Chereads / I am a survivor / Chapter 21 - The real battle begins

Chapter 21 - The real battle begins

Setelah mengawasi Yong Jae selama tiga hari, ia membuntuti laki-laki itu ke tempat pembuangan mobil bekas. Dari kejauhan Joo Won bisa melihat wajah-wajah yang ia kenali sebagai teman orang tuanya yang mulai menua. Mereka saling berjabat tangan dan bertukar sapa sebelum menghilang ke dalam kontainer besar yang telah disulap menjadi ruang pertemuan darurat.

Dua jam kemudian, orang-orang mulai meninggalkan ruangan satu per satu. Tiba-tiba tatapannya berhenti pada sosok yang sedang masuk ke dalam sebuah sedan berwarna putih. Tanpa menunggu lebih lama lagi, Joo Won yang duduk di kursi pengemudi segera menyalakan mesin dan mengikuti mobil tersebut.

Saat mobil memasuki jalan yang sepi, Joo Won menambah kecepatan mobil jip hijau gelap miliknya hingga sejajar dengan sedan putih tersebut. Proses menyalip tidak berlangsung lama dan Joo Won berhasil menghentikan mobil putih dalam posisi miring di ujung lorong. Ketika mobil sudah berhenti total, Joo Won segera turun dan berjalan ke samping mobil yang jendelanya terbuka. Suaranya yang rendah dan berat akhirnya terdengar jelas diikuti bibirnya yang bergerak mengucapkan kalimat itu.

Rahasia yang selama ini ia simpan akhirnya keluar dari mulutnya sendiri.

"Pasti telah terjadi sesuatu hingga kau mencariku tanpa sepengetahuan pamanmu," kata laki-laki muda berambut putih mengamati Joo Won.

"Dan aku yakin Song Gi hyeong sudah bisa menebak alasannya, apalagi setelah pertemuan kalian dengan pamanku tadi." Joo Won duduk di kursi penumpang di samping laki-laki itu.

Suara tawa pendek namun menegangkan memenuhi mobil yang hanya diisi mereka berdua. "Kau cukup berani mengikuti para gangster itu secara diam-diam lalu menghadang mobilku, dan mengakui semuanya," kata Choi Song-Gi dengan alis terangkat. "Apa kau tidak takut aku akan membunuhmu?"

Joo Won membalas tatapan laki-laki yang mempunyai wajah tidak ramah itu tanpa bergeming. "Aku tidak takut," jawabnya yakin. "Karena kau berjanji pada ayahku bahwa akan melindungi keluarga kami."

Keheningan menyelimuti mobil putih itu sampai suara tawa Choi Song-Gi pecah, "Siapa yang mengatakan omong kosong itu? Ayahmu? Pamanmu?"

"Kau berjanji pada ayahku sebagai imbalan karena menyembunyikan anak buahmu dari polisi di Vietnam." Joo Won mendorong tubuh mendekat dan berbicara tepat di telinga Choi Song-Gi, "Karena perdagangan manusia." 

"Kau sengaja datang ke sini untuk mengancamku? Apakah kau tidak takut mati?" Rahang Choi Song-Gi terkatup rapat dan tatapan mematikannya tertuju pada Joo Won.

"Satu, aku tidak sedang mengancammu," sela Joo Won cepat, tidak ingin memancing emosinya. "Tapi, aku datang untuk meminta bantuanmu." Ia bisa merasakan tatapan tajam Choi Song-Gi padanya.

"Dua, untuk bisa menang melawan anak buahmu sebanyak ini adalah hal yang mustahil." Mengamati laki-laki bertubuh besar yang berdiri di luar mobil mengelilingi mereka, dari pengamatan Joo Won sepertinya ada sekitar dua puluh orang yang sedang bersiap menyergapnya dalam hitungan detik jika terjadi sesuatu di sini. 

Namun, mustahil bukan berarti tidak mungkin, hanya saja Joo Won sedang berada dalam posisi yang dirugikan. Sebaiknya jangan membuang waktu untuk hal-hal yang tidak perlu.

Ekspresi Choi Song-Gi menjadi sedikit lebih santai. "Apakah kau sadar dengan apa yang baru saja kau katakan? Meminta bantuan pada gangster sama dengan berjudi dengan nyawamu sendiri."

"Aku tidak punya pilihan," jawab Joo Won langsung. "Karena hanya hyeong yang bisa membantuku."

Suara Joo Won yang lantang, menunjukkan keseriusan serta keberaniannya. Melihat ini, Choi Song-Gi menghela nafas dan mulai memahami betapa serius situasi ini. "Baik, mari kita dengar dulu apa yang kau inginkan."

Joo Won tahu kalau ia memiliki pilihan lain, tapi semua itu memiliki risiko yang sama besarnya dengan mempertaruhkan nyawanya sendiri. Pada akhirnya, ia harus membuat sebuah keputusan dan berharap takdir berpihak padanya kali ini, karena waktunya hampir habis.

***

Yun Hee menerima paket berisi rekaman percakapan Yong Jae dan kakeknya. Ia juga menerima pesan dari Yong Jae yang menawarkan untuk mengungkapkan identitas Hwi Min-Ki.

Mendengar rekaman sambil duduk di meja kerjanya, Yun Hee menjadi cemas. Terdengar jelas bahwa Yong Jae dan kakeknya sedang bertengkar tentang seseorang, yang kemungkinan besar adalah Hwi Min-Ki. Merenungkan pesan singkat laki-laki itu, ia sadar bahwa Yong Jae secara terbuka telah memberikan bukti pembunuhan kakek kepadanya. Dan pembunuhnya tak lain adalah Yong Jae sendiri.

Ternyata Yong Jae sudah mengetahui segalanya sejak awal dan kini ingin menggunakan informasi tersebut untuk memanipulasi Yun Hee. Meskipun ia menginginkan keadilan atas kematian kakeknya, tapi Yun hee tahu ia tidak bisa melaporkan bukti baru ini karena akan membahayakan keluarganya, ditambah lagi akan bertentangan dengan upaya militer untuk menutupinya. Semuanya tampak seperti jalan buntu baginya, dan Yong Jae tahu itu.

Mengangkat sebelah tangan ke dada, Yun Hee merasa sesak dan putus asa. Memejamkan mata, ia berusaha menepis rasa kehilangan yang mengancam akan menghabisinya. Menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan, Yun Hee menguatkan diri untuk menghadapi apa yang akan terjadi berikutnya. Ia tidak bisa berlama-lama seperti ini, apalagi masa depannya sedang dipertaruhkan.

Menggelengkan kepala dan membuka mata, ia meraih ponsel dan mengetik sesuatu lalu menekan tombol kirim. Berdiri dari kursi, Yun Hee berjalan keluar meninggalkan ruangan dan hanya bisa berharap agar tidak menyesali keputusannya nanti.

Kabut malam terasa tebal seperti tirai beludru saat Yun Hee berjalan menembus kegelapan di belakang rumah. Saat melewati area tempat tinggal Joo Won, seseorang keluar dari dalam sambil membawa tas ransel di salah satu lengannya. Ketika orang itu berbalik, mata mereka bertemu.

Pikiran Yun Hee berusaha keras mencari tahu apakah ini hanya mimpi? Tapi kemudian ia merasakan pelukan laki-laki itu, lengan nya yang kuat melingkarinya dan ia tahu ini nyata. Saat Joo Won berbisik di telinganya, hembusan nafas itu membuat Yun Hee sadar bahwa terkadang mimpi menjadi kenyataan. "Maaf membuatmu menunggu begitu lama." 

Sudah seminggu sejak terakhir mereka bertemu, dan selama itu Joo Won tidak pernah menghubungi ataupun memberikan kabar. Perlahan, berbagai emosi menghampiri Yun Hee dan ia tidak pernah merasa lebih hidup dari sekarang, ketika jantungnya berdebar kencang setiap kali melihat Joo Won. Tapi di saat yang sama, ia juga takut. Takut kalau pada akhirnya ia akan terluka.

"Aku harus pergi lagi," kata Joo Won saat mereka sudah sampai di pintu depan. Yun Hee menoleh ke mobil yang diparkir tidak jauh dari tempat mereka berdiri, dimana dua orang sedang duduk di kursi depan menunggu Joo Won. "Kali ini, tidak akan lama." katanya sambil menggenggam kedua tangan Yun Hee, mencoba menarik perhatian gadis itu kepadanya.

"Apakah kondisinya parah?"

"Apa?"

"Pamanmu."

Alis Joo Won berkerut, tapi dengan cepat ekspresinya kembali seperti biasa. "Ya, keadaannya cukup rumit saat ini, tapi semuanya akan segera kembali seperti semula. Beri aku sedikit waktu lagi."

Saat Yun Hee akan bertanya lagi, suara klakson terdengar dari kejauhan. Lampu depan mobil dinyalakan dan dimatikan, menandakan mereka harus segera pergi. "Yun Hee ah~" untuk pertama kalinya ia mendengar Joo Won memanggilnya seperti itu, seolah laki-laki itu sudah menjadi orang terdekatnya. "Setelah aku kembali, aku akan menjelaskan semuanya. Kau bisa bertanya apapun dan aku akan menjawabnya dengan jujur."

Yun Hee menatap mata Joo Won yang dalam, seolah berusaha menemukan keyakinan dari kata-kata itu. "Jadi, sampai aku kembali, kau harus menjaga dirimu dengan baik."

"Hyeong, kita harus pergi sekarang!!" teriak laki-laki dari kursi pengemudi di depan dengan tubuh setengah keluar dari jendela mobil.

Joo Won mengecup kening Yun Hee cepat lalu bergegas menuju mobil, mata Yun Hee terpaku pada laki-laki itu hingga saat-saat terakhir. Ia bisa merasakan beban kata-katanya, janji untuk kembali kepadanya. Pada saat itu, Yun Hee tahu bahwa ia akan menunggu Joo Won, tidak peduli berapa lama waktu yang dibutuhkan.

Saat mobil melaju pergi, Yun Hee berdiri membeku di tempat, matanya menatap ke arah mobil yang menghilang hingga tidak tersisa di kejauhan. Ia tak mampu menghilangkan perasaan tidak nyaman dan memikirkan bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi. Yun Hee menghela napas panjang dan berbalik berjalan kembali ke rumah. Kenyataannya ia tidak bisa menahan Joo Won untuk tidak pergi dan juga tidak bisa menahannya untuk tetap berada di sampingnya.

Hari berganti minggu dan minggu berganti bulan, Yun Hee terus menunggu. Ia menunggu kabar dari Joo Won, kalau dia baik-baik saja, bahwa dia akan kembali padanya. Yun Hee tahu laki-laki itu tidak akan pernah mengingkari janjinya padanya, maka ia menunggu dengan keyakinan yang semakin menipis. Dan ketika hari demi hari berlalu tanpa sepatah kata pun, akhirnya harapan itu pudar.

***

"Di mana Oppa?" 

Yun Hee sedang duduk di meja makan dan menyesap sup nya ketika Yun Na bertanya. Meletakkan sendok di atas meja, ia menatap adiknya dan berkata dengan suara menyelidik. "Kenapa kau sangat menyukainya?"

Yun Na membalas tatapan kakaknya bingung, "Haruskah aku menjawabnya?"

Yun Hee bersandar di kursi dan melipat kedua tangan di depan dada, menunggu jawaban adiknya.

"Aku tidak bisa menjelaskannya dengan kata-kata." Sambil mengangkat kedua bahu ke atas.

Yun Na yang selalu menjawab dengan cepat dan tidak suka berbelit–belit, kali ini menunjukkan keraguan di wajahnya. Merek berdua duduk diam selama beberapa saat, hingga akhirnya Yun Na berkata dengan hati-hati. "Tidakkah kau merasakannya?" 

Yun Hee masih diam tidak merespon, namun sebuah suara yang sudah lama ada di kepalanya tiba-tiba terdengar.

"Wangi tubuh Kakek."

Berbeda dengan Yun Na, ekspresi Yun Hee langsung berubah. Nafsu makannya langsung hilang, rasa makanan di mulutnya tiba-tiba berubah menjadi hambar. Yun Na melanjutkan penjelasannya tentang hal lain, tapi Yun Hee sudah tenggelam dalam pikirannya sendiri. 

Baru setelah Yun Na memanggil namanya beberapa kali, Yun Hee sadar kembali. Mengangkat kepala, ia melihat Yun Na yang sedang menatapnya cemas dengan kedua matanya yang besar. Bibi Soon Ja yang entah sejak kapan sudah berdiri di belakang Yu Na juga melihatnya dengan khawatir, "Yun Hee, kau baik-baik saja? Wajahmu agak pucat." tanya Bibi Soon Ja khawatir.

Yun Hee mengerjapkan mata beberapa kali, lalu berhasil menjawab meski tenggorokannya terasa kering, "Aku tidak apa-apa."

"Kalau begitu, kalian harus segera berangkat." Bibi Soon Ja membantu Yun Na memakai tasnya.

"Bibi," panggil Yun Hee pelan. "Aku tidak akan pergi ke kantor selama beberapa waktu."

Bibi Soon Ja mengalihkan pandangan dan alisnya terangkat.

Setelah menguatkan tekad, Yun Hee melanjutkan, "Aku akan pergi untuk perjalanan bisnis selama beberapa hari. Jika kalian butuh sesuatu, bisa menghubungi Ajeossi untuk sementara."

Bibi Soon Ja masih tampak kebingungan, namun Yun Hee sudah berdiri dari kursi lalu menoleh ke arah Yun Na yang masih duduk tenang di meja makan, "Selagi aku pergi, kau bisa meminta Bibi atau Paman untuk menemanimu."

Tanpa menunggu lebih lama lagi, Yun Hee keluar dari ruang makan dan berjalan menuju pintu depan tempat mobilnya diparkir. Masuk dan duduk di kursi pengemudi, ia mengeluarkan ponsel dan menekan sebuah nomor hingga mendengar suara lain di ujung sana. "Dimana?"

Ketika ia mendapatkan jawaban, Yun Hee memutuskan sambungan telepon dan menarik sabuk pengaman lalu mobil perlahan melaju di jalan besar. Sekarang, ia tidak akan bersembunyi lagi, ia punya pekerjaan yang harus diselesaikan. Kali ini ia tidak akan membiarkan siapapun atau apapun menghalanginya.

***

Joo Won akhirnya kembali ke Paju, namun perasaan gelisah langsung menghampirinya seolah ada yang tidak beres. Begitu masuk ke dalam rumah, ia menemukan Bibi Soon Ja dan Asisten Ahn tampak kebingungan. Ia berjalan mendekat sampai bisa mendengar apa yang mereka berdua bicarakan.

"Di mana Yun Hee?" tanya Joo Won menyela pembicaraan kedua orang tua itu.

Perhatian Bibi Soon Ja beralih dari Asisten Ahn kepada Joo Won dan matanya membelalak kaget melihat laki-laki itu berdiri di sana. Sebelum wanita paruh baya itu pulih dari keterkejutannya, Joo Won mengulangi pertanyaannya lagi dengan nada tidak sabar. "Apa yang terjadi dengan Yun Hee?"

Bibi Soon Ja yang masih setengah sadar menjawab dengan suara gemetar, "Yun Hee menghilang."

Jantung Joo Won berdebar kencang dan awan gelap menyelimutinya. "Apa maksudnya menghilang?" Ia mengarahkan pandangan kepada Asisten Ahn dan Bibi Soon Ja secara bergantian, menunggu jawaban secepat mungkin.

"Yun Hee pergi seminggu yang lalu untuk perjalan bisnis," gumam Asisten Ahn. "Tetapi tidak ada catatan perjalanan, tidak ada jadwal, tidak ada apa-apa."

Alis Joo Won berkerut menunjukkan kebingungannya, "Sebelum Yun Hee pergi, apakah ada seseorang datang kesini?"

Bibi Soon Ja menggeleng menjawab pertanyaan Joo Won.

"Bagaimana dengan jadwal beberapa hari sebelumnya?"

"Tidak ada yang aneh," jawab Asisten Ahn. "Hanya saja Yun Hee sering menatap ponselnya seolah membaca pesan yang sama berulang kali dari seseorang."

Bibi Soon Ja membalikkan tubuhnya ke arah lain, "Hari itu Yun Hee berada di ruang kerja sepanjang malam."

Tanpa menunggu jawaban, Joo Won langsung berjalan menuju ruang kerja Yun Hee. Ia menekan kenop pintu hingga ruangan di depannya terbuka. Melangkah masuk, ia mengamati sekeliling ruangan yang belum pernah dimasuki nya itu. Menarik napas dalam, ia bisa mencium wangi parfum Yun Hee, seolah gadis itu baru saja berada di sana beberapa saat yang lalu.

Mendekat ke meja kerja, Joo Won melihat tumpukan kertas dan map hitam yang agak berantakan. Ia mulai memeriksa barang-barang Yun Hee di atas meja, di laci, di sofa, di lemari sampai dengan buku-buku tebal yang disusun di rak yang menempel di dinding. Tangannya kemudian berhenti dan matanya terpaku pada sebuah benda kecil yang terselip di sana.

Joo Won mengambil benda kecil itu yang ternyata adalah mesin perekam suara dan menekan tombol menyala. Seketika terdengar suara dua orang yang dikenalnya sedang berbicara, ternyata itu adalah suara Oh Tae-Won dan Hwi Yong-Jae. Genggaman Joo Won menjadi semakin erat hingga buku-buku jarinya memutih saat menyadari apa yang sedang dibicarakan kedua orang itu. Lebih tepatnya, ingatannya langsung kembali pada kejadian di vila Hwi Yong-Jae malam itu.

Ketika Joo Won hendak berbalik, matanya menangkap sebuah foto di dalam amplop coklat di bawah perekam suara. Mengeluarkan beberapa lembar, seluruh tubuhnya menegang sampai merinding saat menemukan dirinya ada disana. 

Foto itu diambil beberapa tahun lalu, ketika dirinya berhasil kembali ke Korea Selatan setelah menjalankan misi penting di Afghanistan. Ia ingat sekali waktu itu Oh Tae-Won menunggunya di lapangan pesawat dan langsung memeluknya setelah selesai memberi hormat pada laki-laki itu. Senyum bangga sekaligus bahagia muncul di wajah Oh Tae-Won ketika bertemu kembali.

Itu adalah saat yang tidak akan pernah dilupakan Joo Won seumur hidup. Bukan karena ia berhasil kembali dengan selamat dari medan perang, atau karena misi mereka berhasil, tapi hari itu adalah hari dimana ia membuka hatinya kembali kepada seseorang. Dan orang pertama yang berhasil mengetuk hati Joo Won dan membuatnya percaya lagi adalah Oh Tae-Won.

Rasa panik yang luar biasa langsung menyergap Joo Won. Gadis itu.. Apakah dia sengaja pergi menemui Hwi Yong-Jae untuk memastikan semua ini?

Ketakutan itu akhirnya menjadi kenyataan. Joo Won langsung berlari keluar dengan ponsel di telinga memberikan instruksi kepada seseorang, "Misi batal." Kemudian ia masuk ke dalam mobil dan segera melaju dengan kecepatan penuh menuju suatu tempat, vila pamannya.

***