Permainan terakhir yang seharusnya bisa diselesaikan dengan cepat, ternyata menjadi permainan yang paling menguras tenaga kedua laki-laki itu. Satu jam sudah berlalu, keduanya telah melemparkan dua belas anak panah dalam empat set ke papan, namun skor yang terkumpul sejauh ini selalu imbang. Joo Won dan laki-laki berkacamata di sebelahnya harus bermain terus menerus hingga satu orang dengan skor lebih tinggi keluar sebagai pemenang.
Semua orang yang menonton pertandingan di atas panggung mulai merasa bahwa laki-laki culun di samping Joo Won tidak bisa diremehkan. Meski laki-laki itu tidak bisa berdiri tegak seperti Joo Won setelah meneguk beberapa gelas Absinthe, ternyata anak panah yang dilemparnya selalu berhasil menancap sasaran di titik tengah berwarna merah. Hal ini membuat orang-orang cukup kagum dengan kemampuan konsentrasinya yang luar biasa.
Karena sudah menghabiskan waktu terlalu lama, pembawa acara akhirnya memutuskan untuk naik ke atas panggung. "Ketahanan dua pemuda ini luar biasa, mari kita beri tepuk tangan." Ia mengangkat tangan ke atas dan meminta penonton untuk mengikuti gerakannya.
"Tapi, karena kita hanya membutuhkan satu pemenang, maka kita tambahkan sedikit tantangan." Laki-laki Genie itu memberi kode pada staf untuk membawa sesuatu. Beberapa saat kemudian sebuah kursi kayu diletakkan di bawah papan panah dan laki-laki itu langsung duduk disana. "Dua peserta terakhir akan bergantian melempar anak panah dari tempatnya masing-masing, jika salah satu melempar maka yang lain akan duduk di kursi ini. Dengan kata lain, peserta harus fokus pada papan di atas. Karena kalau tidak, orang yang duduk di sini akan terluka. Jadi berhati-hatilah."
Suara terkesiap terdengar dari penonton, mereka semua mengerti betapa berbahaya permainan itu. Ditambah lagi, melihat kondisi kedua laki-laki di bawah sana yang bisa dikatakan sudah mencapai batas kesadaran, pasti akan meningkatkan resiko anak panah yang mereka lemparkan melukai siapapun yang berada di dekat papan. Yun Hee yang sependapat dengan penonton lainnya baru saja hendak menyela perkataan pembawa acara, ketika Joo Won melangkah ke atas panggung dan duduk di kursi yang telah disiapkan dalam posisi siap.
Yun Hee langsung melotot dan mulutnya terbuka kaget. Apa yang dilakukan Cho Joo-Won di sana? Apakah dia tidak takut mati? Meski ini semua ide Yun Hee, tapi ia juga tidak bermaksud menyakiti Joo Won seperti ini.
"Aku sangat mengagumi keberanianmu, anak muda," ucap pembawa acara dengan tatapan bangga dan mengacungkan jempol pada Joo Won sebagai tanda pujian. "Kalau begitu, anda yang berkacamata bisa mulai melemparkan anak panah. Dan seperti yang saya katakan, berhati-hatilah." Memperingatkan dua orang itu bergantian sebelum akhirnya meninggalkan panggung dan membiarkan permainan dilanjutkan.
Yun Hee bisa melihat keraguan di mata laki-laki berkacamata yang mematung di posisinya, seolah mempertaruhkan harga diri di depan banyak orang. Sorakan yang kencang membuat laki-laki itu sadar kalau semua orang sedang menunggunya agar permainan bisa dimulai. Perlahan, ekspresi bimbang yang awalnya muncul di wajah itu berubah menjadi kasar. Matanya berubah agresif dan keinginannya untuk menang terlihat jelas.
Saat Yun Hee menoleh ke arah Cho Joo-Won, laki-laki itu hanya duduk di kursi dengan tenang dengan pandangan lurus ke depan. Seperti yang dikatakan pembawa acara tadi, Joo Won tidak berusaha menghindar dan terlihat berani menghadapi apapun yang terjadi di depannya. Apakah Cho Joo-Won benar-benar tidak takut? Apakah dia berusaha menutupi rasa cemasnya? Ataukah keberanian itu muncul karena Yun Hee?
Melewati kerumunan orang yang berdiri di depan, Yun Hee tidak bisa menahan rasa khawatir dan mengambil posisi berdiri tidak jauh di samping Joo Won. Tatapannya tidak pernah lepas dari laki-laki itu untuk memastikan semuanya baik-baik saja. Atau jika terjadi sesuatu, Yun Hee ingin menjadi orang pertama yang membantunya. Tapi, kalau hal itu benar terjadi, Yun Hee tahu ia pasti akan merasa sangat bersalah pada Joo Won.
Dua anak panah dari laki-laki berkacamata itu berhasil menancap di papan dengan skor yang tidak terlalu tinggi. Saat anak panah terakhir dilempar, ternyata melesat dan melukai pipi kanan Joo Won. Melihat itu, Yun Hee hendak naik ke atas panggung namun ditahan oleh pembawa acara yang entah sejak kapan sudah berdiri di sampingnya. Laki-laki Genie itu mengangkat satu jari ke mulutnya seolah memberi isyarat kepada Yun Hee untuk tetap diam di tempatnya dan tidak panik.
Setelah selesai melemparkan semua anak panah, kedua laki-laki tersebut bertukar tempat. Joo Won berada di posisi melempar dan lawannya sekarang duduk di kursi. Sekilas Yun Hee melihat senyum tipis di bibir Joo Won, seolah inilah saat yang ditunggu-tunggunya. Bagi yang baru mengenal Cho Joo-Won, laki-laki itu memancarkan aura misterius dan dingin namun mampu membuat siapa pun tenggelam dalam pesonanya.
Sedangkan untuk laki-laki berkacamata, meskipun terlihat berani tapi memberikan kesan terlalu percaya diri dan angkuh. Sorakan yang diarahkan padanya bukan dimaksudkan untuk menyemangati, melainkan untuk memancingnya ke dalam permainan dengan tujuan mempermalukan dirinya sendiri.
ketiga anak panah yang dilempar Cho Joo-Won semuanya tepat mengenai sasaran. Dalam waktu singkat mereka berhasil mendapatkan pemenang. Tanpa menunggu lebih lama lagi, pembawa acara dengan ekspresi takjub menghampiri Cho Joo-Won dan mengucapkan selamat. Sesuai dengan janjinya, ia akan mengabulkan apapun permintaan Cho Joo-Won begitu juga dengan semua penonton di sana.
"Apakah kalian punya anggur putih dari Yun Winery?" tanyanya kepada pembawa acara, "Tolong berikan kepadaku satu botol anggur putih terbaru mereka." Suaranya saat berbicara terdengar jelas dan stabil, begitu juga postur tubuhnya yang berdiri tegak, tidak terlihat seperti seseorang yang sudah menghabiskan berbotol-botol minuman beralkohol tinggi. Hal lain yang berhasil membuat orang lain kagum adalah Cho Joo-Won sama sekali tidak terlihat mabuk. Meskipun hal itu membuat daya tariknya menjadi semakin kuat di mata semua orang, namun bagi Yun Hee ada sesuatu yang aneh. Perasaannya berkata bahwa Cho Joo-Won bukan orang biasa.
Laki-laki itu memegang botol anggur kaca hijau yang diberikan oleh pembawa acara. "Ini adalah anggur yang dibuat sendiri oleh pacarku," kata Cho Joo-Won dengan nada suara bangga dan mengangkat botol agar semua orang dapat melihatnya. "Untuk membuat anggur ini, dibutuhkan waktu satu tahun penelitian dan enam bulan observasi ditambah enam bulan produksi."
Lalu mata Cho Joo-Won beralih ke Yun Hee. Sejenak gadis itu agak terkejut melihat Cho Joo-Won bisa menemukannya dengan begitu mudah diantara kerumunan orang, ditambah lagi posisinya yang agak jauh.
"Selama sekitar dua tahun, aku hanya mendengar suaranya sekali atau dua kali seminggu di telepon. Apalagi di hari libur atau akhir pekan kami tidak bisa bertemu karena dia harus tetap bekerja di laboratorium, melakukan peninjauan lebih lanjut terhadap beberapa sampel yang sudah dibuat." Cho Joo-Won mengalihkan pandangan ke sekelilingnya dan berkata dengan suara agak muram. "Setelah itu, pacarku semakin sibuk karena harus bertemu banyak orang untuk meyakinkan mereka bahwa produknya layak dipasarkan."
Tatapan Cho Joo-Won berubah, suaranya terdengar seperti kembali ke waktu yang disebutkan. "Sekitar sebulan yang lalu, kakeknya baru saja meninggal karena kecelakaan. Kejadian mendadak tersebut meninggalkan luka mendalam baginya dan orang terdekatnya. Dalam sekejap, ia dipaksa menerima semua tanggung jawab baru yang berpindah ke pundaknya tanpa boleh mengeluh."
Suara rendah Cho Joo-Won yang seakan ikut merasakan kesedihan gadis itu membuat orang bersimpati. "Dan seminggu yang lalu, pacarku minta putus. Menurutnya, beban di pundaknya kini jauh lebih besar dan dia tidak ingin membuatku menunggu." Ia menundukkan kepala dan menghela nafas, "Aku tidak tahu kenapa dia bisa berpikir seperti itu, aku bahkan rela mengorbankan apapun agar bisa terus berada di sisinya, melewati masa-masa sulit atau masa depan yang tidak pasti."
Kepalanya terangkat kembali dan senyum pahit muncul di bibirnya. "Hari ini di tempat ini, aku ingin mengatakan bahwa aku menghormati keputusannya dan akan selalu mendukungnya, karena aku sangat mencintainya." Tepat ketika kata terakhir itu diucapkan, mata Yun Hee dan Cho Joo-Won bertemu. Raut wajah laki-laki itu mengatakan bahwa ia memang bersungguh-sungguh dan tidak ingin melepaskan dirinya. "Sebagai hadiah untuk memulai hidup baru bagi gadis itu, aku ingin mentraktir semua orang di sini dengan anggur ini."
Helaan napas dan tatapan memilukan terlihat dari pembawa acara yang berdiri di samping Cho Joo-Won. Terakhir, laki-laki Genie itu mengatakan bahwa hatinya terasa seperti terkoyak mendengar bagaimana hubungan itu akhirnya harus berakhir. "Untuk menyemangati mereka berdua, malam ini mari kita minum anggur Yun Winery sampai hati kita puas."
Semua orang mulai bersorak dan kerumunan semakin bertambah, seolah-olah semua orang tidak ingin melewatkan pesta malam itu.
***
Yun Winery menempati posisi tiga pencarian tertinggi malam itu. Yun Hee membaca beberapa artikel di media sosial yang membahas kejadian di klub malam tadi di ponselnya. Sebagian besar komentar yang ditinggalkan cukup positif disusul dengan kata-kata penyemangat untuk keduanya. "Bagaimana kau bisa mengarang cerita tadi?" tanya Yun Hee melirik Joo Won yang sedang bersandar pada tiang di sudut paviliun.
Joo Won merasakan dinginnya udara malam yang menerpa wajahnya, tapi sepertinya belum cukup menghilangkan rasa hangat di tubuhnya. Dengan mata terpejam, Joo Won mencoba mengatur nafas dan detak jantungnya yang berdebar kencang. Ia mengira dirinya akan baik-baik saja hingga akhir, namun ternyata alkohol di tubuhnya terlambat bereaksi.
Sesampainya di rumah, penglihatannya mulai kabur dan ia kesulitan berjalan dengan baik. Kini dengan kondisinya yang setengah sadar dan setengah bermimpi, ia tidak tahu apakah suara Yun Hee itu nyata atau hanya halusinasi saja.
"Wajahmu sangat merah." Komentar Yun Hee mendekat dan meletakkan tangannya di dahi Joo Won, "Aku akan meminta Bibi Soon Ja membuatkanmu minuman penghilang mabuk." Yun Hee hendak berbalik ketika ia merasakan sesuatu mencengkram lengannya.
"Nanti.. saja.." gumam Joo Won tidak jelas.
"Kau memerlukan sesuatu untuk menetralisir mabukmu, aku akan segera kembali." jelas Yun Hee beranjak dari posisi duduknya lagi. Namun sebelum tubuhnya benar-benar bisa berdiri, Joo Won sudah menarik gadis itu ke arahnya dan meletakkan tangan di belakang kepala Yun Hee.
Semuanya terjadi begitu cepat dan mata Yun Hee terbelalak kaget. Laki-laki itu mendorong kepalanya dengan kuat sampai bibir mereka berdua menempel. Selama beberapa saat tidak ada yang bergerak, sampai kemudian kedua mata Joo Won terbuka dan ia memiringkan kepala sedikit menatap Yun Hee. "Aku boleh menggunakan satu tiketku, bukan?"
Yun Hee mengerutkan alis, namun tiba-tiba ekspresinya berubah seolah teringat dua permintaannya pada Joo Won. Sebelum ia berbicara, Joo Won sudah menyela lebih dulu, "Cium aku." Katanya lantang dan jelas, dengan tatapan menuntut di matanya seolah itu adalah perintah. Yun Hee diam mematung di tempat tidak menyangka akan mendengar hal itu dari mulut Joo Won.
Haruskah ia menuruti atau menolaknya? Kemudian sebuah suara muncul di kepala Yun Hee, bukankah orang di depannya adalah Cho Joo-Won versi mabuk yang tidak akan ia temui lagi besok? Apalagi melihat kondisinya yang seperti ini, Yun Hee tidak yakin kalau laki-laki itu akan mengingat apa yang mereka bicarakan saat ini.
"Kau sudah mengatakan permintaanmu, maka tidak bisa ditarik kembali." Balas Yun Hee tanpa memberikan ruang untuk negosiasi. Cho Joo-Won yang mendengarnya pun langsung menganggukkan kepala mengiyakan.
Tidak tahu apakah Cho Joo-Won masih sadar atau sudah benar-benar mabuk saat menyetujui tawaran Yun Hee, yang terpenting adalah satu hutangnya telah lunas kepada laki-laki itu. Yun Hee menghela nafas panjang dan mendorong tubuhnya ke depan hingga bibir mereka bersentuhan lagi. Awalnya Yun Hee hanya akan menempelkan bibirnya beberapa detik lalu menariknya kembali. Tapi ketika ia mendekat, aroma tubuh Cho Joo-Won yang dingin dan menenangkan tercium jelas dibandingkan dengan alkohol yang diminum laki-laki itu.
Aroma yang sangat familiar pun muncul dan membuat pikiran Yun Hee langsung melayang seolah sedang bernostalgia ke masa lalu. Perasaan nyaman perlahan menyelimutinya dan tanpa disadari ia memejamkan mata dan mulai membiarkan diri hanyut dalam pesona Joo Won.
Tangan Joo Won menarik Yun Hee mendekat padanya hingga tidak ada lagi jarak yang memisahkan mereka berdua. Bibir Joo Won terbuka dan bergerak perlahan dan membuat ciumannya semakin dalam. Yun Hee yang bisa merasakan kehangatan Joo Won semakin tenggelam dan mengikuti gerakan bibir laki-laki itu hingga bibir mereka bergerak mengikuti hati masing-masing. Saat itu, Yun Hee tidak tahu bahwa perasaan baru yang tumbuh di hatinya akan menimbulkan rasa sakit yang tidak tertahankan nantinya.
***