Suara rekaman kemudian terhenti, menandakan percakapan kedua orang tersebut telah berakhir.
Choi Song-Gi, laki-laki yang membawa USB tadi berkata, "Menurutku percakapan ini sudah cukup untuk mengungkap kebenaran tentang apa yang terjadi dua belas tahun yang lalu, benar kan, Hwi Yong-Jae ssi~?" tanyanya dengan nada penuh hormat dan sopan.
"Beraninya kau melakukan itu pada Cho Yong-Sik yang tidak lain adalah kakak iparmu sendiri."
"Aku tidak bisa menghitung dengan tanganku sendiri seberapa sering Cho Yong-Sik menolongmu menangani kasus narkoba dan penipuan selama belasan tahun terakhir. Dasar tidak tahu balas budi."
"Karena semua bukti sudah jelas, kita tidak membutuhkan pengakuannya lagi. Segera tangkap dan kurung di ruang interogasi bawah tanah."
Ketiga orang tua yang berdiri di bawah podium bergantian mengutarakan pendapatnya ke arah Joo Won dan Hwi Yong-Jae dengan ekspresi tidak puas.
Mendengar hal itu, alis Hwi Yong-Jae langsung berkerut dalam dan tangannya mengepal, postur tubuhnya berubah menantang. Wajahnya menjadi serius dan mengintimidasi, tidak menunjukkan sedikit pun rasa takut. Dalam hitungan detik, suasana di dalam ruangan dipenuhi aura berbahaya dan kekerasan.
"Kalian semua tidak bisa memperlakukanku seperti ini!" Seru laki-laki paruh baya itu, tidak terima disudutkan. "Lagipula, tugas kita adalah mengambil nyawa orang, bukan?"
"Sepertinya kau sudah kehilangan kewarasan karena keserakahan. Terlepas dari siapa kita, tetap saja harus berpegang teguh pada tiga prinsip dasar organisasi. Melindungi keluarga, tidak ada pengkhianatan dan hanya melakukan kekerasan terhadap orang yang pantas mendapatkannya. Bukankah itu yang selalu diajarkan Cho Yong-Sik padamu?"
Choi Song-Gi mengangkat tangan, memberi isyarat kepada anak buahnya untuk menangkap Hwi Yong-Jae. "Sudahlah, tidak ada gunanya berdebat dengannya. Nasi sudah menjadi bubur, sebaiknya kita selesaikan seperti biasa."
Hwi Yong-Jae berusaha melawan dua laki-laki bertubuh besar yang naik ke podium untuk menyingkirkannya. Namun, jelas bahwa dia bukan tadingan mereka sehingga kedua laki-laki itu dengan mudah menyeretnya keluar. Suara langkah kaki diikuti dengan teriakan bergema ke seluruh ruangan yang berasal dari Hwi Yong-Jae, hingga akhirnya pintu tertutup kembali. Ternyata proses pengusiran berjalan cepat dan ketegangan pun segera mereda, tempat itu menjadi sunyi.
Kali ini semua mata tertuju pada Joo Won dengan hati-hati. Ia bisa merasakan tatapan tajam mereka, bahwa dirinya sedang diperhatikan dari ujung kepala sampai ujung kaki. Beberapa orang tampak menyipitkan mata penuh dengan kecurigaan, sementara yang lain terlihat masih terkejut. Namun, ada juga yang terkesan menghindar dan tidak ingin terlibat lebih jauh dalam masalah keluarganya.
"Apakah kau mengetahui semuanya selama ini?" tanya salah satu orang tua di hadapan Joo Won kepada Choi Song-Gi.
Laki-laki muda itu menundukkan kepala sebagai tanda hormat kepada yang lebih tua dan menjawab, "Tidak, saya baru mengenal Cho Min-Ki beberapa bulan yang lalu. Dia mendatangiku dan menjelaskan semuanya sebelum meminta bantuan dalam mengumpulkan bukti, mengenai kejadian dua belas tahun lalu."
"Kau sangat berani." Seseorang berkomentar sambil menatap Joo Won dengan kagum.
"Anak muda, apakah kau akan melanjutkan perusahaan ayahmu setelah ini?"
Joo Won mengalihkan pandangan ke arah pemilik pertanyaan dan langsung menjawab tanpa ragu. "Aku tidak mempunyai keinginan untuk mewarisi perusahaan ayahku." Ia mengamati seluruh ruangan, memastikan mendapat perhatian semua orang dan berkata, "Sebenarnya tujuanku datang kesini adalah agar semua orang menjadi saksi. Aku, Cho Mi-Ki, menyerahkan sepenuhnya kekuasaan dan kepemilikan perusahaan ayahku kepada Choi Song-Gi."
Semua pandangan tertuju pada Joo Won dengan campuran rasa tidak percaya dan marah. Ekspresi mereka tajam dan menuduh, seolah ia telah melakukan sesuatu yang sangat tidak masuk akal. Setiap pasang mata yang menatap ke podium, membuatnya merasa seperti sedang dihakimi dengan keras.
"Jika kau menyerahkan semuanya pada Song Gi, lalu apa yang akan kau lakukan setelah ini?"
Joo Won terdiam beberapa saat, mencoba menyusun kata-katanya dengan cermat. "Aku tidak akan melanjutkan hidup sebagai Cho Min-Ki. Namun, sebagai Cho Joo-Won, Kapten Angkatan Laut Republik Korea."
Keterkejutan terlihat jelas di wajah mereka, dengan mulut terbuka lebar dan mata terbelalak tidak percaya. Joo Won menyaksikan bisikan pelan berubah menjadi terkesiap keras. Beberapa bahkan menutup mulut dengan tangan karena terkejut.
Seorang tetua menoleh ke arah Choi Song-Gi, suaranya meninggi karena khawatir. "Kau sudah tahu semuanya? Dan masih membiarkan dia datang ke sini? Apa kau sudah gila?"
"Apakah ini berarti kita semua sudah dikepung sekarang?" Yang lain berkomentar dengan ekspresi cemas melihat sekelilingnya.
Joo Won mengeluarkan pisau lipat dari saku jas hitam, mengiris telapak tangan dan mengepalkan tangannya erat-erat sampai darah mengalir keluar. "Dengan ini, aku memutuskan hubungan dengan dunia mafia yang keluargaku jalani. Sekarang, kita adalah orang asing yang tidak memiliki hubungan apa pun."
Choi Song-Gi mengklarifikasi, "Jadi bila kita bertemu lagi setelah ini, maka kita berdua adalah seorang perwira dan mafia?"
Joo Won menganggukkan kepala sekali. "Sejujurnya, aku tidak ingat tentang dunia yang dijalani oleh Ayahku. Oleh karena itu, kalian tidak perlu khawatir karena aku tidak memiliki cukup informasi untuk membuat laporan." Ia mengalihkan pandangan ke arah ketiga tetua sekali lagi, "Aku paham kalian mungkin tidak setuju dengan keputusanku. Tapi, ini adalah hidupku dan orang yang berhak membuat keputusan terkait masa depanku adalah aku sendiri."
Sebelum turun dari podium, Joo Won membungkuk dalam-dalam dan mengucapkan kata terakhirnya. "Di sinilah semuanya berakhir, kuharap kita tidak pernah bertemu lagi."
Saat berjalan melewati Choi Song-Gi, tiba-tiba lengan Joo Won ditahan. Ia sudah mempersiapkan diri kalau ternyata laki-laki itu akan menolak keputusannya dan berusaha membujuk dirinya untuk tetap tinggal, oleh karena itu Joo Won sudah bersiap untuk melawan jika hal itu sampai terjadi.
Tapi, kenyataannya Choi Song-Gi hanya melemparkan kunci mobil padanya dan berkata, "Semua anak buahku masih di vila. Laporan terakhir dari mereka, situasi di sana sangat buruk. Kau harus segera pergi."
Paham maksud laki-laki itu, Joo Won langsung berlari meninggalkan ruangan tanpa menoleh ke belakang sama sekali. Yang dipikirannya saat ini hanyalah bagaimana untuk sampai ke tempat gadis itu secepat mungkin. Karena kali ini, ia bertekad untuk mencegah siapapun terluka lagi karenanya.
***
Mobil yang dikendarai Joo Won berhenti di depan vila, bannya berdecit di jalan berkerikil hingga berhenti sempurna. Saat ia melangkah keluar, Chun Hee dan Jeon Su menghampirinya dengan ekspresi lega di wajah masing-masing. "Hyeong..!" seru mereka serempak.
Joo Won menatap mereka khawatir, merasakan ada yang tidak beres. "Apa yang terjadi?"
Kedua orang itu saling berpandangan tanpa berkata apa-apa. Akhirnya, Jeon Su bicara lebih dulu, suaranya bergetar. "Gadis itu.. Oh Yun-Hee."
Jantung Joo Won berdebar kencang. "Ada apa dengannya?" Ketakutan yang ditahan sejak di perjalanan menguasai dirinya dalam sekejap.
"Situasi di dalam sangat kacau," sela Chun Hee, mencoba menggambarkan apa yang dilihatnya dengan kata yang lebih sederhana.
Pikiran Joo Won menjadi kosong sesaat, tidak mampu memproses kabar tersebut. Kali ini, ia tidak mungkin terlambat lagi, bukan?
"Hyeong, ada apa dengan tanganmu?" tanya Jeon Su dengan mata terbelalak saat melihat sapu tangan melingkari telapak tangan Joo Won.
Tanpa berkata apa-apa, ia berjalan melewati kedua orang itu dan bergegas menaiki tangga. Saat Joo Won berbelok menyusuri lorong panjang menuju ruangan yang sama tempat ia dan Yun Hee dikurung tadi malam, bau darah yang menyengat menusuk hidungnya. Wajahnya berubah pucat dan nafasnya menjadi pendek.
Beberapa orang yang Joo Won kenali sebagai anak buah Choi Song-Gi berkumpul di sepanjang lorong sambil meringis menatap ruangan di depan mereka. Suara-suara prihatin terdengar dari bisikan yang dilontarkan oleh satu sama lain. Mereka semua seakan tenggelam dalam suasana yang ditawarkan ruangan itu, sampai-sampai tidak ada seorang pun yang menyadari kehadiran Joo Won.
Hatinya seketika membeku menyadari betapa serius situasi yang sebenarnya. Langkah kaki Joo Won terasa berat ketika ia hampir mencapai ruangan, berusaha mempersiapkan diri menghadapi apa yang menunggunya di dalam.
Ruangan yang tadinya tertata rapi dan mewah kini menyerupai medan perang. Pecahan furnitur yang berserakan di lantai, sangat kontras dengan dekorasi elegan yang menghiasi ruangan itu. Di antara puing-puing terdapat tumpukan tubuh berlumuran darah yang tidak bergerak, sementara yang lain meringkuk kesakitan dengan wajah memar dan babak belur.
Dari pakaian dan wajah, Joo Won dengan mudah mengenali mereka sebagai anak buah Hwi Yong-Jae yang selalu terlihat bersama pamannya. Namun, mereka jelas bukan tandingan si penyerang, melihat bagaimana semua orang menggeliat kesakitan di lantai. Membayangkan Yun Hee ada di antara mereka membuat jantung Joo Won berdegup semakin kencang karena khawatir.
"Hyeong!" panggil Do Yeon dari arah lain dan berhenti di depan Joo Won. "Kau harus segera menghentikannya, gadis itu seperti orang kerasukkan."
Saat mendengar kata "gadis itu" ekspresi Joo Won berubah dan ia segera mengikuti Do Yeon ke ruangan yang lebih kecil. Begitu ia masuk, perhatiannya tertuju pada sosok yang berjongkok di sudut dengan punggung menghadap ke arahnya. Suara pukulan keras menggema memenuhi udara, membuat orang yang dipukul tidak bergerak sama sekali. Joo Won melangkah ke samping untuk melihat lebih jelas dan napasnya tercekat, gadis itu ada disana, tapi bukan sebagai korban melainkan orang yang melakukan pemukulan.
Menyadari hal tersebut, gelombang kelegaan menghampiri Joo Won, namun dengan cepat berubah menjadi kengerian saat melihat situasi di sana tidak jauh berbeda dengan ruangan sebelumnya. Pada akhirnya, Joo Won mulai paham kalau semua ini adalah ulah Yun Hee yang menggunakan orang lain sebagai sasaran untuk melampiaskan kemarahan dan kesedihannya.
Dengan tatapan mata kosong, tangan Yun Hee terkepal erat dan tanpa henti menyerang lawannya. Joo Won bisa melihat wajah laki-laki itu yang berlumuran darah dan sudah hancur dari tempatnya berdiri, namun gadis itu tidak menunjukkan tanda-tanda akan melepaskan cengkramannya. Yun Hee terus memukulnya dengan sekuat tenaga, tidak peduli dengan kerusakan yang ditimbulkannya.
Joo Won yang sudah tidak tahan lagi segera menarik Yun Hee menjauh. Punggung gadis itu menempel di tubuhnya, namun Yun Hee tetap berusaha melawan dan memberontak. Tidak punya pilihan lain, Joo Won mempererat cengkramannya pada lengan gadis itu hingga tubuh Yun Hee tidak bisa banyak bergerak lagi.
Yun Hee yang menyadari kalau dirinya bukan tandingan orang ini, dengan cepat berbalik dan mendorong tubuhnya ke depan menyebabkan keduanya terjatuh ke lantai. Saat cengkraman orang itu di lengan Yun Hee mulai longgar, ia bersiap menyerang dengan mengepalkan tangan untuk memukul siapa pun yang mencoba menghalanginya. Namun saat mata mereka berdua bertemu, keberanian Yun Hee perlahan menghilang dan tangannya terjatuh, kehilangan kekuatan.
"Oh Yun-Hee," panggil Joo Won lembut dan matanya menatap gadis itu pilu. "Semuanya sudah selesai."
Yun Hee masih tidak bergerak, tapi tubuhnya mulai rileks saat mendengar suara Joo Won.
Melihat kondisi gadis itu, Joo Won merasa seperti melihat versi dirinya yang lebih muda dua belas tahun lalu. Penyesalan yang menghantuinya saat itu seolah menggerogoti hati dan jiwanya, meski sudah berusaha sekuat tenaga untuk mengubur perasaan tersebut, ternyata hal itu mustahil dilakukan karena hidupnya sudah berbeda. Pada akhirnya, yang bisa Joo Won lakukan untuk mengurangi rasa sakit hanyalah dengan melukai dirinya sendiri, berharap hal itu akan membuatnya melupakan segala penderitaan untuk sementara waktu.
Dalam situasi seperti ini, yang dibutuhkan Yun Hee adalah suara yang meyakinkannya bahwa tidak ada lagi yang perlu ditakutkan dan semuanya akan baik-baik saja sekarang. Namun melihat keadaan sudah seperti ini, kata-kata itu berubah menjadi permintaan maaf, "Mi an.. Mi an hae.. Aku akan menanggung rasa sakit ini untukmu, jadi tolong berhentilah."
Yun Hee mengerjapkan mata beberapa kali mencoba untuk mengembalikan kesadarannya kembali. Meski pandangannya kabur dan tidak fokus, samar-samar ia bisa melihat sosok Joo Won yang sedang menatapnya cemas dan suaranya penuh ketulusan.
Apakah ini mimpi? Dia seharusnya tidak berada disini sekarang.
Tangan Joo Won yang kuat dan kasar terulur perlahan menyentuh lembut pipi Yun Hee, matanya mencerminkan kesungguhan kepada gadis itu sedalam perasaanya. Kalau saja Joo Won memiliki sedikit keberanian untuk mengatakan betapa ia sangat mencintai gadis itu dan mau menemaninya melewati semua ini, akankah segalanya menjadi lebih mudah? akankah Yun Hee memilihnya?
Tapi, sayangnya kata-kata itu tidak pantas diucapkan oleh Joo Won dan yang bisa dilakukannya hanya mencoba menenangkan gadis itu, berusaha menariknya kembali ke dunia nyata. Jarinya membelai wajah Yun Hee dan meninggalkan kehangatan yang menenangkan.
Oo.. Mimpi ini mulai terasa semakin nyata
Yun Hee melihat bibir Joo Won bergerak, namun telinganya tidak bisa mendengar dengan jelas apapun yang dikatakannya. Lambat laun, suara Joo Won semakin jauh hingga yang ada hanya keheningan. Saat itu kelelahan menyapu dirinya seperti gelombang dan tubuhnya menyerah. Sebelum kehilangan kesadaran, Yun Hee terkulai lemas dan jatuh ke pelukan Joo Won. Laki-laki itu menangkapnya dan rasa damai memenuhi Yun Hee dalam sekejap, membuatnya tertidur lelap.
"Aku tidak akan membiarkanmu merasakan sakit ini sendirian." Joo Won berjanji pada dirinya sendiri dan mengeratkan pelukannya sebagai bukti.
***
Ruangan itu remang-remang, dengan sinar matahari masuk melalui jendela yang terbuka. Yun Hee berbaring di tempat tidur dengan wajah pucat dan ritme napas yang stabil. Di luar, dedaunan bergemerisik di langit dan burung berkicau di kejauhan, menciptakan suasana tentram. Meski suasana di tempat itu terasa tenang, rasa khawatir masih menyelimuti udara.
Joo Won melirik Yun Hee yang terbaring tidak bergerak dengan perasaan campur aduk. Sudah tiga hari sejak kejadian mengerikan di vila pamannya, dan selama itu Yun Hee masih belum sadarkan diri. Tiba-tiba ingatannya mengulang kejadian di dalam mobil, dimana gadis itu bersikeras meminta pulang ke rumah meski kesakitan selama di perjalanan.
Melihat keadaan Yun Hee saat itu, Joo Won memutuskan untuk tidak berdebat dengannya lebih jauh, karena tidak ingin memperburuk kondisi gadis itu. Lalu ia menelepon Asisten Ahn dan memintanya memanggil dokter untuk datang ke rumah agar bisa memeriksa Yun Hee.
Selama dokter melakukan pemeriksaan, Joo Won selalu berada di dekatnya dengan raut wajah cemas dan prihatin. Sejak itu, ia hampir tidak pernah meninggalkan sisi Yun Hee sekali pun. Joo Won mengambil alih tanggung jawab mengganti perban dan memberikan obat, bertekad untuk merawat gadis itu sendiri. Setiap kali melihat wajah Yun Hee, Joo Won bersumpah dalam hati akan melakukan apa pun untuk memastikan gadis itu pulih sepenuhnya. Meski itu berarti ia harus mengorbankan semuanya atau bahkan hidupnya. Tapi, segalanya akan menjadi sia-sia jika Yun Hee masih tertidur seperti sekarang.
Sebenarnya kalau diperhatikan, keadaan mereka berdua tidak jauh berbeda. Dari luar, kondisi Yun Hee sudah mulai membaik, meski tidak ada yang tahu kenapa gadis itu masih tertidur dalam waktu lama. Sedangkan Joo Won, dari penampilan luarnya saja, semua orang sudah bisa menebak betapa berantakannya perasaan laki-laki itu saat ini, yang tidak jauh berbeda dengan keadaannya yang bisa dilihat oleh setiap pasang mata.
Akhirnya malam itu, untuk pertama kalinya Joo Won melakukan sesuatu yang belum pernah dilakukannya seumur hidup. Dengan kedua tangan tergenggam erat di depan dada dan mata terpejam, hati Joo Won berbicara dan memohon kepada Tuhan dengan sungguh-sungguh agar gadis itu segera bangun. Sejujurnya, rasa putus asa mulai menghampirinya dan hal terakhir yang bisa ia lakukan hanya meminta pengampunan atas semua dosa yang telah dilakukannya.
Dan tanpa Joo Won sadari, doa pertama itu terkabul. Di tengah malam saat ia tiba-tiba terbangun, dirinya menemukan tempat tidur Yun Hee kosong dengan selimut yang dilampirkan ke samping hingga terjatuh dari tempat tidur. Perasaan lega bercampur panik menyerangnya, tubuhnya segera bergerak dan keluar mencari Yun Hee.
Cahaya bulan membawa Joo Won ke tempat itu. Kakinya terhenti saat matanya menangkap sosok Yun Hee yang sedang duduk di kursi panjang kayu di sana. "Apa yang kau lakukan disini?" kata Joo Won sambil berjalan cepat melepas jaket dan membungkus tubuh gadis itu buru-buru. "Bajumu sangat tipis, ayo masuk." Katanya penuh kecemasan.
"Aku ingin mencari udara segar," sahut Yun Hee dengan suara yang masih terdengar lemah tidak berniat beranjak dari tempat duduknya.
Kini mereka duduk di kursi kayu panjang di samping pohon besar di atas kebun anggur, bayangan mereka menari di bawah sinar bulan. Joo Won membetulkan jaketnya untuk melindungi tubuh Yun Hee dari hembusan angin malam. Meski wajahnya masih pucat dan ekspresi kelelahan terlihat jelas, senyuman tipis menghiasi bibir gadis itu.
"Apakah aku boleh bertanya?"
Tangan Joo Won terhenti, kepalanya terangkat dan mata mereka bertemu, "Apa yang ingin kau ketahui?"
Yun Hee ragu sejenak, namun akhirnya tetap memberanikan diri untuk bertanya, "Dua belas tahun yang lalu, apa yang terjadi hari itu?"
***