuning seperti bekas noda di pundak kanannya. "Apa ini?" ia menurunkan hidungnya lebih dekat untuk mencium. "Bau asam!" Ia tercenung. Berpikir beberapa saat.
-Paper bag-
-Gamis-
-Maafkan aku!-
-Situasi darurat-
"Hah..hhahaa" Setelah menggabungkan semua potongan puzzle itu, Alina tidak tau harus tertawa atau menangis. Apakah ini ulah pria itu?
___
"Ia kakek tidak perlu khawatir! Katakan saja pada neneknya Alina kalau cucunya baik-baik saja"
"Aku sudah pesan bubur ayam untuknya, sepertinya kami akan makan malam disini. Setelah itu kami akan kembali ke vila"
"Iya, aku akan segera beli ponsel baru. Mungkin kakek ingin menghadiahkan satu untuk ku?"
"Tidak mau ya tidak masalah! Aku tau kau menabung cukup banyak uang untuk ku"
"Hahaaa"
"Kalau begitu aku tutup dulu"
Panggilan berakhir, Zayyad meletakkan telpon itu ditempat nya. Baru saja kakeknya menghubungi nya lewat telepon perusahaan. Kakeknya sekarang berada di vila, untuk menenangkan kondisi neneknya Alina yang sangat mengkhawatirkan cucunya setelah mendengar berita kejadian siang tadi di perusahaan nya melalui televisi.
"Huft! Ternyata berita ini juga sampai di disiarkan di televisi"
Tok..tok..
"Masuk!"
"Pak ini pesanan anda!"
Bakri melangkah masuk. Meletakkan dua kotak makanan dan satu kotak ponsel baru diatas meja.
"Terimakasih, maaf sudah merepotkan mu!"
"Tidak sama sekali pak!" Bakri tersenyum tulus.
"Kalau begitu saya pamit pulang pak!"
"Em! Hati-hati di jalan"
"Baik pak! terimakasih"
Setelah Bakri pergi. Zayyad melirik arlojinya yang sudah menunjukkan pukul sembilan malam lewat. "Sudah hampir sejam, apa ia sudah selesai?"
Ia pun pergi membuka bilik kecilnya. Melihat tidak ada siapapun di sana. "Belum selesai, apakah wanita biasanya selama itu?"
Untuk memastikan, ia pun melangkah masuk kedalam. Berdiri di depan kamar mandi, ia mengetuk nya. "Ini sudah malam, jangan terlalu lama di dalam. Jika sudah selesai, segera keluar. Aku sudah menyiapkan bubur ayam untuk mu. Itu masih hangat"
Hening. Tidak ada respon apapun.
Tok..tok..
"Alina kau dengar aku?"
Sama sekali tidak ada jawaban.
Tok..tok..
"Katakan 'em' saja jika kau malas menjawab"
Sunyi.
"Alina?"
Tanpa memikirkan apapun lagi, Zayyad segera membuka pintu kamar mandi. Ketika ia hendak melangkah masuk kedalam, detak jantungnya terus melaju cepat. Kedua lututnya bergetar, ia ragu untuk masuk.
"Hah..hah..hah.."
Suara seseorang yang kesulitan bernafas pun terdengar jelas.
"A-apa yang harus kulakukan?" Sangat sulit melawan ketakutan nya. Tapi jika terus berdiri di sini, bagaimana dengan wanita itu? "Aku tidak mungkin membiarkan nya begitu saja, kan?"
Ia menarik nafas dan menghela nya perlahan. Mengumpulkan seluruh keberanian nya untuk melangkah masuk. Jantung nya berdetak kencang, keringat dingin sudah memenuhi pelipisnya. Ini adalah situasi yang sangat sulit. Ia harus masuk kedalam kamar mandi dengan seorang wanita di dalamnya.
"Argh.." Ia menekan perut nya yang terasa sakit. Ini selalu terjadi dikala ketakutan nya yang berlebih dan tak terkontrol.
"Hah..hah..hah..."
"Ayo, selangkah lagi!" Zayyad mengangkat salah satu kakinya untuk melangkah lebih dekat. Detik itu ia melihat seorang wanita yang sedang berendam di air. Busa dan uap memenuhi bathtub. Aroma lavender merasuki penciumannya. Menekan rasa sakit di perut nya, Ia perlahan mengulurkan tangannya.
"Alina..."
"Hah...hah..hah.."
"Alina kau baik-baik saja?"
"Alina, kau- aku akan segera panggil dokter untuk mu" Zayyad yang panik, gelagapan tidak tau harus melakukan apa. Ia ragu untuk meninggalkan pergi wanita itu begitu saja. Tapi di sisi lain ia pun tak kuasa melakukan apapun. Terlebih lagi menggendong wanita itu untuk membawanya keluar. Ia tidak akan memiliki keberuntungan kedua kalinya kan?
"Hah..hah..hah" Wanita itu semakin lama semakin sulit bernafas. Zayyad dengan penderitaan rasa sakit perut nya, semakin panik.
"Alina bertahan lah sebentar saja! Aku akan segera memanggil bantuan" Ia berbalik dan hendak pergi.
Hanya saja langkah kakinya terhenti.
'Tidak, aku tidak bisa meninggalkan nya begitu saja!'
Zayyad memutuskan untuk melawan rasa takut nya, perlahan ia mengulurkan tangannya untuk menyentuh wanita itu. Tapi ketika tangan nya menyentuh kulit halus nya. Seketika dadanya terasa sesak. Ia sakit perut dan kesulitan bernafas, jika seperti ini terus yang terburuk ia akan-
Aku tidak bisa menangani ini!
Bruk!
___