Ingatan-ingatan tentang masa lalu Arsyla terus tersusun bagai role film dalam ingatan Arsyla yang semakin menyayat hatinya.
Arsyla keluar dari pagar sekolahannya sambil melangkah cepat karena matahari yang terik.
Tapi, tiba-tiba seorsng pria berbadan tinggi, kira-kira dia hanya sedadanya berjalan mengikutinya sambil memayungi kepalanya dengan buku gambar yang lebarnya sekitar 45x50cm.
"Jordhan! Apa yang kau lakukan?" Arsyla memelototi pria di sampingnya yang nampak senyum-senyum tidak jelas.
"Aku melindungi calon ibu dari anak-anakku, lah. Jangan sampai sinar matahari membakar kulitnya. Jika itu sampai terjadi, aku takut, itu membuat kulitmu menjadi hitam. Lalu, bagimana dengan nasib anak kita nanti?" jawab Jordhan tanpa menurunkan buku gambarnya.
"Kamu omong apa, sih? Malu di dengar orang banyak!"
"Fakta, Syl. Aku takut nanti jika kulitmu berubah hitam, anak kita berkulit beoang hitam putih seperti sapi perah."
Arsyla yang sejak tadi sudah marah, ia langsung berlari, bersembunyi dari Jordhan karena ia merasa geli dan ingin tertawa saat mendengar anak belang hitam putih seperti sapi perah. Amit-amit banget, kan?
Ingatan selanjutnya...
"Arsyla, ada titipan buat kamu," ucap seorang siswi dari kelas lain yang masuk ke dalam kelas Arsyla saat jam istirahat, sambil memberikan secarik kertas yang terlipat asal.
"Dari siapa?" tanya Arsyla penasaran.
"Aku tidak tahu," jawab gadis itu dan langsung pergi meninggalkan kelasnya.
Tanpa ekspresi Arsyla membuka lipatan kertas itu dan membaca isinya.
'Lihatlah ke arah kanan, lalu kebelakang sekarang!'
Dengan kertas masih dalam genggamannya Arsyla mengikuti intruksi dari tulisan itu.
"Hah, apaan ini? Menyesal aku melihat kebelakang," umpat Arsyla seorang diri.
Di belakangnya, Jordhan sudah menyiapkan kejutan untuk Arsyla.
Edwin memegang selembar kertas bertuliskan "I" sementara Enggar kertas bergambarkan hati sementara Jordhan sambik senyum-senyum membawa bunga mawar merah menunjuk ke arah Arsyla.
-----
Saat olah raga lari maraton, tiba-tiba Arsyla terjatuh, kakinya terkilir hingga ia tidak bisa jalan. Terpaksa ia selonjoran sambil menunggu guru penjaskes melewatinya, karena ia yakin ia berada di paling belakang.
Tapi, di luar dugaan, dari kejauhan nampak seorang pria berlari dengan kulot putih kemerahaan karena panas semakin dekat dengannya.
"Arsyla, kau kenapa?" tanya pria itu panik.
"Aku cuma capek saja. Gapapa, cepetan kamu lari biar menang!" Seru Arsyla memaksa tersenyum, meskipun sebelah kakinya terasa sangat nyut-nyutan.
"Kamu bohong!" Jordhan pun duduk berjongkok di depan Arsyla dan memegangi pergelangan kaki kiri Arsyla.
"Aduuuh! Jangan sentuh," teriak Arsyla kesakitan.
"Kamu bisa jalan tidak?" tanyanya, sedikit terkejut saat Arsyla berteriak keras.
"Kalau bisa aku tidak akan buang-buang waktu duduk di sini," jawan Arsyla, keceplosan.
Tanpa berkata apa-apa Jordan yang jongkok masih berjongkok di depan Arsyla memutar tubuhnya, membelakangi gadis tersebut dan meraih kedua lengannya dan meletakan pada pundaknya dan menggendongnya.
"Dhan, kau gila, ya? Cepat turunkan aku nanti ada yang lihat!" Seru Arsyla sambil meronta-ronta.
"Bukannya kau tidak bisa jalan kaki?" jawab Jordhan, terus berjalan sambil menggendong belakang Arsyla.
Saat itu Arsyla benar-benar merasa kehilangan mukanya. Tapi, memang keadaannya sangat darurat, bahkan setelah itu dua hari Arsyla izin tidak bersekolah karena dua hal. Satu karena malu, kedua kakinya masih sedikit sakit. Jika saja hal konyol itu tidak terjadi, pasti dia akan tetap masuk sekolah daripada harus ketinggalan pelajaran.
Arsyla tersadar dari lamunannya, ia masih menangis menyalahkan Jordhan atas apa yang menimpanya.
"Kau yang salah, Jordhan! Andai dulu kau tidak menggodaiku dan mencari cara dekat denganku, aku tidak akan mencintaimu. Cintamu hanya membawaku dalam luka saja, Jordhan!" bisik Arsyla lemah. Tubuhnya ia jatuhkan ke atas meja dan terus menangis sejadi-jadinya.
Mungkin dia terlalu lelah dalam pikirannya, tanpa terasa dia tertidur di atas meja belajarnya. Baru terjaga ketika mendengar bunyi alaram dai ponsel yang ia letakkan tepat di depannya.
"Ya Allah, sudah jam berapa ini? Apakah aku cukup lama ketiduran di atas meja? sepertinya memang iya. aku harus segera bersiap-siap untuk mengajar ke pondok," gumamnya seorang diri. kemudian bergegas berganti pakaian yang suci dan rapi. karena ia yakin, abahnya pasti sudah menunggunya.