Setelah menyelesaikan ibadah sholat magrib, Arsyla dengan cepat menyiapkan buku, kitab dan alat tulis yang kiranya perlu ia bawa untuk mengajar di ponpes putri Baitil Jannati. Di ruang tamu, pak Ahmad abahnya sudah menunggunya.
"Tumben tidak ikut jamaan, Nduk?" sapa bu Halimah sesaat mendapati putrinya, tertunduk dengan mengenakan cadar.
"Iya, Umi. Tadi mungkin terlalu lelah mengerjakan tugas sampai ketiduran, melihat abah dan umi di tempat sholat ternyata sudah wirid. Jadi, Arsyla sholat sendiri di kamar," jawab gadis itu dengan kepala tertunduk menyembunyikan matanya yang masih sembab bekas ia menagis tadi.
"Jangan terlalu lelah, ingat istirahat," jawab bu Halimah sambil mengusap kepala putrinya Ketika bersalaman dan mencium tangannya.
"Kamu berangkat dulu, Umi, Assalamualaikum," ucap pak Ahmad sambil menyodorkan tangannya kea rah istrinya.
Selama perjalanan menuju pondok, Arsyla hanya banyak diam saja. Ada banyak hal yang ia pikirkan. Ini bukan terkait Jordhan lagi. Tapi, lebih rumit dari itu, yaitu bagaimana caranya menemui mbak Nur nanti. Ia takut, kalau saja dia akan tahu jika Rayyan pemuda yang selama ini ia cintai dijodohkan dengannya. Ia tak tega melihat sahabat baiknya itu patah hati karenannya. Jika saja bisa memilih, tentu saja Arsyla memilih lebih baik Rayyan yang dicintai mbak Nur selama ini dijodohkan dengan wanita lain saja yang mereka sama-sama tidak kenal.
Entah terlalu asik melamun atau bagaimana, tanpa sadar abah sudah mengehentikan sepeda motornya di depan gedung santri putri.
"Terimakasih Abah," ucap Arsyla dengan cekatan gadis itu meraih tangan pria itu dan menciumnya sebanyak tiga kali. Kemudian, buru-buru dia pergi memasuki pagar demi menghindari pertanyaan dari abahnya.
Tiba di depan ruang guru, ia sudah disambut oleh Ruroh. Ia berkata dengan suaranya yang cempreng, "Aku mau mendampingi santri yang akan diikutkan lomba dulu."
Arsyla mengangguk pelan dan tersenyum tipis. Namun, senyuman itu perlahan pudar setelah melihat mbak Ruroh yang nampak murung.
Arsyla masih hanya diam dan mematung. Ia tidak tahu harus bersikap bagaimana. Beruntung, karena ketiduran dan dapat dikata telat, ini sudah jam pelajaran. Jadi, ia hanya tersenyum menyapa mbak Nur saja, meskipun itu canggung kemudian kembali meninggalkan ruangan tersebut untuk memberi pelajaran.
Waktu terasa berjalan begitu sangat cepat. Menyimak hafalan dan memberi satu bab materi baru, tanpa terasa sudah menghabiskan waktu selama dua jam. Artinya, proses belajar mengajar sudah berakhir. Kembali Arsyla masuk ke dalam ruangan guru untuk mengecek Hasil tugas santrinya. Setelahnya, ia menemui mbak Nur dengan ekspresi yang sama, kusut, tak bergairah.
"Rasa takut itu tidak untuk dinikmati, Syl. Tapi, untuk dihadapi," bisiknya seorang diri. Setelah menarik napas dalam dan menghembuskannya perlahan dari mulut, gadis itu beranjak menghampiri gadis yang baru saja masuk ke dalam ruangan guru tersebut.
Sesampai di depan mbak Nur, Arsyla menyodorkan sebungkus krupuk seblak buatan umunya yang ia bawa dari rumah.
"Pedas bisa membuat ngantuk hilang lo," ucapnya.
Pandangan kosong Nuraini yang semula nampak menerawang ke depan, kini teralihkan pada obyek di depannya yang jauh lebih dekat. Sebungkus krupuk seblak warna warni yang mengeluarkan aroma khas daun jeruk purut dan kencur favoritnya.
Perlahan bibir gadis bermata minimalis itu melengkung ke atas membentuk sebuah senyuman. Tanpa sungkan lagi, ia mengulurkan tangan kanannya dan mengambil satu dan mengunyahnya. "Pedas sekali, level berapa ini?"
"Aku tidak tahu, karena umi yang membuat dan aku tidak ikut membantunya tadi," jawab Arsyla. Kemudian duduk bersimpuh di dekat mbak Nur. Karena, ruangan seluar 4x4,5 meter persegi itu memang tidak ada kursinya. Hanya ada beberapa meja yang tidak tinggi untuk meletakkan kitab dan buku-buku saja.
"Kapan kau tidak sibuk? Selalu saja ada tugas kuliah yang kau kerjakan, belum lagi mengajar. Jika saja aku jadi kamu, mungkin aku belum tentu mampu, Syl."
Lagi-lagi Arsyla hanya tersenyum tanpa mengatakan sepatah katapun.
Lima belas menit berlalu, mereka berdua sudah mengabiskan setengah plastic krupuk seblak yang kian lama pedasnya seperti bertambah saja. Mungkin memang sudah menjadi ciri khasnya, ya? Mbak Nur dan Arsyla sama-sama kepedasan. Mereka berhambur menuju ke dismpenser yang terletak di dekat pintu
"Kukira ini biasa saja. Ternyata sangat pedas, ya?" ucap mbak Nur sambil tertawa.
"Ya, awalnya memang biasa saja. Tapi, semakin lama memakannya, maka semakin pedas saja." Arsyla merasa lega setelah melihat mimic mbak Nur yang sudah terlihat ceria. Ia menoleh ke eblakang, memastikan keadaan sekeliling benar-benar aman atau tidak. Setelah sudah ia pastikan hanya ada dia dan mbak Nur saja, segera Arsyla mengeluarkan sesuatu dari dalam tote bagnya. "Mbak. Aku menemukan ini di depan pintu kantor kemarin. Asal kupungut saja, kukura buku catatan milik santri. Karena buru-buru sudah ditunggu abah, aku langsung memasukkan ke dalam tas tanpa melihat, milik siapa. Baru aku tahu setelah beberapa jam dirumah, ternyata di sampul sudah terdapat nama mbak." Arsyla menyodorkan sebuah buku kecil dengan tebal kira-kira 3,5 cm.
"Astaga! Untung kau yang menemukan ini?" ucap mbak Nur dengan ekspresi yang benar-benar terkejut dan tak dibuat-buat.
"Apakah kamu sudah melihat isi di dalamnya?" tanyanya sambil memeluk buku kecil tersebut.
"Itu adalah buku diary, Mbak…. " Sengaja Arsyla menggantungkan kalimatnya karena dua alasan. Pertama, ia tak ingin berbohong. Lalu, kedua sengaja dengan demikian, mbak Nur pasti berfikir kalau ia tidak akan berani. Karena, selama ini ia memang tipe pribadi yang terkenal cuek dan tak pernah mau tahu dengan urusan orang lain. Kecuali, jika orang itu curhat, barulah ia menunjukkan sikap rasa pedulinya.