Dalam perjalanan pulang, Yun Hee meminta Joo Won mampir ke pantai. Seperti yang dikatakan Guru Yun Na tadi, ketika mendengar kata-kata Yun Hee, adiknya langsung tersenyum bahagia dan bergerak tidak sabar di kursi. Lalu saat mereka sudah sampai, gadis kecil itu langsung berlari menuju laut, membiarkan tangan dan kakinya terendam air.
Bila seseorang bertanya, apa perbedaan yang paling mencolok antara Yun Hee dan Yun Na? Mungkin tempat ini adalah jawabannya.
Yun Na sangat menyukai laut, bahkan sampai di titik bila Yun Hee menyuruhnya tinggal di sini, adiknya pasti akan menerima dengan senang hati.
Namun bila Yun Hee yang harus berada di tempat ini, mungkin ia hanya akan bertahan selama satu atau maksimal dua hari. Meski terkesan sepele, tapi perbedaan tersebut ternyata berpengaruh pada sifat keduanya yang sangat berbeda.
"Apa yang kau gambar?" Tanya Joo Won melihat garis yang digambar Yun Na di pasir.
"Coba tebak." Ia tersenyum sekilas lalu kembali fokus membuat garis lainnya.
"Hmm.. Jaring laba-laba?"
Yun Na mengerutkan kening mendengar jawaban Joo Won, "Ini kura-kura."
"Ah.. Begitu."
"Apakah kau tahu alasannya aku menggambar kura-kura?"
Joo Won berpikir sejenak, "Laksamana Yi Sun-Shin?"
Mata Yun Na berkilat senang, ternyata Joo Won bisa menebak apa yang dipikirkannya. "Tahukah kau mengapa mereka membuat kapal kura-kura pada saat itu?"
Joo Won bisa merasakan nada arogan dalam suara gadis kecil itu. Namun ia memutuskan untuk meladeni Yu Na. "Mengapa?"
Gadis itu berdehem sekali dan wajahnya berubah serius, seolah akan memulai cerita panjang. "Saat itu, Laksamana Yi Sun-Shin ingin membuat kapal yang dapat menghindari kehancuran akibat tembakan busur dan senapan jarak dekat pasukan Jepang."
Joo Won tersenyum tipis.
"Kemudian muncul ide untuk membuat kapal kura-kura ini. Sebuah kapal yang dibuat dua kali lebih panjang dan setengah lebar kapal-kapal Jepang." Kata Yun Na melebarkan tangan mencoba menggambarkan seberapa besar kapal yang dibicarakannya. "Meski lebih besar, kapal kura-kura bisa bergerak cepat di air. Sehingga pasukan Korea dapat melepaskan tembakan jarak jauh ke kapal pasukan Jepang."
Joo Won tertawa dalam hati. Dari penjelasan gadis itu, ia bisa menebak kalau Yun Na pasti sudah sering mendengar tentang sejarah kapal kura-kura seperti dirinya dari Oh Tae-Won. Orang tua itu adalah penggemar berat Laksamana Yi Sun-Shin dan dia akan mengungkit cerita tentang kapal kura-kura setidaknya setahun sekali untuk menyemangati pada tentara. Dia ingin menunjukkan betapa hebat idolanya ketika memimpin pasukan Korea berperang dengan Jepang saat itu.
"Pernahkah kau mendengar istilah ini?" tanya Yun Na pada Joo Won sambil menatapnya dengan mata jernih. "Menarik ikan ke dalam jaring."
Joo Won tersenyum lagi, "Berpura-pura mundur untuk menarik seluruh armada musuh ke posisi menyerang."
Wajah Yun Na semakin cerah dan bersemangat saat mendengar Joo Won bisa menjawab pertanyaannya lagi. Lalu Joo Won memperhatikan gambar gadis itu dan berkomentar, "Sepertinya ada yang kurang."
Yun Na yang sudah berdiri, langsung duduk kembali dan mengamati garis rumit di atas pasir. "Apa yang kurang?"
Joo Won menambahkan sesuatu di bagian depan kapal. "Ini kepala naga, tujuannya mengeluarkan kabut agar musuh tidak bisa melihat dengan jelas."
Kali ini giliran Yun Na yang memperhatikan tangan Joo Won bergerak di atas pasir sambil mendengarkan penjelasannya.
"Kepala naga ini cukup besar untuk menyimpan meriam di dalamnya. Dan yang paling penting, ini adalah bentuk senjata psikologis, dengan tujuan menimbulkan rasa takut pada musuh." Joo Won melirik Yun Na sejenak dan melihat ekspresi bingung di wajah itu, "Ketika kita berhasil membuat hati dan pikiran lawan menjadi takut, maka tidak perlu ada perang. Karena semuanya berhubungan dengan pikiran manusia."
Yun Hee melihat interaksi dan mendengar percakapan dua orang yang berada agak jauh di depannya. Strategi menyerang yang dikatakan Joo Won itu, adalah hal yang sering diajarkan kakeknya ketika dia masih kecil. Mendengar hal yang sama keluar dari mulut Joo-Won, membuat Yun Hee merasa seperti kakeknya ada bersama dengan mereka disana.
***
Sekembalinya ke rumah, Joo Won menggendong Yun Na di punggung yang tertidur karena lelah bermain di pantai. Ia masuk ke dalam kamar gadis itu dan membaringkannya di atas tempat tidur, membiarkan Yun Hee serta Bibi Soon Ja mengurus hal lainnya.
Ketika Yun Hee keluar ke halaman depan rumah, ia melihat Cho Joo-Won sedang berbaring di meja duduk bambu sambil menatap langit dengan sebelah tangan di belakang kepala.
"Kau suka melihat bintang?" Yun Hee mendekat ke arah Joo Won dan berbaring di sampingnya.
"Hmm.."
"Kenapa?"
"Agar tetap waras."
Yun Hee meliriknya sejenak tapi tidak berkata apa-apa.
"Mereka mengingatkanku betapa kecilnya aku dan kita semua." Suara Joo Won kembali terdengar, "Betapa kecilnya masalah kita, betapa kecilnya hidup kita dibandingkan dengan alam semesta."
Ia menoleh ke arah Yun Hee, "Tidakkah kau merasa seperti itu?"
Yun Hee tidak langsung menjawab, tatapannya lurus ke langit di atas. "Entahlah, aku tidak pernah memikirkan hal seperti itu. Tapi, aku akan mulai memikirkannya sekarang."
Joo Won tersenyum, "Ketika melihat alam, kau akan menyadari bahwa apapun yang kau anggap penting saat ini, sebenarnya tidak begitu penting. Kita semua hanyalah bagian kecil dari kehidupan yang sesungguhnya."
Perkataan Joo Won membuat pikiran Yun Hee beralih ke kejadian pagi ini. "Yun Na.. Menurutmu akan menjadi seperti apa di masa depannya?"
Joo Won bisa melihat kecemasan dan kekhawatiran di wajah Yun Hee, "Bukankah terlalu cepat untuk menyimpulkan sekarang?"
Yun Hee menghela napas, "Aku hanya takut nanti dia akan tumbuh menjadi seseorang yang .."
Joo Won mengangkat sebelah tangan dan meletakkannya di bahu Yun Hee, masih menatapnya. "Tidak mudah mengatasi rasa kehilangan akibat ditinggalkan orang yang kita sayangi. Semakin kuat keterikatanmu pada seseorang, semakin besar rasa kehilangannya." Joo Won berbicara jujur dari hatinya, "Sama halnya dengan Yun Na, dia sedang mencari seseorang yang mau menerima, mendengarkan dan berada di sisinya."
Melihat Yun Hee tidak berkomentar, Joo Won melanjutkan lagi. "Itulah kenapa ada pepatah yang mengatakan bahwa kita adalah bayangan orang yang sering kita temui. Hal yang sama juga terjadi pada anak-anak, bahkan mereka akan lebih cepat mencontoh orang dewasa yang sering berinteraksi dengannya."
"Menurutmu.. Yun Na sedang meniru ku?"
"Menurutku Yun Na sudah menganggapmu sebagai rumah." Joo Won menepuk ringan bahu Yun Hee, "Akan menjadi apa Yun Na di masa depan, sepertinya kau harus menanyakan hal yang sama pada dirimu sendiri. Kau ingin menjadi orang seperti apa nantinya?
Joo Won sadar kalau tidak ada yang bisa memahami betapa besar kehilangan yang dialami Yun Hee dan Yun Na. Betapa kerasnya kedua gadis itu berjuang untuk bertahan ketika dunia mereka hancur dalam semalam.
Tapi, tidak ada yang tahu kalau masih ada satu orang yang terus berusaha menjalani hari-harinya dengan rasa sakit, seolah sebuah pisau menancap di jantungnya. Saat Joo Won melihat dua gadis itu mengalami kesulitan karena dirinya, ia merasa setiap tarikan nafasnya dipenuhi penyesalan.
"Saat daun berguguran, daun baru akan tumbuh." Suara Joo Won terdengar memilukan. "Aku akhirnya menyadari bahwa menghabiskan sisa waktu bersama orang-orang yang aku sayangi adalah satu-satunya hal yang bisa kulakukan. Dan bagi yang sudah pergi, hargai semua kenangan yang telah berlalu agar orang tersebut tetap hidup dalam ingatan, pikiran dan doa yang kita kirimkan."
Kepala Yun Hee menoleh ke arah Joo Won, matanya menatap laki-laki itu dalam dan rahangnya menjadi kaku. Tanpa sadar ia menggeretakkan gigi sekuat tenaga untuk menahan air mata yang hendak jatuh. Kenapa mendengar Joo Won mengatakan hal seperti itu membuat Yun Hee tersentuh? Kelihatannya laki-laki itu tidak sedang berbicara dengan mulutnya, tapi dengan mata dan hatinya kepada Yun Hee .
"Kita harus terus bergerak maju bersama rasa sakit ini selama sisa hidup kita, sampai akhirnya semua rasa sakit itu menjadi bagian dari diri kita tanpa melupakan mereka."
Saat itu untuk pertama kalinya, Yun Hee merasakan beban di pundaknya menjadi lebih ringan. Anehnya, ia mulai ingin menunjukkan sisi lain dirinya kepada Cho Joo-Won, alasannya karena ia tahu kalau laki-laki itu akan bisa memahaminya lebih dari siapapun. Apakah ini pertanda baik atau justru sebaliknya?
***
"Berapa lama lagi kita harus berjalan?" tanya Yun Na dengan nafas pendek dan ekspresi lelah. "Sebenarnya kita mau kemana?"
Keesokan harinya Yun Hee membangunkan Yun Na pagi-pagi sekali dan mengajaknya naik ke atas bukit di area belakang pabrik. Melirik jam di tangan, Yun Hee bisa memperkirakan mereka sudah mendaki kurang lebih satu jam. Mengangkat kepala ke atas, sinar matahari mulai naik ke langit dan sekeliling mereka terlihat terang. "Bukankah kau dan kakek datang ke sini hampir setiap pagi?" katanya berbalik ke arah Yun Na yang sedang mengatur nafasnya.
Yun Na mengerjapkan mata beberapa kali, lalu menoleh ke kiri dan ke kanan. Dalam waktu singkat, gadis itu sudah bisa menebak kemana sebenarnya Yun Hee ingin membawanya. Ia berjalan melewati Yun Hee dan dalam beberapa meter telah mencapai puncak.
Di atas sana, Yun Na melihat tempat yang penuh dengan rumput liar dan tidak terawat. Biasanya ia dan kakek akan datang ke tempat ini tiga kali seminggu untuk memberi pupuk pada tanaman kecil, lalu menanam bibit bunga baru di area lain. Namun, setelah kakeknya meninggal, Yun Na tidak pernah naik ke sini lagi. Mengamati semua bunga yang ditanamnya dulu telah layu dan kering, digantikan oleh rumput tinggi, membuat Yun Na mengerutkan kening.
"Untuk apa menangis?" seru Yun Hee saat melihat mata Yun Na berkaca-kaca. "Apakah menangis akan membuat semua tanaman ini hidup kembali?"
Yun Na menoleh ke arah Yun Hee dan wajahnya menjadi semakin muram. Tapi, sebelum tangisan gadis itu terdengar, setangkai bunga Edelweis putih muncul di depan wajahnya. Joo Won berjongkok di samping Yun Na sambil memegang tangkai kecil itu.
"Setahuku, kau dan kakek sering datang kesini untuk memetik bunga Edelweis dan membawanya ke makam nenek. Sekarang tempat ini seperti hutan kecil tanpa ada satupun tanaman yang tersisa." Yun Hee memutar tubuhnya sekali lalu berhenti di depan Yun Na. "Joo Won berhasil menemukan satu tangkai bunga yang masih hidup. Oh Yun-Na.. Apa yang akan kau lakukan dengan bunga terakhir ini?"
Gadis kecil itu hanya diam tidak bergerak dengan tatapan kosong ke arah bunga di depan matanya. Melihat tidak ada respon, Yun Hee berjongkok di samping Yun Na dan menarik lengan gadis itu sehingga mereka saling berhadapan. "Melangkah maju bukan berarti melupakan orang yang kita cintai, karena kenangan dan cinta yang kita miliki untuk orang itu akan selalu ada di hati kita."
Yun Hee menatap mata jernih Yun Na dan mengangkat satu tangan kecil itu, lalu meletakkannya di dada. "Aku akan menjadi rumahmu mulai sekarang. Oleh karena itu, aku ingin kau juga menjadi Yun Na yang bahagia dan hidup tanpa penyesalan di masa depan. Kita bisa mulai dari awal lagi, kan?"
Yun Na mengalihkan pandangannya ke bunga yang dipegang Joo Won, beberapa saat kemudian ia menoleh ke arah Yun Hee kembali dan menganggukkan kepala. "Apakah aku bisa melihat ladang Edelweis yang banyak lagi di sini?" tanya gadis itu pada Joo Won sambil merentangkan tangan seolah menggambarkan seberapa banyak yang ia maksud.
Joo Won tersenyum, "Tentu saja aku akan menemanimu menjaganya."
Yun Na tersenyum lebar seolah bisa membayangkan seperti apa tempat ini nantinya. Ia menggandeng tangan Joo Won dan mulai bercerita dengan antusias tentang bunga-bunga yang pernah ditanam kakeknya di sana.
Yun Hee berdiri dari posisinya dan tersenyum tipis, tatapannya beralih dari Yun Na ke Joo Won yang dengan sabar mendengar ocehan adiknya. Ia kemudian sadar bahwa tidak boleh mempercayai siapapun dengan mudah, tetapi Cho Joo-Won sudah masuk ke dalam hidupnya dan membuat Yun Hee menjadi lemah namun kuat di saat bersamaan.
***