"Aku akan ke Paris minggu depan."
Yun Hee yang sedang memotong daging di piringnya tiba-tiba berhenti.
"Kau pasti tahu, tinggal di Paris adalah impianku."
Yun Hee meletakkan peralatan makan di atas meja dan menyesap anggurnya, "Tentu saja aku tahu. Sunbae selalu mengatakan ingin melihat matahari terbenam di atas Sungai Seine."
Im Seung-Hoon tersenyum lebar, ia yakin gadis itu pasti mengingatnya, "Dan aku sadar kalau orang yang berada di sampingku saat melihat itu semua juga penting." Ia menatap lurus ke arah Yun Hee, lalu meraih sebelah tangan gadis itu. "Kali ini aku tidak akan menyia-nyiakan waktu lagi. Aku ingin menghabiskan hidupku bersamamu di Paris."
Yun Hee membalas tatapannya, tapi dengan cara yang berbeda. "Saat kau menetap di Paris nanti, aku yakin Sunbae akan menemukan seseorang untuk melihat matahari terbenam bersama. Dan orang itu bukan aku." Ia perlahan menarik tangan dari genggaman Im Seung-Hoon. Merasa kata-katanya mungkin belum terlalu jelas, Yun Hee melanjutkan. "Karena itu bukan mimpiku."
Im Seung-Hoon terdiam, tapi ekspresi wajahnya terlihat tidak senang.
Yun Hee tidak mau berpura-pura lagi, cukup baginya untuk terus berusaha menjadi orang lain karena lebih dulu menyukai laki-laki itu. Kini ketika matanya dipaksa terbuka untuk melihat kenyataan yang sebenarnya terjadi, ia langsung menyadari bahwa hubungannya dengan Im Seung-Hoon hanyalah sebagian kecil dari hidupnya.
"Aku mengatakan yang sebenarnya, itu bukan mimpiku." Ulang Yun Hee pasti.
"Kau tidak seharusnya mengatakan hal seperti ini, aku sudah berkorban banyak untuk pergi ke Paris." Suara Im Seung-Hoon mulai meninggi, "Kau sendiri tahu betul betapa aku ingin pergi ke sana. Satu-satunya hal yang perlu kau lakukan adalah diam dan ikut kemanapun aku pergi."
Yun Hee menghela nafas dan menghempaskan diri ke kursi. Kata-kata yang keluar dari mulut laki-laki itu tepat seperti dugaan nya. Ternyata Im Seung-Hoon masih belum berubah dan suka memaksa dirinya sesuka hati. "Sunbae, bolehkah aku jujur?" Tanpa menunggu jawaban Im Seung-Hoon, ia melanjutkan, "Apakah kau sadar bahwa tidak pernah memberiku ruang untuk bernafas sama sekali?"
Im Seung-Hoon tertegun dan alisnya berkerut dalam. Ia tidak percaya ketika mendengar Yun Hee membalas kata-katanya dengan cukup keras. "Kenapa kau seperti ini?"
Yun Hee mencoba menenangkan diri sebelum berbicara lagi dengan suara yang lebih tenang. "Maaf kalau aku sedikit emosi, tapi ini adalah hal yang ingin kukatakan sejak lama." Ia berkata terus terang, "Sebenarnya, aku tidak tahu kenapa tidak memiliki keberanian saat itu untuk mengatakan apa yang kusuka dan tidak di depanmu."
"Aku tidak percaya dengan kata-katamu," seru Im Seung-Hoon berusaha mengelak. "Kau pasti mengatakan semua ini karena tidak ingin membebaniku, sehingga kau mencoba mendorongku menjauh agar tidak terluka."
Mendengar kata-kata dramatis Im Seung-Hoon membuat Yun Hee mendesah pendek. "Sejujurnya, aku tidak peduli apakah kau bisa menerima keputusanku atau tidak. Bagiku, yang terpenting hanyalah Yun Winery dan keluargaku saat ini, selain itu aku bisa dengan mudah melepaskan dan melupakannya."
Semakin lama ia duduk disana dan mendengar kata-kata Yun Hee, semakin besar pula kekecewaan yang dirasakannya. Semuanya menjadi semakin nyata karena tatapan dan nada suara Yun Hee yang serius tanpa ada niat untuk memberinya penjelasan apapun.
"Makan roti lapis tuna sambil melihat matahari terbenam di tepi sungai, meski aku tidak banyak berkomentar tentang hal itu, sebenarnya aku tidak terlalu menikmatinya."
"Kau sadar apa yang baru saja kau katakan?"
"Sunbae," panggil Yun Hee lembut. "Aku tidak yakin bisa menghabiskan sisa hidupku bersamamu. Bukankah kau juga berpikir hal yang sama?"
***
Kembali ke rumah, Yun Hee melihat Joo Won berbaring di tempat yang sama seperti beberapa hari lalu, menatap bintang.
"Ada masalah?" Yun Hee bertanya sambil merebahkan tubuh di samping Joo Won. "Alismu berkerut sangat dalam," mengangkat jari telunjuknya dan menekan kerutan di antara mata Joo Won.
Laki-laki di sebelahnya tidak bergerak dan hanya menjawab singkat, "Tidak ada."
"Kau yakin?"
Joo Won bergumam pendek, tidak terdengar seperti berusaha meladeni pertanyaan Yun Hee.
Merasa suasana hati laki-laki itu sedang kurang baik, Yun Hee menarik jarinya dan mengalihkan pandangan ke atas. Mereka berdua berbaring dalam diam sampai kemudian Yun Hee berbicara lagi. "Aku boleh bertanya?"
"Ya." Jawab Joo Won datar, masih dengan nada kurang antusias.
Yun Hee terlihat ragu sejenak, namun akhirnya memberanikan diri untuk bertanya. "Seperti apa orang tuamu?"
Tatapan mata kosong Joo Won langsung berubah, seperti baru tersadar dan keluar dari dunianya sendiri.
"Kau mengatakan kalau orangtua dan orang di sekitar kita memainkan peran penting dalam membentuk karakter seseorang. Jadi, aku ingin tahu seperti apa orang tuamu."
Berbeda dengan sebelumnya, kali ini Joo Won tidak langsung menjawab dan matanya agak bergetar. Meski ini bukan pertama kalinya ia mendengar pertanyaan tersebut, tapi untuk pertama kalinya ia ingin menjawab tanpa ada kebohongan sama sekali. Tentu saja alasannya karena yang bertanya adalah Oh Yun-Hee. "Mereka pasangan yang serasi, tidak pernah bertengkar di depanku."
Yun Hee menoleh dan mendengar nada suara Joo Won yang lebih ceria. "Sepertinya kau tumbuh dalam keluarga yang bahagia."
Joo Won mengangguk setuju, "Aku selalu memiliki keinginan bila menikah dan mempunyai keluarga nanti, aku ingin menjalani kehidupan seperti mereka."
Yun Hee bisa merasakan kesungguhan dalam suara Joo Won saat berbicara tentang keluarganya, sangat berbeda dari biasanya. "Apa yang membuatmu berpikir seperti itu?"
Joo Won menjawab perlahan, "Ayahku adalah orang yang tidak mau mengakui kesalahannya." Pandangannya menerawang, "Dia adalah orang yang serius dan selalu menjaga jarak dengan siapapun."
"Hmm.. Kalau begitu, ibumu pasti orang yang sangat sabar."
Joo Won tertawa mendengar kata-kata Yun Hee, "Ibuku adalah wanita manja, selalu bergantung pada orang lain dan sangat sensitif." Ia terdiam sejenak dan tampak sedang mempertimbangkan sesuatu, "Kalau dipikir-pikir, mungkin alasannya karena ibuku tumbuh di keluarga yang berkecukupan, sangat berbeda dengan ayahku yang berasal dari keluarga kelas bawah."
Alis Yun Hee terangkat, "Dengan perbedaan kepribadian seperti itu, bagaimana mereka bisa terus bersama?"
Joo Won kembali tertawa, dan suara tawa itu terdengar begitu menyenangkan di telinga Yun Hee, "Itulah hebatnya mereka, mau berjuang bersama untuk mengatasi perbedaan tersebut. Ayahku yang pemarah ternyata sangat sabar dan pengertian saat menghadapi ibuku. Begitu pula dengan ibuku yang manja, akan berubah menjadi lebih dewasa ketika harus menemani ayahku bertemu dengan rekan kerjanya."
Yun Hee teringat pertemuannya dengan Im Seung-Hoon tadi. Kata-katanya kepada laki-laki itu bahwa mereka berdua berbeda dan tidak akan pernah bersama ternyata sangat mirip dengan situasi ayah dan ibu Joo Won. Namun yang membedakan adalah orang tua Joo Won berhasil mengatasi ketidakcocokan tersebut, sedangkan Yun Hee memilih menyerah dan melanjutkan hidupnya. "Ya, mereka berdua sangat beruntung dan hebat. Tidak banyak orang yang mau berubah demi orang lain, karena lebih mudah melepaskan daripada menghabiskan seluruh hidup menerima kekurangan pasangan."
Kata-kata Yun Hee membuat Joo Won tertegun, seolah gadis itu sedang membicarakan seseorang. "Jika kau berada di posisi mereka, apa yang akan kau lakukan?" Joo Won menoleh menunggu jawaban Yun Hee.
Gadis itu mengerutkan keningnya sambil berpikir, "Jika sudah jelas memiliki karakter yang berbeda, maka akan jauh lebih baik berpisah daripada saling memaksakan." Yun Hee mengontrol nafasnya, "Tapi, aku juga tahu bahwa di dunia ini mana ada pasangan yang seratus persen cocok, akan selalu ada perbedaan, sekecil apapun itu."
Joo Won masih menatapnya menunggu jawaban.
"Tapi, aku tahu ketika bertemu orang yang tepat di waktu yang tepat, segalanya akan berbeda." Ia membalas tatapan Joo Won, "Semuanya akan lebih mudah, lebih gampang dan kau bisa menjadi dirimu sendiri."
Joo Won ingin mengatakan sesuatu, tapi keraguan menyelimutinya. Mengenai pertanyaan Do Yeon tadi, haruskah ia bertanya pada gadis itu?
Ekspresi Yun Hee berubah serius dan berkata, "Aku baru saja memutuskan untuk meninggalkan masa lalu dan memulai hidup yang baru."
Menguatkan tekadnya, Joo Won mengumpulkan keberanian dan bertanya, "Apakah ada aku di kehidupan barumu?"
Yun Hee membalas Joo Won yang melihatnya dengan penuh harap, "Kita tidak mengenal satu sama lain dengan baik. Aku juga tidak bisa memaksamu masuk ke dalam hidupku yang berantakan."
"Kalau begitu mari kita mulai mengenal satu sama lain." Usul Joo Won, "Selama kau mau membuka pintu hatimu, biarkan aku yang berlari kepadamu."
Yun Hee seharusnya menolak, tapi hatinya berkata sebaliknya. "Mengapa?"
"Karena… aku mulai menyukaimu, Oh Yun-Hee."
***
Keesokan harinya Yun Hee memutuskan untuk menerima tawaran makan siang Park Jeong-Woo. Ia membutuhkan penjelasan dari orang tua itu mengenai para investor yang berusaha menghindari Yun Hee. Entah taktik apa yang digunakan Park Jeong-Woo atau Park Hyung-Shik untuk menyudutkannya, namun masalah ini harus segera diselesaikan sebelum menjadi besar. Dan hari ini ia datang untuk memastikan seberapa jauh kebodohan mereka berdua.
Keluar dari mobil, Yun Hee meminta Joo Won menunggu sebentar. Kemudian ia memasuki sebuah restoran tradisional Korea yang terletak di pinggir kota. Sebelum melewati pintu kayu, Yun Hee melirik ke belakang dan melihat mobil-mobil berwarna hitam terparkir di sana, beberapa orang berdiri sambil mengobrol seperti sedang menunggu seseorang.
Yun Hee diantar ke sebuah ruangan dengan pintu kayu berukir rumit, ketika dibuka ia melihat seseorang duduk di sana, dan orang itu tidak lain adalah Hwi Yong-Jae. Awalnya Yun Hee sedikit bingung kenapa hanya laki-laki itu yang ada disana, namun setelah berpikir lama Yun Hee pun bersiap untuk berbalik.
"Apakah anda benar-benar percaya kalau Oh Tae-Won meninggal karena kecelakaan?" Yong Jae menyesap teh dari gelas porselen di tangan dengan santai tanpa melihat ke arah Yun Hee, "Bagaimana kalau kita ubah kata-katanya menjadi, Oh Tae-Won meninggal karena melindungi seseorang. Kalau begitu, tidakkah anda ingin tahu siapa orang yang beliau coba lindungi dengan nyawanya?"
Yun Hee bergeming. Kata-kata Yong Jae bagaikan peluru yang ditujukan tepat di jantungnya. Apa yang dikatakan laki-laki itu persis seperti yang selalu dipikirkannya, seolah ada sesuatu yang ditutupi. Mulai dari pemakaman kakeknya yang dibuat sangat tertutup, kemudian Yun Hee dan Yun Na yang tidak diperbolehkan membuka peti mati untuk melihat kakeknya, hingga kecelakaan yang tidak jelas penyebabnya. Saat itu Yun Hee berpikir mungkin ia terlalu berprasangka berlebihan, namun kini ia semakin yakin kalau kematian kakeknya bukan karena kecelakaan.
"Yang terpenting adalah apakah anda tidak ingin tahu siapa pembunuhnya?" Laki-laki itu mengalihkan pandangannya ke Yun Hee dan tersenyum lebar, "Jika anda tertarik untuk mengetahui rahasia yang coba disimpan semua orang, anda dapat menghubungiku. Aku akan dengan senang hati membantu."
Perasaan ragu mulai muncul di benak Yun Hee, namun ia merasa ini bukan saat yang tepat untuk bernegosiasi dengan Yong Jae. Sebaiknya ia mencari tahu semuanya terlebih dahulu sebelum membuat kesepakatan dengan laki-laki ini. Yun Hee berbalik dan gerakannya terhenti lagi karena suara dramatis Yong Jae.
"Bukankah sebaiknya anda menyelidiki mulai dari orang terdekat? Orang yang tiba-tiba muncul setelah kematian kakek anda. Lebih baik berjaga-jaga sebelum apa yang anda pikirkan benar-benar terjadi."
Yun Hee memiringkan kepala nya ke samping dan melirik laki-laki yang duduk di dalam. "Hwi Yong-Jae ssi~, melihat anda begitu perhatian dengan kondisi keluarga kami, aku ucapkan banyak terima kasih. Dan mendengar kata-kata anda sejak tadi yang sepertinya mengetahui banyak informasi terkait dengan kakekku, akan lebih baik untuk segera melapor kepada pihak kepolisian. Tidak ada gunanya memancingku dengan cara seperti ini, karena apa yang sudah terjadi tidak bisa diulang kembali."
Lalu dengan langkah pasti Yun Hee pergi meninggalkan ruangan dan saat dirinya sudah melewati ruangan lain, sebelah tangan terangkat mencoba menopang kakinya yang lemah. Kata-kata terakhir Yong Jae menimbulkan pertanyaan baru di kepala Yun Hee.
Cho Joo-Won?
***
"Dalam waktu dekat Yong Jae akan bertemu seseorang."
Joo Won berdiri bersandar di sisi mobil dengan ponsel menempel di telinga. Matanya menatap beberapa anak buah Yong Jae yang sedang mengobrol, "Kapan?"
Suara Do Yeon terdengar, "Tiga hari lagi."
"Baiklah. Terus awasi dan kabari aku jika ada informasi baru." Joo Won menutup telepon.
Saat ia berbalik, Yun Hee sudah berdiri di depan pintu dan memandangi anak buah Yong Jae dari kejauhan. Ia bisa melihat tatapan menyelidik di wajah gadis itu terhadap orang-orang disana. Joo Won kemudian memutuskan untuk mendekati Yun Hee dan bertanya, "Apakah acaranya sudah selesai?"
"Apakah mereka anak buah Hwi Yong-Jae?"
Joo Won mengangguk. "Apakah dia ada di dalam?"
Masih tidak mengalihkan tatapannya, Yun Hee menjawab. "Hanya ada Hwi Yong-Jae di dalam, tidak ada Park Jeong-Woo."
Ekspresi wajah Joo Won berubah, suaranya menjadi lebih waspada. "Apa yang dia katakan?"
"Tentang kematian kakekku." Yun Hee menoleh ke Joo Won, "Dia berkata, kakekku meninggal bukan karena kecelakaan, tapi karena melindungi orang lain."
Joo Won berusaha mengontrol suaranya agar terdengar tenang. "Apakah dia mengatakan siapa orang itu?"
Yun Hee memperhatikan setiap perubahan di wajah Joo Won, seolah tidak ingin melewatkan apapun. "Dia mengatakan orang itu adalah bawahan kakekku di militer."
Joo Won tidak langsung membalas, namun alisnya mulai berkerut. "Apakah dia menyebutkan namanya?"
"Hwi Yong-Jae bilang orang itu terakhir terlihat bersama kakekku." Kali ini Yun Hee bisa melihat perubahan drastis pada tubuh Joo Won yang menjadi tegang. Tidak ingin membuat dirinya semakin mencurigai laki-laki itu, ia langsung berjalan melewati Joo Won, "Kita berangkat ke kantor."
Selama perjalanan tidak ada seorang pun yang berbicara, mereka sibuk dengan pikirannya masing-masing dan takut mengeluarkan suara sekecil apapun yang akan menghancurkan keyakinan yang mereka pegang terhadap satu sama lain. Tanpa disadari, mobil akhirnya berhenti di samping pintu masuk tempat parkir gedung. Yun Hee hendak turun saat Joo Won mengatakan sesuatu, "Aku baru saja mendapat telepon, ada anggota keluargaku yang sakit."
Tangan Yun Hee yang memegang kenop pintu mobil terhenti. "Siapa?"
Kepala Joo Won menoleh ke arah Yun Hee yang duduk di kursi penumpang di belakang.
"Siapa anggota keluargamu yang sakit?" ulang Yun Hee.
Laki-laki itu terdiam sesaat, lalu kembali berbicara. "Pamanku, adik dari ibuku. Aku berencana mengunjunginya, karena hanya akulah keluarga yang dimilikinya."
Setelah diam cukup lama, Yun Hee akhirnya membuka pintu dan keluar dari mobil. "Baiklah."
Melihat Yun Hee sudah keluar dari mobil, Joo Won ikut turun dan mengejar gadis itu sebelum memasuki gedung. "Kepiting biru itu," kata Joo Won membicarakan rencana makan malam mereka yang tertunda, "Setelah aku kembali, aku akan membawamu ke sana."
Yun Hee mendengar suara laki-laki itu, namun ia tidak memberikan tanggapan apa pun dan memutuskan untuk melangkah melewati pintu lalu berbelok ke dalam lift yang sudah terbuka lebar diikuti oleh Asisten Ahn.
"Apakah Cho Joo-Won memiliki seorang paman?" Yun Hee bertanya ketika hanya dirinya dan Asisten Ahn yang berada di dalam lift.
"Supir Cho?" Laki-laki paruh baya itu tampak berpikir, "Sejauh yang saya tahu, tidak ada. Ketika melakukan wawancara, saya ingat dia mengatakan tinggal sendirian."
"Kau sudah mengeceknya?"
"Ya." Asisten Ahn berkata dengan yakin, "Karena aku juga meminta seseorang untuk menyelidiki latar belakang keluarganya."
"Lalu?"
"Seluruh keluarganya meninggal dalam kebakaran sejak dia lahir. Sehingga sejak kecil, Supir Cho tinggal di panti asuhan."
Yun Hee merasakan kabut hitam tebal memenuhi kepalanya. Perasaannya menjadi tidak enak.
Siapakah Cho Joo-Won yang selama ini berada di dekatnya?
***