Chereads / I am a survivor / Chapter 26 - Fate is stronger than our faith

Chapter 26 - Fate is stronger than our faith

Tubuh Joo Won membungkuk, tangannya bertumpu pada lutut sambil berusaha mengatur nafas. Dadanya naik-turun dan rambut hitamnya basah oleh keringat. Mengangkat kepala, ia bisa melihat Sungai Han berkilauan di bawah sinar lampu di depannya dan orang-orang berjalan sambil menikmati pemandangan malam. Melirik jam di tangan, alisnya berkerut khawatir karena ia sudah terlambat tiga jam dari waktu pertemuan.

Joo Won segera mengeluarkan ponsel untuk menelepon Yun Hee, namun malah mendapati ponselnya mati karena baterainya habis. Gawat.. Sekarang bagaimana ia bisa menemukan gadis itu? Apakah Yun Hee masih menunggunya?

Akhirnya kaki Joo Won bergerak kembali dan mulai mengelilingi area tersebut. Kepalanya menoleh ke kiri dan ke kanan menyusuri jalanan di sekitar sungai Han lalu naik ke area taman yang luas hingga akhirnya melewati beberapa toko serba ada yang ramai, namun kenyataannya ia masih belum menemukan Yun Hee.

Pikiran bahwa mungkin Yun Hee sudah tidak ada lagi di sana muncul di kepala Joo Won. Tidak ingin membuang waktu terlalu lama, ia berjalan lagi hingga ke ujung sungai. Saat ia mulai putus asa, tiba-tiba matanya menangkap bayangan seorang gadis yang berdiri membelakanginya menghadap sungai gelap di bawah sana. Saat rambut panjang gadis itu tertiup angin dan tubuhnya berputar, mata Joo Won yang memandangnya langsung terbelalak dan berbagai perasaan yang tersimpan jauh di lubuk hatinya langsung muncul kembali dengan senyuman lega di bibirnya. 

Jantung Joo Won berdebar kencang saat ia mendekat ke arah gadis yang berdiri di depannya. Setelah bertahun-tahun menunggu, mereka akhirnya dipertemukan kembali. Bisa melihat Oh Yun-Hee lagi, membuat dunianya yang tadi gelap dan suram tiba-tiba berubah menjadi terang. Ketika Joo Won sudah mempersiapkan diri menemui gadis pujaannya, sosok lain bertubuh besar muncul di hadapannya dan semua menjadi gelap.

Yun Hee melirik jam di tangannya yang menunjukkan pukul sepuluh malam. Kedua tangannya dimasukkan kembali ke dalam saku jaket dimana angin malam bertiup cukup kencang. Apa-apaan ini, bukannya ia sudah mengirimkan pesan kalau Cho Joo-Won tidak boleh terlambat, kini ia malah sudah menunggu selama empat jam di tempat ini sambil menggigil kedinginan.

Mengeluarkan ponselnya, ia kembali menekan nomor telepon Cho Joo-Won dengan keras seolah menunjukkan kekesalannya pada laki-laki itu. Tapi, sama seperti sebelumnya, ponselnya mati dan Yun Hee hanya mendengar suara operator. Awas saja kalau sampai mereka bertemu nanti, ia akan memberi laki-laki itu pelajaran.

Namun detik berikutnya ekspresi wajah Yun Hee berubah dan ia menurunkan ponsel perlahan dari telinganya. Sebuah pertanyaan muncul di kepalanya, sebenarnya Cho Joo-Won yang terlambat atau Oh Yun-Hee yang sudah terlambat?

Joo Won menyipitkan mata menatap laki-laki yang berdiri di depannya. Ia tidak menyangka malam itu akan menjadi hari keberuntungannya, karena akhirnya bisa bertemu dengan dua orang yang paling dinantikan selama bertahun-tahun. Tentu saja, selain Oh Yun-Hee masih ada satu orang lagi yaitu pamannya, Hwi Yong-Jae.

Melihat penampilan laki-laki itu yang lebih kurus dan berantakan dengan pakaian seadanya, ia bisa menebak betapa sulit kehidupan pamannya sejak terakhir kali mereka bertemu. Namun, Joo Won juga bisa merasakan cara Hwi Yong-Jae memandangnya masih sama persis dengan tiga tahun lalu ketika ia membongkar rahasia kematian orangtuanya di depan semua orang, yang menyebabkan pamannya ditangkap.

Melirik ke belakang, ia melihat dua orang laki-laki bertubuh besar berdiri agak jauh seolah sedang menghalanginya untuk pergi. Melihat situasi tersebut, Joo Won mulai berpikir apakah Hwi Yong-Jae selama ini mengawasinya dan mencari waktu yang tepat untuk bertemu dengannya.

"Kau terlihat sangat baik," Hwi Yong-Jae melangkah mendekati Joo Won. "Keponakanku." Di bawah sorotan lampu, wajah Hwi Yong-Jae yang sejak tadi samar-samar bersembunyi di dalam kegelapan, muncul tepat di depan Joo Won.

"Dan kau terlihat sangat berantakan." Joo Won berkata pelan, "Paman."

Hwi Yong-Jae tersenyum sinis, "Kurasa tidak perlu dijelaskan lagi siapa orang yang menyebabkan diriku menjadi sampai seperti ini."

Wajah Joo Won berubah seperti sedang memikirkan sesuatu, alisnya berkerut dan ia memutuskan untuk mengatakan yang sebenarnya. "Sepertinya bahkan setelah tiga tahun, Paman masih belum menyadari bahwa awal mula semua ini adalah karena keserakahanmu. Sedangkan kami hanyalah orang-orang tidak bersalah yang dijebak olehmu." Kata-kata Joo Won seperti anak panah yang menembus kaca tipis di antara mereka.

"Seharusnya aku tidak meninggalkan parasut di helikopter saat itu," desis Hwi Yong-Jae, emosinya mulai meluap. "Seharusnya aku membiarkan kalian semua terbakar tidak bersisa di atas langit itu."

Perkataan Hwi Yong-Jae seharusnya membuat Joo Won merasa terharu, tapi rasanya kebaikan apapun yang telah dilakukan oleh pamannya tidak akan mampu menggantikan kesedihan dan luka mendalam yang dirasakannya karena kehilangan nyawa orang-orang yang disayanginya. "Pada saat itu, aku tidak pernah bersyukur sama sekali karena selamat dari kecelakaan tersebut. Bertahun-tahun aku terus menyesal karena menjadi satu-satunya orang yang masih hidup, aku lebih baik mati daripada hidup bersama dengan mimpi buruk yang selalu datang menghantuiku setiap malam." Perasaan inilah yang sejak lama ingin Joo Won sampaikan kepada pamannya.

"Tapi, sekarang sepertinya aku harus bersyukur karena diberi kesempatan hidup kedua. Meski rasa sakit itu tidak akan pernah hilang, namun aku menemukan lebih banyak alasan untuk terus hidup bersama dengan orang-orang di sekitarku yang menyayangiku. Maka, aku selalu berdoa agar suatu hari nanti kita bisa bertemu lagi sekali saja, karena aku ingin mengatakan hal ini kepadamu."

Joo Won menatap Hwi Yong-Jae lurus-lurus dan berkata dengan sepenuh hati, "Terima kasih karena sudah ragu dan memutuskan untuk menyelamatkanku hari itu. Terima kasih telah membiarkanku hidup selama ini. Dan juga terima kasih atas semua pelajaran hidup yang kau berikan sehingga aku bisa menjadi seseorang yang hebat seperti sekarang ini." Ia bisa melihat ekspresi wajah pamannya yang melunak, "Di kehidupan ini, aku berhutang nyawa padamu, Paman."

Hwi Yong-Jae mematung di tempat, tubuhnya kaku dan pikirannya kacau. Kata-kata yang baru saja keluar dari bibir keponakannya itu bergema di kepalanya, menghancurkan prasangka yang selama ini dipikirkannya. Ia tidak pernah membayangkan Min Ki akan berbicara seperti ini kepadanya. Selama bertahun-tahun, ia percaya bahwa hubungan mereka telah rusak dan tidak dapat diperbaiki lagi, bahwa keponakannya itu pasti menyimpan kebencian terhadapnya dan tidak ingin bertemu dengannya lagi. Namun, ternyata kenyataannya berbeda jauh dengan asumsinya selama ini.

Melangkah mendekati keponakannya, Hwi Yong-Jae mengangkat satu tangan dan meletakkannya di belakang leher Joo Won. "Sayangnya semua sudah terlambat."

Setelah suara itu selesai berbicara di telinga Joo Won, tiba-tiba ia merasakan perut kiri bawahnya terasa perih seperti ada benda asing yang mengiris tubuhnya. Satu detik kemudian benda itu ditarik keluar dari tubuhnya dan Joo Won langsung mundur beberapa langkah. Tangannya terangkat menekan bagian perutnya dan ia melihat darah mengalir dari luka tancapan pisau yang ada di tangan Hwi Yong-Jae.

Saat melihat Joo Won masih sibuk menekan lukanya itu, Hwi Yong-Jae berlari ke arahnya dan menusukkan pisau ke area yang sama namun lebih dalam. Tidak mampu menahan serangan dan rasa sakit yang luar biasa itu, Joo Won akhirnya bersandar di tembok dan perlahan jatuh terduduk dengan darah berwarna merah pekat membasahi baju putihnya.

"Aku tidak suka berhutang kepada orang lain, begitu pula jika ada orang lain yang berhutang kepadaku, aku akan langsung menagihnya tanpa menunggu lama." Hwi Yong-Jae memegang pisau yang masih menancap di perut Joo Won, lalu memutarnya searah jarum jam. "Kita impas, kau tidak berhutang padaku lagi, begitu juga denganku."

Joo Won yang sudah terkulai lemas dengan nafas pendek hanya bisa menatap pamannya tanpa sanggup berkata apa-apa. Kemudian Hwi Yong-Jae mengangkat tangan dan meletakkannya di atas kepala keponakannya. "Dengan ini, anak kandung Cho Yong-Sik dan Hwi Ah-Ra yang juga keponakanku, Cho Min-Ki sudah mati. Anak itu sudah pergi meninggalkan dunia menyusul kedua orangtuanya di surga." 

Hwi Yong-Jae menurunkan tangannya dan berkata dengan nada datar, "Dan sekarang yang meregang nyawa di depanku adalah orang asing bernama Cho Joo-Won, seorang Mayor Angkatan Laut Republik Korea yang sedang sial karena tidak sengaja bertemu dengan seorang mafia yang sedang melarikan diri bernama Hwi Yong-Jae malam ini."

Berdiri dari posisinya, Hwi Yong-Jae berjalan kembali ke arah ia datang tadi. Setelah beberapa langkah, kakinya tiba-tiba berhenti dan ia menoleh ke belakang untuk yang terakhir kalinya, mengamati tubuh laki-laki muda itu yang tidak berdaya seperti mayat hidup. "Di kehidupan berikutnya, aku harap kau tidak pernah menjadi keponakanku," gumamnya pada diri sendiri, suaranya berat dan tersirat penyesalan. "Begitu juga dengan ayahmu, ibumu dan Oh Tae-Won, aku harap kita tidak pernah bertemu lagi. Hubungan yang tragis ini, biarkan selesai di kehidupan ini saja." Hwi Yong-Jae menghela nafas panjang seakan melepaskan beban yang terlalu lama mengingkat jiwa dan pikirannya. Sudah saatnya ia juga melepaskan masa lalu. 

"Cho Joo-Won ssi, aku yakin kau sudah sering mendengar ini. Tapi, tolong dengarkan sekali lagi." Nada suara Hwi Yong-Jae berubah lebih tenang dan Joo Won bisa merasakan ketulusannya. "Kau adalah seseorang yang begitu berani dan kuat, betapa aku sangat berharap bisa memiliki keponakan sepertimu. Oleh karena itu, setelah ini kau harus mendapatkan kebahagiaan yang kau impikan itu dan hidup dalam waktu yang sangat lama bersama orang-orang yang kau sayangi."

Suara Hwi Yong-Jae terdengar agak bergetar, "Selamat tinggal." Laki-laki itu kemudian pergi bersama dengan beberapa anak buahnya yang mengikuti di belakang. Suara langkah kaki yang berat terdengar semakin menjauh sampai akhirnya keheningan menyelimuti tempat itu.

Dengan kesadaran yang tersisa, Joo Won hanya bisa menatap ke ujung lorong dimana sebuah lampu remang-remang menyala. Menggunakan seluruh tenaganya ia berusaha merangkak keluar dari gang sempit itu dan berharap ada seseorang yang muncul untuk menolongnya. 

Keinginannya untuk hidup begitu besar hingga ia tidak sadar kalau tubuhnya telah kehilangan banyak darah. Meski ia sudah berusaha mati-matian, ternyata tubuhnya tidak bisa diajak bekerja sama. Matanya sudah mulai berbayang lalu perlahan terpejam dan kesadarannya mulai hilang. Hal terakhir yang Joo Won bisa lakukan hanya berdoa dalam hati dan membuat sebuah permintaan. 

Oh Yun-Hee, jangan menunggu lagi, karena aku tidak bisa datang menemuimu.

***

Min Ki ah~

Suara yang merdu itu membuat Joo Won membuka mata perlahan, sudah lama sekali ia mendengar seseorang memanggilnya seperti itu.

Sinar matahari siang yang menyilaukan menebus mata Joo Won dan membuatnya terbangun. Saat ia membuka mata dan menoleh ke samping, ibunya sedang duduk di kursi santai kayu dengan topi pantai untuk melindungi wajahnya. Tersenyum lembut ke arahnya, wanita separuh baya itu memberi isyarat agar ia mengikuti arah pandangnya ke sekelompok orang yang berkerumun di tepi sungai dengan penuh semangat mengambil hasil tangkapan mereka.

Menyipitkan mata karena silau, ia berusaha mengenali wajah semua orang yang ada disitu. Selain ayahnya sendiri dan Oh Tae-Won, samar-samar ia melihat wajah nenek Yun Hee, serta kedua orang tua gadis itu.

"Mereka sedang berlomba siapa yang bisa menangkap ikan lebih besar," jelas ibunya sambil tertawa pendek. "Kau tahu sendiri kan, ayahmu adalah orang yang tidak mau kalah. Meski sejak tadi ia sudah menangkap beberapa ikan, tapi menurutnya semua ikan itu terlalu kecil."

Joo Won bingung, apakah ia sudah meninggal? atau ini hanya mimpi? Kenapa ia bisa berada diantara mereka semua?

"Apakah sangat sakit?" Suara menyenangkan ibunya membuyarkan lamunan Joo Won. Menoleh ke samping, ia melihat ibunya sedang menatapnya sayang. "Maaf, karena sudah meninggalkanmu seperti ini. Ayahmu dan aku selalu merindukanmu dari sini."

Tangan ibunya yang lembut dan menenangkan menyentuh pipinya. "Apakah kau tahu, kami selalu berada di sisimu?" kata-kata ibunya dipenuhi cinta dan kehangatan. "Melihatmu tumbuh seperti ini, aku dan ayahmu sangat bangga. Kau sudah berhasil menjadi seseorang yang hebat."

Angin yang bertiup membawa kata-kata itu ke dalam hatinya, menenangkan segala keraguan dan ketakutan yang dirasakannya. Ia memejamkan mata dan merasakan kehadiran ibunya yang menyelimuti dirinya dalam kehangatan. Pada saat itu, ia tahu ia tidak benar-benar sendirian. "Eomma."

Ibunya dengan lembut mengelus kepalanya, "Sekarang waktunya kami melepaskanmu, membiarkanmu melebarkan sayap dan menjalani hidupmu sendiri. Sudah saatnya kau menemukan kebahagiaanmu sendiri setelah melewati jalan yang berkabut ini."

Joo Won ingin merekam suara ibunya saat ini ke dalam ingatannya. "Dan terkait pamanmu, aku minta maaf. Dia adalah anak yang cerdas dan bersemangat, namun mengambil jalan yang salah sehingga membuatnya seperti ini."

Ia bisa merasakan kesedihan ibunya melalui kata-kata itu. "Hidup adalah serangkaian pilihan, dan setiap orang akan melalui masa dimana setiap keputusan yang diambil akan menentukan masa depannya. Sayangnya pamanmu membuat keputusan yang salah berkali-kali." 

"Apakah kalian tidak membencinya?" tanya Joo Won kepada ibunya, "Setelah semua yang sudah dilakukannya?"

Tatapan ibunya berubah prihatin, "Daripada membencinya, kami berdua lebih merasa kasihan. Dia seorang diri, tidak memiliki orang yang tulus disampingnya dan selalu merasa ketakutan. Apakah hidup seperti itu bisa disebut benar-benar hidup?" Ibunya menghela nafas, "Tapi karena kita bukan dirinya, maka tidak bisa menghakiminya. Semua yang terjadi akan ada balasannya, entah itu baik atau buruk." 

Suara ibunya kali ini terdengar lebih pelan, "Ibu berharap kau juga bisa melepaskan masa lalu. Meskipun kau tidak akan bisa melupakan rasa sakit itu, tapi kau memiliki banyak orang yang sangat menyayangimu. Kehidupan seperti itu tidak bisa ditukar dengan apapun di dunia."

Joo Won menundukkan kepalanya, "Aku merasa sangat lelah, Eomma. Rasanya seperti tenggelam ke dasar lautan dengan sebuah batu berat yang menekanku."

Ibunya menatap lurus ke mata Joo Won dengan penuh keyakinan, "Tahan sebentar lagi. Pengorbanan yang telah kau lakukan selama ini tidak akan sia-sia." Ibunya meletakkan kedua tangannya di pundak Joo Won dan menggelengkan kepala tegas, "Kau tidak boleh menyerah."

Saat Joo Won ingin membalas ibunya, sebuah suara membuatnya menoleh. Ketika ia berbalik, semua orang sudah berdiri di dekatnya dengan ekspresi bahagia dan puas.

"Ini.. kau harus membawanya pulang." Ayahnya mendorong seekor ikan besar berkulit hitam mulus ke arahnya. Berdiri dari kursi, Joo Won memegang ekornya yang panjang hingga ikannya terbalik.

"Kau harus membawa ikan ini juga." Seorang laki-laki paruh baya mendorong seekor ikan putih besar kepadanya. "Satu ikan saja tidak cukup untuk anak-anakmu." Meski Joo Won tidak paham maksud kedua orang tua ini, namun ia tetap menerimanya.

Ia sedang mengamati dua ekor ikan di tangannya, ketika suara Oh Tae-Won terdengar. "Sepertinya kau sudah harus pergi sekarang, mereka sudah menunggumu." Mengikuti arah pandang Oh Tae-Won, ia melihat seseorang berdiri di sana dengan masing-masing tangan menggandeng seorang anak laki-laki.

"Abeoji," panggil anak laki-laki berpenampilan rapi dan sopan ke arah Joo Won.

"Appa.. Ayo pulang, aku sudah hampir mati kelaparan," seru anak laki-laki yang lain seperti cacing kepanasan, tidak bisa diam menatapnya.

"Yeobo.." panggilan yang ditujukan kepadanya itu langsung mengalihkan seluruh perhatian Joo Won. Seseorang yang berdiri di sana itu adalah Yun Hee, yang sedang tersenyum kepadanya, "Cepat kesini, kita tidak boleh terlambat."

Joo Won tidak tahu sudah berapa kali wajah itu muncul di dalam mimpinya, sepertinya sudah tidak terhitung lagi. Melihat Yun Hee berdiri disana dengan tatapan khawatir dan berharap, saat itu Joo Won tahu dengan pasti kalau gadis itu adalah alasannya untuk terus hidup, hari demi hari. Karena Yun Hee membutuhkannya, sama seperti ia yang juga sangat membutuhkan gadis itu. Mendengar suaranya lagi, membuat Joo Won sadar betapa ia sangat merindukannya. Kerinduan yang mendalam pada gadis yang sudah memegang hatinya di tangannya.

Joo Won mengerang pelan sambil membuka paksa kedua matanya yang terasa berat. Tubuhnya terasa kaku dan pandangannya masih kabur. Bau alkohol dan obat-obatan yang menyengat tercium olehnya, membuat kesadarannya mulai kembali sedikit demi sedikit. Sepertinya ia sedang berada di kamar rumah sakit. Memalingkan kepala ke sisi tempat tidur, ia bisa menangkap wajah seorang gadis yang sedang duduk di samping tempat tidur dan menatapnya tenang. Menggerakkan jarinya, Joo Won bisa merasakan kehangatan tangan Yun Hee yang menggenggam erat tangannya, seolah menawarkan kenyamanan dan dukungan.

Bibir Joo Won mulai bergerak dan Yun Hee mendorong tubuhnya mendekat ke arah laki-laki itu agar bisa mendengar suaranya.

"Apakah aku terlambat?" tanyanya dengan suara lemas seperti berbisik.

Yun Hee menatap mata Joo Won, hatinya berdebar senang dan lega. "Tidak terlambat. Kau tepat waktu." Jawabnya dengan senyum kecil di bibirnya kepada laki-laki itu. Akhirnya Yun Hee juga sadar, bisa melihat Joo Won berada di dekatnya seperti sekarang ini, membuatnya bisa bernafas lagi.

"Terima kasih karena sudah kembali. Mulai sekarang, mari kita hidup bersama untuk selamanya." Katanya mengecup kening Joo Won dan membiarkan kepala mereka saling menempel, seolah meyakinkan laki-laki itu kalau ia tidak akan pernah meninggalkannya lagi.

Segalanya terasa sempurna dan lengkap. Cinta mereka tidak terpatahkan dan bersatu melawan segala rintangan.

***