Chereads / SELAKSA CINTA UNTUK BIDADARI / Chapter 5 - PATAH HATI

Chapter 5 - PATAH HATI

Sementara Arsyla merasa seluruh tubuhnya lemas, ia duduk bersandar di balik pintu kamarnya yang sudah ia kunci sambil menyeka air matanya.

"Maafkan aku, Jordhan." Arsyla terus menangis, hatinya kini bahkan terasa lebih sakit dari sebelumnya.

Bayangan wajah Jordhan yang penuh dengan kesedihan terus terukir jelas dalam benaknya.

Terbesit sedikit penyesalan di hatinya saat ia to the point mengatakan kalau yang datang barusan adalah calon suaminya, rasa takut kehilangan bahkan dibenci Jordhan kembali muncul.

"Astagfirullah ... Astagfirullah, istigfar Syla, istigfar," gumamnya seorang diri, ia mencoba bangkit dan mengambil napas dalam-dalam. Dikeluarkannya perlahan, berulang-ulang ia melakukan itu mencoba merilexkan pikirannya.

Tapi, hal itu rupanya tidak mengurangi rasa sesak di hatinya. Ia masih saja menangis.

"Andai kau ini seorang muslim, meskipun tidak sesoleh mas Rayyan, Jordhan. Aku akan tetap memilihmu. Akan ku yakinkan kepada kedua orang tuaku agar menerimamu, tapi... Nyatanya kau adalah seorang Kristen Protestan."

Arsyla memeluk lutut menyembunyikan wajahnya, tangnya bahkan semakin menjadi-jadi. Dia sungguh merasa dalam situasi yang benar-benar sulit.

Tak lama kemudian suara Adzan Duhur terdengar, dengan segera Arsyla bergegas mengambil wudhu dan menunaikan kewajibannya.

*******

Wajah Jordhan terlihat sangat pucat dan kusam, lingkaran hitam menghiasi kedua kelopak mata bawahnya, menandakan dia semalaman terus begadang.

Seorang berbadan tinggi dengan kulit kuning tanpa mengetuk pintu langsung begitu saja menyelonong masuk ke kamar Jordhan.

Pria itu mengipas-ngipaskan tangan kanannya di depan hidung, sedikit menahan napas mendadak, dan terbatuk-batuk.

"Dhan, kau ini ngapain? Mo bunuh diri dengan bakar paru-paru, ya?" tanya pria itu sambil memandangi beberapa puntung rokok yang berserakan di lantai kamar Jordhan. Kira-kira ada lima pack besar bungkus rokok yang sudah kosong, serta dua botol vodka yang tersisa seperempat botol di genggaman Jordhan.

"Kau, sepertinya perlu istirahat, ya sudah, ku izinkan nanti pada dosen kalau kau tidak enak badan." Dion membimbing sohibnya menuju tempat tidur, lalu membaringkannya.

Sambil menggunakan masker, ia membersihkan puntung rokok yang berserakan mengotori kamar, lalu membuangnya bersama dua botol vodka yang dilihatnya.

Seolah memahami kebiasaan Jordhan, Dion menggeledah semua lemari yang ada di kamar, dapur dan ruang bermai PS. dari pencariannya ia menemukan satu slop rokok dan empat botol Vodka serta dua botol bir. Semuanya ia ambil dan disembunyikan di tempat kiranya Jordhan tidak dapat menemukannya, meski di dalam rumahnya sendiri.

******

Di dalam kelas, mata Arsyla terus menatap ke arah pintu, dipandanginya setiap maha siswa/siswi yang masuk, sampai dosennya datang, orang yang dicarinta tidak ada. Dengan ragu-ragu ia menoleh ke belakang dan sekeliling, perlahan-lahan di amatinya, tetap tidak ada.

Pikiran Arsyla mulai kacau dan kemana-mana. Tapi, ia terus berusaha untuk fokus dengan materi yang dibawakan dosen, agar dapat memahami dengan baik.

Saat jam kuliah telah usai, Arsyla masih diam di bangkunya, ia enggan untuk segera keluar, tiba-tiba kepalanya terasa berat. Ingin menghampiri Dion dan menanyakan di mana Jordhan. Namun, ia urungkan. Karena sepertinya itu sangat konyol.

Arsyla tersenyum sendiri tanpa arti menyadari kekonyolannya. Lalu ia bergegas pergi.

Sementara Dion. Usai kuliah dia segera memacukan motornya dengan kecepatan tinggi menju ke kediaman Jordhan, tak lupa ia membungkuskan makanan kesukaannya, karna melihat dari kondisinya, jelas sejak pagi atau kemarin, pasti Jordhan belum makan apapun.

Sesampai di rumah Jordhan, suasanya nampak sepi, dan benar saja Jordham masih terlelap dalam tidurnya.

"Dhan, Jordhan... Bangun, gih. Ayuk makan dulu!" Dion menepuk kedua pipi Jordhan berulang-ulang.

Dengan malas pria itu pun bangun, bergegas ke kamar mandi untuk mencuci mukanya. Tak lama kemudia ia sudah menyusul Dion yang sudah menunggunya di ruang tengah.

Kini wajah Jordhan sudah mulai sedikit segar dan lahap makan.

Sementara Dion cuma melongo melihat Jordhan yang tidak biasanya makam selahap itu.

"Bro, tenang dikit, napa? Uda berapa hari, kamu gak makan, kok segitunya?"

"Sejak kemarin pagi," jawan Jordhan singkat dan terus melanjutkan makannya.

"Busyet, mo tirakat, kamu?" jawab Dion dengan suara khas membanyolnya. Namun, Jordhan tidak memberi respon.

Dion sebenarnya sudah memahami siapa yang membuatnya sohibnya menjadi stres, tapi apa masalahnya bisa sampai begitu, dia masih belum tahu. Untuk menanyakannya pun dia juga belum berani.

******

Sudah tiga hari Jordhan tidak masuk kuliah, Arsyla semakin bingung, meskipun ia nanti menerima lamaran Rayyan, tapi hatinya juga masih tertulis nama Jordhan. Apapun yang terjadi, Arsyla ingin terus berteman dengan Jordhan, serta baik-baik dengannya meskipun nanti tidak ada komunikasi di antara keduanya.

Lagi-lagi Arsyla merasa galau, rasa takut dibenci Jordhan dan menyesali kejujurannya silih berganti terbesit.

Dengan sekuat tenaga Arsyla berusaha menenangkan diri dan meyakinkan keputusannya itu tepat, apapun resikonya dia harus terima.

"Sudahlah, Syl. Lebih baik jika dia membencimu, dari pada dia tetap mengejarmu, kedepannya akan repot, pernikahan bukanlah hal main-main, tapi hal sakral dalam adat dan suci di mata Allah," Bisik Arsyla seorang diri.

"Nduk, kamu dipanggil abah, beliau memintamu ke depan," ucap Umi Halima kepada putrinya.

"Iya, Umi. Arsyla tinggal dulu, ya." Gadis itu pun meninggalkan dapur lalu bergegas ke depan menemui abahnya.

"Assalamaualaikum, abah." ucap Arsyla saat melihat sang abah duduk di kursi sambil membaca dengan serius kitab kuning di tangannya.

"Waalaikumssalam, duduk di sini, putri abah." ucap abah Arsyla tersenyum lebar sambil meletakan kitab di tangannya di atas meja.

Dengan kepala tertunduk Arsyla duduk berhadapan dengan abahnya, jantungnya berdegup tak beraturan, ia sudah bisa menebak apa yang aka dibicarakan.

Arsyla mulai tidak tenang, badannya terasa gemetaran antara bingung, panik dan takut menjadi satu. Ingin menolak lamaran Rayyan tapi itu dari kyai di mana ia menimba ilmu agama, jika menerima hati Arsyla sepenuhnya masih tertuju pada pria yang berbeda keyakinan.

"Nduk, ini sudah tiga hari kamu bertemu dengan nak Rayyan, bagaimana? Apakah kamu sudah menentukan jwabannya?" Mata abah Arsyla menatap lekat ke arah putrinya yang sedari tadi terus tertunduk.

"Insyaallah, sudah, Abah. Arsyla akan menerima lamaran mas Rayyan" jawab Arsyla perlahan dengan kepala masih tertunduk.

"Alhamdulillah." Abah menghirup napas lega mendengar jawaban dari Arsyla. "apakah kau yakin sudah benar-benar mikirkannya dan ikhlas?" imbuh sang abah.

Bersamaan dengan itu, Umi Halimah datang sambil membawa segelas besar teh hangat untuk suaminya.

"Sudah, Abah. Arsyla insyaallah juga ikhlas menerima mas Rayyan menjadi suami Arsyla." dengan kepala masih terduduk Arsyla menjaeab, tangannya mulai berkeringat karena gemetaran. Belum pernah ia berada dalam situasi yang seperti ini sebelumnya.

Dari samping, umi Halimah membelai belakang kepala putrinya sambil berkata, "Semoga dia benar-benar pria yang sudah Allah siapkan untuk membimbingmu menju jannahnya, Nduk. Semoga kalian berjodoh dunia dan akhirat."

Arsyla mengangguk dan berusaha tersenyum kepada kedua orang tuanya.

"Besok, abah akan mengajak rekan untuk kerumah Rayyan memberi jawaban kepada mereka kalau kamu menerimanya. Ya sudah, sebaiknya kita siap-siap  sembahyang Magrib, kita berjamaah." Abah Arsyla pun bangkit. Dari duduknya dan beranjak meninggalkan ruang tengah.

Dalam hati Arsyla ia juga bertanya-tanya, tumben tidak berjamaah ke masjid, malah di rumah. "Mungkin Abah ingin ngimamiku sebelum aku menjadi milik orang," pikirnya.