Chereads / I am a survivor / Chapter 22 - The truth

Chapter 22 - The truth

Saat malam tiba, vila itu terlihat jelas dari kejauhan karena lampu yang dibiarkan menyala terang menyinari segala arah. Seolah-olah pemiliknya sengaja ingin ditemukan, ingin dilihat dan ingin didatangi.

Joo Won memarkir mobil dan berjalan menghampiri sekelompok orang yang berjaga di pintu depan. Saat ia mendekat, salah satu laki-laki bertubuh besar melangkah ke samping untuk mempersilakannya masuk. Joo Won tertegun sejenak, tetapi kemudian menyadari bahwa mereka memang mungkin sudah menunggu kedatangannya. Tanpa sepatah kata, Joo Won mengikuti orang di depan yang sudah masuk ke dalam lebih dulu.

Bagian dalam vila sama mewahnya dengan bagian luar, dihiasi dengan lampu gantung dan perabotan mahal. Tidak ada musik yang diputar, tidak ada suara tawa atau obrolan, yang ada hanyalah keheningan berat yang seolah merasuki tempat itu. 

Berjalan menyusuri koridor panjang, mereka berhenti di sebuah ruangan di ujung. Penjaga itu memberi isyarat pada Joo Won untuk menunggu di depan pintu, lalu orang tersebut menghilang di balik ruangan. Beberapa saat kemudian, pintu kembali terbuka dan laki-laki tadi mempersilahkan Joo Won masuk dimana Hwi Yong-Jae yang mengenakan jubah kuning keemasan sudah menunggu disana.

Joo Won melangkah ke dalam ruangan yang luas namun dadanya terasa sesak, seakan udara di paru-parunya disedot keluar. Dengan langkah pelan, ia mengambil posisi duduk di sofa berhadapan dengan Hwi Yong-Jae sesuai arahan tangannya. Penjaga tadi kemudian meletakkan gelas kecil dan menuangkan teh dari teko keramik di depan mereka masing-masing. Saat penjaga keluar, Hwi Yong-Jae menyesap minumannya sebentar lalu menatap Joo Won sambil tersenyum lebar.

Tanpa membuang waktu untuk berbasa-basi, Joo Won langsung ke pokok permasalahan. "Dimana Oh Yun-Hee?"

Hwi Yong-Jae menyesap tehnya lagi dan berkata dengan tenang, "Aku tidak paham maksudmu."

Joo Won meletakkan mesin perekam suara di atas meja rendah di tengah-tengah mereka. "Kau yang mengirimkannya, bukan? Sengaja memancingnya ke sini?"

Hwi Yong-Jae melirik benda berwarna abu-abu itu, "Ya. Aku yang mengirimkannya. Tapi, aku masih menunggu seseorang."

Joo Won terdiam, mencoba memahami maksud perkataan pamannya. Suasana di dalam ruangan semakin tegang dan mencekam, seperti ada kabut tebal yang menyelimuti mereka berdua. Hwi Yong-Jae duduk dengan ekspresi yang sulit dipahami, tetapi Joo Won bisa merasakan kalau orang tua itu sedang menunggu sesuatu darinya - sebuah pengakuan.

Karena tidak ada pilihan lain, Joo Won menarik nafas dalam-dalam dan mengucapkan sesuatu yang sangat ingin didengar pamannya. "Apakah kau menunggu Cho Min-Ki?" Suara dan tatapan Joo Won menjadi semakin serius, ia tahu tidak ada gunanya bersembunyi terus, lagipula Joo Won sudah mempersiapkan diri. "Ini aku, Cho Min-Ki."

Keheningan berlangsung cukup lama seolah waktu berhenti bergerak. Hwi Yong-Jae tidak langsung merespon, namun tatapannya berubah menjadi intens dan tajam. Saat berbicara, suaranya terkendali seolah berusaha menahan emosi seperti bom waktu. "Ini bukan hal yang bisa dijadikan lelucon, anak muda." Hwi Yong-Jae memperingatkan.

"Min Ki, bukankah itu nama pemberianmu, Samchon?" Sahutnya mengingat apa yang pernah ibunya ceritakan di masa lalu. "Kau orang pertama yang menggendongku ketika aku lahir, menemani ibuku di rumah sakit karena ayahku melarikan diri dari polisi. Kau juga yang memberikanku nama Min Ki, berharap agar aku tumbuh menjadi laki-laki pintar seperti dirimu."

Begitu kata terakhir diucapkan, tangan Hwi Yong-Jae yang memegang gelas langsung bergetar dan detik berikutnya terdengar suara nyaring. Dalam waktu singkat di tangannya hanya tersisa teh, bercampur pecahan gelas dan darah.

Aura membunuh Hwi Yong-Jae dapat dirasakan oleh Joo Won. Akhirnya semua keraguan laki-laki tua itu terjawab dengan penjelasannya tadi. Berbeda dengan Hwi Yong-Jae yang sudah meledak, Joo Won terlihat santai menghadapi situasi ini. "Setelah dua belas tahun, kita bertemu lagi, Samchon."

Yong Jae menyeringai menunjukkan deretan gigi putih dan rapi seperti serigala yang siap menerkam mangsanya. "Ternyata kau berhasil selamat dari kecelakaan helikopter itu?"

"Ya. Orangtuaku mengorbankan diri mereka untuk menyelamatkanku."

"Lalu kenapa kau tidak mencariku setelah itu?"

Joo Won membalas tatapan pamannya dan mencondongkan tubuh ke depan, memastikan Hwi Yong-Jae bisa melihatnya dengan jelas. "Apakah kau masih perlu bertanya, Samchon?" Katanya perlahan sengaja menekankan setiap kata, "Kenapa aku tidak kembali ke rumah, kenapa aku tidak mencarimu dan kenapa aku berakhir di samping Oh Tae-Won. Kau sudah tahu jawabannya tanpa harus mendengar dariku."

Pecahan gelas porselen yang mengiris tangan Hwi Yong-Jae menjadi semakin dalam, membuat darahnya mengalir semakin banyak. "Apa maksudmu?"

Seperti anak kecil yang tidak takut mati, Joo Won semakin berani membalas kata-kata pamannya. Bukankah ini adalah saat yang ditunggu-tunggu olehnya, momen yang sudah terputar berkali-kali di dalam mimpinya, "Alasan orang tuaku dan Oh Tae-Won meninggal, bukankah sama?"

Tangan Hwi Yong-Jae yang berlumuran darah terangkat dan sisa pecahan gelas berserakan ke dinding di belakang Joo Won. Kini tidak ada lagi formalitas di antara mereka berdua yang sudah menunjukkan sifat asli masing-masing. "Kau sadar dengan apa yang baru saja kau katakan?"

"Bukankah itu jawaban yang kau inginkan?"

"CHO MIN-KI.."

Sebelum perdebatan menjadi lebih panjang, Joo Won menyela pembicaraan pamannya. "Aku ingin bertemu gadis itu," katanya dengan nada suara yang tidak ingin dibantah.

Alis Hwi Yong-Jae berkerut dalam, tapi matanya menatap Joo Won lebih dalam. Raut wajah tidak percaya terlihat di wajahnya, seolah tidak menyangka di tengah situasi genting seperti ini, keponakannya masih memikirkan gadis angkuh itu. "Kau.. Benar-benar menyukainya?"

Joo Won mencoba untuk tetap tenang, namun ia tidak bisa menunggu lebih lama lagi, "Aku adalah orang yang kau cari, bukan Yun Hee. Dia tidak ada hubungannya dengan semua ini."

Yong Jae melihat kesungguhan di wajah Joo Won, "Mendengarmu bicara seperti ini padaku, sepertinya kau sudah tumbuh menjadi seorang laki-laki dewasa pemberani." Lalu ia tersenyum, "Dulu kau bahkan tidak berani menatap mataku, selalu menangis bila ditinggal sendirian bersamaku dan tidak mau bicara sama sekali denganku. Ternyata sekarang kau duduk di depanku tanpa rasa takut, berkata dengan lantang menyuruhku, hanya karena seorang gadis."

Merasa pendekatannya kurang tepat, Joo Won menggunakan cara lain. "Jika kau membiarkanku bertemu Yun Hee, aku akan melakukan apapun yang kau minta."

Tawaran itu terdengar menggiurkan, namun juga membuat Hwi Yong-Jae waspada. "Apapun?"

Joo Won menganggukkan kepala yakin, "Apapun."

Merasa cukup puas dengan penawaran tersebut, Hwi Yong-Jae memilih untuk mengalah malam itu. Ia berdiri dari kursi dan berjalan menuju salah satu patung kepala serigala dan memutarnya. Sebuah kamar rahasia terbuka dan cahaya dari tempat mereka duduk itu mulai masuk ke dalam ruangan yang tadinya gelap gulita. Saat pintu berhasil terbuka sempurna, Joo Won melihat seorang gadis duduk di lantai, meringkuk sambil memeluk lutut dengan wajah menunduk. Meski ia tidak bisa melihat wajahnya, tapi ada sesuatu dalam diri Joo Won yang mendorongnya untuk berlari kesana. Ketika ia hendak memasuki ruangan, suara Hwi Yong-Jae menghentikannya.

"Kau hanya punya waktu semalam. Manfaatkanlah sebaik-baiknya karena setelah ini, kalian mungkin tidak akan bertemu lagi." Selesai mengucapkan kalimat itu, pamannya keluar meninggalkan ruangan, meninggalkan mereka berdua disana menghabiskan waktu yang masih tersisa.

Seiring dengan langkah kaki yang mendekat, Joo Won bisa merasakan beban di kedua pundaknya. Ia berjongkok hingga sejajar dengan Yun Hee dan satu lutut menyentuh lantai yang keras. Udara dingin menjalar ke sekujur tubuhnya, membuat hati Joo Won sakit karena rasa bersalah terhadap gadis itu.

Ia kehilangan kata-kata saat berdiri di depan Yun Hee, tidak mampu bergerak atau berbicara. Dari tebakannya, gadis itu pasti sudah mendengar percakapan antara dirinya dan Hwi Yong-Jae sebelumnya. Apakah ada bedanya jika ia mencoba menjelaskan yang sebenarnya sekarang? Karena Joo Won tahu, sekeras apapun ia berusaha, tidak ada kata darinya yang bisa meyakinkan Yun Hee lagi.

Saat ia kesulitan menemukan kata-kata yang tepat, pikiran Joo Won melayang kembali ke saat mereka pertama kali bertemu. Saat gadis itu berjalan dengan langkah pasti dengan rambut hitam tergerai lembut dan mata yang menatapnya tajam. Tanpa sadar, ternyata Joo Won sudah jatuh ke dalam pesona Yun Hee sejak saat itu. Gadis pemberani dan keras kepala yang membuat Joo Won bisa terus bernafas.

"Mi an hae.." Satu kata itu berhasil keluar dari bibir Joo Won yang kering. Rasa pahit di lidah mengingatkan dirinya akan arti permintaan maaf itu. "Mi an ha da, Oh-Yun Hee."

Tidak peduli berapa kali ia mengatakan itu. Tidak peduli berapa banyak ia memohon pengampunan. Hal itu tidak akan mengubah kenyataan ataupun mengurangi rasa sakit Oh Yun-Hee. Penyesalan menguasai Joo Won saat ia menyaksikan penderitaan gadis itu, mengetahui tidak ada yang bisa ia lakukan untuk meringankan rasa sakitnya. 

"Kuharap bisa memutar kembali waktu dan menghapus semua luka yang kau rasakan. Tapi sekarang, aku sadar kalau semuanya sudah terlambat."

Mereka berdua diam di posisi masing-masing dalam waktu yang lama, sampai Joo Won berpindah duduk di samping Yun Hee dan bersandar di dinding. Pandangan matanya kosong ke arah kegelapan yang mengelilingi mereka. Keduanya tampak tenggelam dalam pikiran masing-masing, karena mereka tahu apapun yang diucapkan hanya akan menyakiti yang lainnya.

Kebahagiaan yang tadinya terbentang di depan mata perlahan redup dan lenyap. Meski air mata penyesalan mengalir dari hati yang terdalam, namun air mata itu tidak akan pernah bisa mengembalikan apa yang telah hilang. Malam itu, keduanya sepakat untuk membiarkan waktu berjalan dengan sendirinya. Jalan yang jauh ini, pada akhirnya harus ditempuh oleh mereka masing-masing.

Keheningan dipecahkan oleh derit pintu yang terbuka. Suara engsel yang familiar bergema di seluruh ruangan, membuat mereka tersentak. Salah satu penjaga berdiri di ambang pintu, suaranya datar dan tanpa emosi. "Sudah waktunya untuk pergi."

Joo Won menyadari bahwa kata-kata itu ditujukan padanya. Saat ia membuka mata, ruangan itu sudah dibanjiri sinar matahari yang masuk melalui jendela kaca di bagian atas.

Ia menurunkan tatapannya kembali pada gadis di sampingnya yang mengenakan pakaian berwarna hitam, masih tidak bergerak dari posisinya seperti kemarin. Melihat Yun Hee seperti ini hanya menambah rasa bersalah Joo Won.

"Bos sudah menunggu di bawah," kata salah satu anak buah Hwi Yong-Jae yang lain berdiri di depan laki-laki itu.

Tidak ingin membuat Yun Hee kesakitan lebih lama lagi, Joo Won berdiri dan bersiap untuk keluar ruangan. Sebelum pergi, ia tidak bisa menahan diri untuk berkata, "Maafkan aku." 

Dengan suara keras, pintu dibanting menutup di depannya. Yun Hee, yang sekarang sendirian, mengangkat kepala dan menempelkannya ke dinding. Ia merasa kalah, air mata mengalir di pipinya dan semua emosi yang telah terpendam selama ini akhirnya keluar. Suara isak tangisnya bergema di ruangan yang tadinya sunyi, sebuah cerminan bagaimana dunianya telah hancur tidak berbekas.

***

"Kau akan mengumumkan di depan semua orang di rapat nanti bahwa posisimu sebagai pewaris tunggal perusahaan akan berpindah kepadaku, Pamanmu." Hwi Yong-Jae mengingatkan Joo Won, ketika mobil berhenti di tempat parkir pusat perbelanjaan yang sudah tua dan terbengkalai. "Setelah selesai aku akan melepaskan gadis itu."

"Kita selesaikan ini dengan cepat," kata Joo Won turun dari mobil, tidak ingin berlama-lama di sana.

Ruangan yang dimasuki Joo Won, sangat berbeda dengan tampilan luar gedung itu yang suram. Matanya melebar melihat betapa mewah dan luasnya tempat tersebut. Dibandingkan dengan ruang rapat, tempat itu lebih mirip ruang pesta yang bisa menampung banyak orang sekaligus. Dindingnya dihiasi karpet mahal berhiaskan emas, sedangkan perabotannya terbuat dari kayu mahoni kualitas terbaik. Bahkan lantainya menggunakan marmer yang sudah dipoles. Melihat sekelilingnya, kursi dan sofa yang nyaman sudah ditata dengan strategis agar memudahkan semua orang untuk berdiskusi. Di bagian belakang, sebuah podium berdiri dengan megah dan memberikan kesan penting serta berkuasa bagi siapa pun yang berdiri di sana.

Hwi Yong-Jae sudah berdiri podium dan berbicara di depan mikrofon sambil tersenyum lebar, "Sebelum saya membuat pengumuman penting, ijinkan saya memperkenalkan seseorang kepada anda semua." Hwi Yong-Jae memberi sinyal agar Joo Won naik ke atas.

Setelah mengancingkan jas hitamnya, Joo Won naik dan berdiri tepat di samping pamannya. Saat ia melihat ke bawah, beberapa wajah yang tidak asing muncul kembali dalam ingatannya, hanya saja sekarang mereka jauh lebih tua dari yang ia ingat.

"Ini keponakanku, Cho Min-Ki. Dia adalah putra kandung Cho Yong-Sik dan Hwi Ah-Ra, yang meninggal dalam kecelakaan helikopter dua belas tahun yang lalu." Saat Hwi Yong-Jae menyelesaikan kata-katanya, semua orang tampak kaget dan mulai saling berbisik. "Saya mengerti informasi ini terkesan mendadak bagi kalian semua, tapi sejujurnya kami juga baru bertemu beberapa hari yang lalu."

"Bukankah semua orang tewas dalam kecelakaan helikopter itu? Bagaimana mungkin satu dari orang-orang itu hidup kembali?" tanya laki-laki tua berbadan besar dan memakai syal panjang di leher nya.

"Jika apa yang kau katakan benar, kenapa keponakanmu tidak langsung mencarimu setelah itu? Mengapa dia harus menunggu dua belas tahun sebelum kembali?" tanya laki-laki bertubuh kurus tinggi dengan wajah penuh kerutan.

Laki-laki berambut putih yang memakai celana dan jas merah mengarahkan pertanyaannya pada Hwi Yong-Jae, "Kau tidak sedang mempermainkan kami, bukan? Apakah kau mencoba menipu kami dengan membayar seseorang untuk menyamar menjadi keponakanmu?"

Hwi Yong-Jae sepertinya tidak menyangka akan mendapat rentetan pertanyaan seperti itu, jadi Joo Won memanfaatkan kesempatan untuk berbicara. "Menjawab pertanyaan pertama, tidak semua orang meninggal dalam kecelakaan itu. Ada satu anak laki-laki yang berhasil selamat berkat orang tuanya." Bahkan tanpa mikrofon, suara Joo Won terdengar jelas dan bergema, membungkam semua orang. "Dan menjawab pertanyaan kedua, alasan kenapa saya baru muncul sekarang adalah karena kejadian dua belas tahun lalu bukanlah kecelakaan, melainkan pembunuhan berencana."

Joo Won menoleh ke arah pamannya saat menjawab pertanyaan kedua. Kemudian, ia kembali menoleh ke arah orang-orang yang masih menunggunya melanjutkan cerita. "Singkatnya, saya adalah Cho Min-Ki, anak kandung dari Cho Yong-Sik dan Hwi Ah-Ra."

"Apa katamu? Pembunuhan berencana?" tanya laki-laki tua tinggi kurus dengan mata terbelalak, terkejut mendengar informasi tersebut. "Siapa pelakunya? Apakah dia masih hidup?"

Hwi Yong-Jae terlihat ingin menjawab, tapi Joo Won lebih cepat satu langkah. "Ya. Orang itu masih hidup dan ada di sini."

Dalam sekejap, suasana di dalam ruangan berubah. Semua orang saling bertatapan, memasang ekspresi curiga kepada beberapa orang di sana.

"Apa yang kau katakan?" Seru Hwi Yong-Jae kepada Joo Won, tidak berharap keponakannya itu akan membuka kartunya di depan banyak orang.

Joo Won mendekatkan mulutnya ke telinga Hwi Yong-Jae dan menjawab, "Aku ingat waktu kecil dulu, kau sering memberiku hadiah. Maka, sekarang giliranku memberikan hadiah kepadamu, Samchon."

"Berani menusuk saudara lain dari belakang seperti ini adalah kejahatan yang tidak bisa dimaafkan."

"Kalau pelakunya benar-benar ada di sini sekarang, maka orang itu harus dihukum mati sesuai peraturan yang sudah kita sepakati bersama."

"Cho Min-Ki, apakah kau tahu siapa pelakunya?"

Joo Won menganggukkan kepala yakin, "Tentu saja saya tahu siapa pelakunya, karena orang itu sedang berdiri tepat di sampingku dan di depan kalian semua. Dia tidak lain adalah pamanku sendiri, Hwi Yong-Jae."

Ruangan menjadi sunyi dan semua mata tertuju pada Hwi Yong-Jae. Suasana yang tadinya ramai dengan pertanyaan dan komentar kini berubah menjadi hening. Keringat dingin mengucur di wajah Hwi Yong-Jae dan tangannya gemetar tidak terkendali, ketakutan merasuki pamannya.

"Apakah kau punya bukti?" Hwi Yong-Jae menyipitkan mata sambil menyeringai ke arah Joo Won dan aura bahaya terpancar kuat dari laki-laki itu. "Kalau kau hanya .."

Sebelum Hwi Yong-Jae menyelesaikan kata-katanya, pintu terbuka dan sekelompok orang yang mengenakan jas hitam masuk, dipimpin oleh seorang laki-laki muda dengan rambut putih yang tidak biasa. "Disini buktinya," mengangkat sebuah USB ke atas kepalanya. "Mari kita dengarkan bersama-sama isi black box dari helikopter yang ditumpangi Cho Yong-Sik, dua belas tahun yang lalu."

USB tersebut diberikan kepada salah satu anak buahnya yang langsung menuju ke samping panggung untuk memutar file melalui komputer yang telah disiapkan. Beberapa saat kemudian, sebuah suara yang familiar bagi semua orang terdengar dari pengeras suara di sudut atas ruangan.

"Kau sudah menyimpan peledak di dalam helikopter?" tanya Hwi Yong-Jae.

"Ya. Saya sudah menyembunyikan satu di bagian ekor, satu di bawah kursi penumpang, dan satu lagi di dekat pilot." Jawab suara lain, namun Joo Won mengenali suara itu sebagai salah satu anak buah ayahnya yang dekat dengan Hwi Yong-Jae.

Lalu terdengar suara tawa Hwi Yong-Jae, "Menurutku itu sudah cukup untuk langsung mengirim Cho Yong-Sik beserta keluarganya ke surga."

"Sesuai instruksi anda, peledak akan langsung menyala tiga puluh menit setelah helikopter lepas landas." Kemudian terdengar keraguan dari orang yang berbicara, "Tapi, mengapa anda melakukan ini? Bukankah mereka satu-satunya keluargamu, Hwi Yong-Jae ssi~?"

Jawaban Hwi Yong-Jae terdengar dalam dan dingin, "Karena dalam bisnis tidak ada yang namanya keluarga. Jika mereka tidak mau mengikutimu, berarti kau harus segera menyingkirkannya, tidak peduli siapa."

"Saya mengerti kalau anda memiliki pandangan yang berbeda dengan Cho Yong-Sik, tapi apakah anda harus membunuh istri dan anaknya juga?"

Hwi Yong-Jae terdiam sesaat, "Sama seperti rumput liar, tidak bisa hanya memotong bagian atasnya saja. Maka, harus dicabut sampai ke akar-akarnya, agar tidak tumbuh lagi tunas baru."

"Maksud anda?"

"Meski aku berhasil membunuh Cho Yong-Sik, masih ada Cho Min-Ki sebagai pewaris tunggal. Oleh karena itu, aku juga harus mendorongnya ke jurang yang sama dengan ayahnya, agar aku bisa menjadi satu-satunya ahli waris dari semua kekayaan keluarga ini," kata Hwi Yong-Jae puas. "Anggap saja, nasib anak itu sial karena terlahir sebagai keponakanku di kehidupan ini. Dan aku akan membayar semuanya di surga ketika bertemu dengannya lagi."

***