Ruangan itu sudah terpasang 3 AC dan semuanya tidak ada yang rusak. Akan tetapi, hawa didalamnya terasa panas sekali. 2 orang yang berada dalam ruangan tersebut tak saling berbicara, namun sangat terasa aura yang tidak menyenangkan diantara mereka. Sepasang mata wanita paruh baya itu menatap pemuda dihadapannya kesal merasa dirinya tak dihargai kehadirannya.
"Kamu mau kemana lagi, Elang?" Tanya wanita paruh baya itu.
Bukannya menjawab, Elang mengenakan topinya dan melengos pergi.
"Zayn butuh bantuan kamu."
"Zayn sudah besar . Lebih baik aku urus Awan." Jawab Elang ketus.
"Awan masih kecil. Dia bisa di urus babysitter. Zayn butuh kamu di perusahaan." sahut Nyonya Elia kesal.
"Sebentar? Anda bilang apa barusan? Apa saya ga salah dengar?" Elang menghentikan langkahnya dan kembali ke hadapan ibunya. Memandanginya dengan tatapan yang sangat sinis. Sangat melukai hati wanita itu.
"Tadi anda bilang kalau Zayn lebih butuh aku daripada Awan? Huh?" pemuda itu mempertegas pertanyaannya. Mimik wajahnya terlihat seperti ia ingin memangsa ibunya sendiri.
"Dion, panggil Zayn sekarang!" Suruh Elang.
Nyonya Elia memijat dahinya. Ia tampak lelah menghadapi putranya yang satu ini. Dalam beberapa menit, seorang laki-laki dengan pakaian formal tiba di ruangan tersebut.
"Yes mom, what's..." Ucap Zayn terputus begitu merasakan atmosfir menegangkan di sana.
Ia menghela nafas lalu merangkul kakaknya. Laki-laki itu sudah sangat terbiasa dengan atmosfir yang ada di antara ibu dan kakaknya setiap kali ada dalam suatu ruangan.
"Calm down, bro. I can handle everything here, you can go," Ujar Zayn sembari tersenyum.
"Okay bro, kamu bisa hubungi aku ada apa-apa," Sahut Elang ramah.
"Iya, jangan lupa kabarin tentang Awan ya, nanti aku kesana kalau udah istirahat."
Elang mengangguk. Ia kembali menatap ibunya sinis. Lalu tersenyum.
"Maafkan aku nyonya Elia, anda bisa membuang Awan dimanapun anda mau. Anda boleh tidak mengurusnya, tapi anda tidak berhak menjauhkannya dari saya. Jika Anda melakukannya lagi," Elang mematahkan sebuah pulpen dan menginjak-injaknya hingga hancur.
"Nasib anda akan lebih hancur dari pulpen ini. Karena disini, bukan anda yang berkuasa, Nyonya Elia Karin. Permisi."
Setelah Elang meninggalkan ruangan itu, tangan Nyonya Elia mengepal keras. Giginya gemertak. Sedangkan, Zayn yang berada di hadapannya hanya menghela nafas berat.
"Aku bisa mengurus semua. Percuma mom kayak gitu. Sampai kapan pun, Elang gak akan berubah." Hibur Zayn lembut sambil meremas lembut bahu ibunya.
Nyonya Elia tak menyahut.
"Aku pergi dulu mom, permisi." Pamit Zayn sopan.
Wanita itu mengangguk pelan. Ia duduk kembali di kursi kantornya. Memandangi semua file yang baru saja diberikan oleh bawahannya. Mereka memberikan laporan keuangan dan keamanan. Tentu saja, perusahaan saham seperti ini hanyalah salah satu pijakan untuk menutupi status mereka sebagai mafia, walaupun sebenarnya tidak diperlukan.
Elang merasa tak perlu menutupi status mafianya. Toh memang tangannya sudah kotor dan orang-orang mengenalinya sebagai 'Angin pembunuh'. Karena jika ada yang berani macam-macam dengan dirinya ataupun orang-orang disekitarnya, mereka akan menghilang dengan cepat. Bahkan tak akan ada yang menyadarinya.
"Bisa-bisanya kamu seperti ini padaku?!" Elia masih geram.
Sementara itu, Zayn kembali ke ruangannya. Lalu memanggil asistennya.
"Kamu sudah cari gadis yang dulu pernah menolong Awan? Sudah kamu temukan identitas lengkapnya?" Tanyanya.
"Sebentar tuan, akan saya tunjukkan sesuatu," jawab Moza, asistennya tersebut.
"Baik,"
Matanya memandangi laptopnya yang tengah memutar ulang rekaman cctv. Seorang gadis berkuda mengantar adiknya. Bukan itu yang membuatnya heran, melainkan sesuatu yang gadis itu miliki. Zayn merasa bahwa sebenarnya gadis itu memiliki pengaruh yang cukup besar sehingga ketika para perawat itu mendengar namanya mereka langsung memohon-mohon. Bahkan para lelaki gagah mengawalnya. Dia pasti bukan gadis biasa yang sedang berjalan-jalan menggunakan kudanya.
Selang beberapa menit, asistennya menghadap kembali.
"Identitas gadis itu high secret, tuan. Keamanan datanya tidak bisa dijebol sembarangan. Saya berusaha bobol salahsatu sistemnya beberapa kali, tetap saja gagal." Jelas wanita itu. Mendengar itu, Zayn tak heran. Memang benar dugaannya.
"Panggil Adam. Suruh dia ke ruangan saya sekarang." Suruh lelaki itu.
"Tapi, tuan Adam.." ucapan wanita itu terputus begitu melihat sepasang mata tajam tengah menatapnya lekat.
"Baik, Tuan." Ucap wanita itu kemudian keluar dari ruangannya.
Setelah asistennya keluar dari ruangan, Zayn menelpon pihak rumah sakit dan menanyakan kondisi adiknya yang sekarang. Setelah itu, dia kembali mengamati rekaman cctv di laptopnya. Bibirnya menyungging ke atas sedikit. Pertama kali mata mereka bertemu, ia tahu betul tatapan itu adalah tatapan pembunuh persis seperti milik kakak pertamanya, Elang. Namun, ia menolong Awan bahkan membawanya ke rumah sakit. Jika dia mau, dia bisa membiarkan Awan sekarat disana.
"Ada apa, Zayn? Lo manggil gue jam segini tumben banget?" Adam membuyarkan lamunannya.
"Aku mau minta tolong ke kamu.. Cari tahu tentang gadis ini. Aku yakin kamu bisa mencari identitasnya," Pinta Zayn tegas.
Badan Adam merunduk perlahan dan matanya menyipit, memperhatikan gadis yang di maksud adiknya. Selang beberapa detik, ia mundur lalu duduk di sofa sambil menghela nafas berat.
"Huh? Buat apa lo cari identitas cewek purba kayak gitu? Apa gak ada calon istri yang lain?" Cerocos Adam. Ia mengangkat kepalanya dan mendapati Zayn tengah menatapnya malas.
"What? Kenapa lo liatin gue kayak gitu? I mean, kalau mau cari istri, gue bisa cariin yang lebih baik daripada cewek purba ini." Lanjut Adam.
"Cewek purba kayak gimana maksud kamu?" Tanya Zayn. Kali ini, ia meladeni celotehan kakaknya itu.
"Ya, yang kayak gitu. Masa pakai baju dari bawah ke atas, gak ada sama sekali yang kelihatan. Apa maksudnya coba? Cuman orang-orang purba yang pakai baju kayak gitu." Jawab Adam sekenanya.
"Iya, aku tau, orang purba kayak gimana sih maksudnya? Yang seperti ini?" Zayn menunjukkan lukisan manusia purba yang hanya memakai dedaunan dan kulit binatang, sekedar menutup bagian vitalnya.
"Nah itu..." Seketika, celotehan Adam terhenti.
"Coba sekarang aku bandingin sama foto gadis itu," Kata Zayn tenang. Ia mensejajarkan foto gadis itu dengan lukisan tadi. Tangan kanan Adam menggosok-gosok belakang kepalanya. Ia tahu persis, sekarang adiknya tengah memojokkan pendapatnya barusan.
"See brother? Kamu bilang pakaian gadis ini pakaian manusia purba? Nyatanya, pakaian manusia purba bahkan gak menutupi sebagian badan mereka." Tegas Zayn mematahkan pemikiran rasis kakaknya.
"Iya, iya.." Adam hanya mengangguk setuju.
Pemuda itu menatap kakaknya dengan tatapan lembut.
"Kamu harus berubah, Dam. Pemikiran kamu yang rasis itu malah bikin kamu kelihatan lebih purba dari pakaian gadis yang kamu hina barusan." Ujar Zayn santai tapi menohok.
Mulut Adam terkunci seketika. Bukan sekali dua kali, Zayn mengingatkannya. Tapi, tetap saja dia tak bisa membuka mulutnya setelah adiknya itu menasihatinya.
"So, brother.. Kamu bisa kan tolongin aku? Kamu kan bukan manusia purba yang tak tahu teknologi zaman sekarang.."
Kakaknya menerima permintaan itu dengan muka yang dipaksakan tersenyum.
*****
"Oh ya, bro.. Gimana keadaan Awan sekarang?" Tanya Adam sambil mengutak-atik laptopnya.
"Dia sudah semakin membaik sekarang." Jawab Zayn yang juga sibuk mengurus pekerjaannya.
"Hmm.. Bagaimana dengan Elang? Apa dia udah jenguk Awan? Gak ribut lagi kan?"
"As always, brother.." Zayn menghela nafas berat.
Untuk sesaat, Adam menatap Zayn yang tengah memeriksa puluhan file di mejanya satu persatu. Dia adalah adiknya tapi dia lebih bisa diandalkan dibandingkan dirinya. Ia memang sengaja terlihat buruk di hadapan orangtuanya, agar tak diberi tanggung jawab perusahaan oleh mereka. Ia juga menolak kekuasaan mafia yang diserahkan kepadanya.
Bahkan untuk memuluskan keinginannya itu, Adam sampai membuat rumor tentang dirinya yaitu pernikahannya dengan seorang pelayan dirumahnya. Bagi keluarga terpandang, apalagi mafia seperti mereka, sangat memalukan ketika berita itu sampai ditelinga mereka. Tentu saja, rumor itu sama sekali tak benar. Tapi, orang-orang sangat mempercayai media.
Malam itu, setelah keluarga mereka berunding tentang bisnis, Zayn memanggil Adam dan membawanya ke taman.
"Apa yang kamu lakukan Adam? Kamu gila?" Bentak Zayn. Tangannya mengangkat kerah baju Adam. Nampak sekali dari kemurkaan dari kedua matanya.
"Kamu fikir kamu bakal lolos dari Mom? Dia bahkan gak pernah menatap kita sebagai anaknya, kamu malah berulah .."
Adam tahu resikonya ketika membuat rumor yang mempermalukan keluarga psikopat ini. Tidak ada pilihan selain di gantung atau di tembak. Intinya, harus mati. Tapi ia tak keberatan. Toh, memang dari awal, ia merasa tidak hidup sebagai manusia.
Keluarga ini tak lebih dari sekedar komunitas bisnis yang di bangun lewat rumah tangga. Dalam sebuah bisnis, setiap orang harus memiliki keturunan yang meneruskan usahanya. Begitu juga yang dilakukan keluarganya. Semuanya dilahirkan hanya untuk formalitas. Elang, Adam, Zayn, dan Awan hanya lahir untuk kepentingan bisnis. Tak ada yang lain.
"Kamu benar Zayn, dan sepertinya kakakmu sudah habis waktunya sekarang." Tiba-tiba, Ibu mereka muncul dengan pistol ditangannya.
Zayn memandangi Adam dengan mata nanar. Ia menggenggam kerahnya erat. Tentu saja, dirinya tidak ingin kehilangan saudaranya satupun. Meskipun itu adalah Adam, orang yang melemparkan tanggungjawab kepada dirinya.
"Mom..?" Awan muncul membentengi kakak-kakaknya.
"Minggir kamu anak kecil." Usir wanita itu dingin.
"Jangan tembak kakak mom... Kumohon," Mohon bocah itu memasang wajah polosnya.
"Boni, bawa dia. Beri dia obat lagi. Tambahkan dosisnya." Begitu ia selesai berbicara, sebuah pisau melayang dan menyayat dahinya.
"Argghhhh...!!!" Erang nyonya Elia menjatuhkan pistolnya dan memegang dahinya.
"Kamu fikir, Awan itu hewan ternak yang bisa terus kamu kasih obat seperti itu." Elang muncul tanpa rasa bersalah telah melukai ibunya.
Matanya beralih menatap guard yang di perintahkan ibunya membuat badan guard tersebut agak gemetar.
"Serahkan Awan kepada Nanny-nya, berani kamu kasih dia obat, akan kubuat racun tikus sebagai laukmu." Ancamnya.
"Baik tuan muda." Sahut guard itu setengah ketakutan.
Setelah guard itu membawa adiknya, Elang mengambil pistol yang di jatuhkan ibunya. Lalu, menodongkannya tepag ke arah kepala ibunya.
"Say Hi to the Hell," ucapnya dingin.
"ELANG!!!!" Teriak Tuan Surya. "Cukup! Elia, biar Ayah yang urus. Jangan bertindak gila semaumu," Ia berusaha membujuk putra sulungnya.
Elang terdiam sejenak mendengar ayahnya memohon-mohon. Sejurus kemudian, ia menginjak pistolnya hingga patah.
"Oke, Ayah tolong urus Eliamu ini. Jika dia tak bisa menjadi istri yang baik untukmu atau berani macam-macam dengan adik-adikku, akan kuubah dia menjadi pelayanku. Mengerti?" Lagi-lagi, Elang mengancam.
Ayahnya menelan ludah. Sebenarnya, ia sudah biasa mendengar Elang mengancam seperti ini. Tapi, jika dia sampai melukai seseorang, Elang tak akan memberi kesempatan kedua.
"Guard, bawa dia." Suruh Elang yang langsung diterima dengan sigap oleh guard.
Kedua adiknya menatap Elang ngeri. Elia adalah ibu kandungnya. Ibu biologisnya. Tapi, seakan-akan, Elang tak memiliki ikatan batin terhadap ibunya itu.
"Elang, bagaimanapun juga, dia adalah ibu kita. Kamu bilang akan menjadikannya peliharaan mu? Kamu gila hah?" Ujar Zayn hati-hati.
"Dia wanita yang melahirkanku. Bukan yang membesarkan ku ataupun bersamaku. Selama ini, dia yang membutuhkanku, bukan aku yang membutuhkan dia." Sahut Elang dingin.
"Jika kalian ingin aku menghormatinya seperti kalian," Elang berujar sambil menatap tajam mereka berdua. "buktikan kalau dia bukan mesin penghasil anak, melainkan seorang ibu. Jika kalian tidak bisa membuktikannya, jangan harap aku memanggilnya dengan sebutan yang biasa kalian pakai,"
Mereka berdua saling bertatapan. Kemudian menghela nafas berat berbarengan. Mereka benar-benar tak faham apa yang dipikirkan saudara mereka. Semua yang terjadi bukan sepenuhnya salah nyonya Elia, meskipun semua perbuatannya pun tak satupun dapat termaafkan oleh Elang. Ibu mereka seperti itu, untuk bertahan hidup. Jika dia gagal mendidik anak-anaknya menjadi mafia, maka ia yang akan terbunuh.
Karena Elang merupakan anak pertama, otomatis ia menjadi putra mahkota di kerajaan bisnis ini. Dididik untuk tegar, diasah hidupnya agar lebih kuat. Kehidupan ditengah-tengah mafia memang terlihat sangat enak. Dikelilingi kekayaan dan kemewahan. Namun tentu saja tak semudah itu.
Sejak kecil, Elanglah yang harus banyak berkorban. Kehilangan teman, kehilangan empatinya, kehilangan masa kecilnya sampai akhirnya yang paling parah, kehilangan jati dirinya sebagai orang baik.
Apapun yang ia lakukan semaunya, selalu salah di mata ibunya. Hukuman yang diberikan pun tak main-main. Mencambuk punggungnya, tangannya, menembak peliharaannya, mengirim teman-teman sepermainannya jauh-jauh dari lingkungannya.
"Kamu adalah keluarga mafia, keluarga yang di segani, di takuti, dan terpandang. Jika kamu berteman dengan orang-orang seperti mereka, kamu akan dikhianati, tidak ada yang bisa kamu percaya didunia ini dan juga kamu anak pertama, kamu pewaris sah kerajaan bisnis ini. Jangan pernah mengotori pandangan orang tentang keluarga kita. Jika kamu tidak bisa mewarisi kerajaan bisnis ini..." Bisik Ibunya dengan nada mengancam.
"Merekalah yang pertama mati karenamu." Nyonya Elia menodongkan pistol ke arah Adam kecil.
"Maka dari itu, jika ada yang mengganggu atau menghalangi jalanmu, bunuh saja.." Ujarnya lagi sambil tersenyum.
Sejak itu, Elang kehilangan jati dirinya sebagai orang baik. Ia membunuh banyak orang karena ingin melindungi adik-adiknya. Ia tak peduli ayah atau ibunya. Hanya adik-adiknya yang ada di pikirannya. Dan sejak itu juga, Elang tak pernah menganggap nyonya Elia sebagai ibunya. Ia sangat membencinya. Terutama setelah melahirkan Awan, ibunya malah menitipkan Awan sepenuhnya kepada Nanny dan tak pernah lagi menengok ke arah anaknya itu barang hanya untuk menciumnya.
Akhirnya, pada umur 17 tahun, kerajaan bisnis sepenuhnya di serahkan kepada Elang. Mulai dari hari itu, tak ada satupun berani menentangnya. Rekan bisnis ataupun bawahannya. Karena Elang tidak pernah ragu membunuh siapapun yang menghalangi atau mengganggunya. Bahkan orangtuanya sendiri, seperti kejadian barusan. Jika ayahnya tak datang, nyonya Elia akan habis malam itu juga.
Tangan Elang sedikit gemetar. Ia teringat kejadian masa kecilnya lagi. Ia menoleh sedikit, lalu berusaha menenangkan diri. Ia memandang kedua adiknya. Ia juga merindukan mereka. Tapi, ia tak ingin mereka dekat-dekat dengannya yang selalu berlumuran darah orang-orang yang ia bunuh demi kepentingan bisnis.
"Elang... " Adam memanggilnya pelan. Namun, Elang tak menggubrisnya.
"Bawakan mereka coklat hangat. Jika kalian sudah tenang, tidurlah. Kita akan bicara lagi setelah pagi. Khususnya kamu, Adam." Suruh laki-laki itu dan langsung meninggalkan ruangan.
******
"Kapan terakhir kali dia tersenyum, Bro?" Tanya Adam menyenggol lengan Zayn.
"Aku gak inget, Dam. Udah lebih dari 9 tahun dia kayak gitu." Jawab Zayn.
"Masih inget cara senyum gak ya dia?" Seloroh Adam.
"Lupa kali, haha.." Zayn tertawa lepas bersamaan dengan Adam.
Betul-betul berbeda dengan suasana di ruangan ibunya barusan. Di tengah suasana hangat itu, tiba-tiba muka Adam berubah serius. Ia menunjukkan sesuatu kepada Zayn.
"Ada apa ?" Tanya Zayn.
"Gadis itu, identitasnya high secret. Gue udah bobol wall securitynya yang pertama. Dan lihat.."
Pemuda itu melihat yang di sodorkan kakaknya. Adam mendapat peringatan. Jika ia berusaha membobol yang lain lagi, mereka akan menghabisinya.
"Gue gak pernah dapet kasus kayak gini bro. Lu serius mau tetep cari tau identitas gadis itu? Kayaknya gadis itu bukan orang biasa. " Tanya Adam serius.
Tangan Zayn mengepal gelisah. Adam menatapnya heran. Baru kali ini, adiknya menyuruhnya melacak identitas seseorang sampai seperti ini.
"Lagian buat apa sih? Tumben banget lu kepo sama orang sampe segininya."
Zayn kembali mengingat pertemuan pertama mereka. Tatapan mata, kendaraan, anak buah. Gadis itu misterius. Ia memiliki banyak penjaga, tapi kendaraannya hanyalah seekor kuda. Dan tatapan gadis itu sama persis dengan tatapan milik Elang. Hanya saja, lebih mengerikan. Dari segi penampilannya menunjukkan bahwa ia adalah gadis yang baik dan tak mungkin melakukan hal seperti yang dilakukan Elang. Tapi tetap saja, Zayn bisa merasakan atmosfir yang mengerikan selalu mengelilingi gadis itu.
Ada rasa ingin tahu yang kuat dalam dirinya akan gadis itu. Darimana asalnya, apa masalalunya. Apa yang ia miliki dan apa yang ia lakukan. Zayn ingin semua pertanyaan itu terjawab.
"Zayn, yaelah. Malah bengong lu!" Seru Adam menepuk bahunya.
Zayn tersenyum kecil sambil mengantongi tangan kanannya kemudian menatap Adam
"Kamu gak bakal ngerti, Dam. Kalau kamu ketemu dia, kamu pasti melakukan hal yang sama."
Adam terdiam sejenak. Tiba-tiba ia tertawa keras.
"Jijik gue denger lu ngomong!" Teriaknya tanpa menghentikan tawanya yang membuat pegawai diluar cukup terkejut.
#######