Chereads / Hello, Mr. Arrogant / Chapter 3 - 3. Hello, Mr. Arrogant!

Chapter 3 - 3. Hello, Mr. Arrogant!

"Kyaaaaaa," teriak Cecil.

Estian menarik tangan Cecil hingga tubuh Cecil terjatuh memeluknya.

"Jangan terlalu terburu-buru. Disini masih banyak orang," bisik Estian.

"Ap-apa?" pekik Cecil.

Estian memangku Cecil dan membawanya masuk mansion. Berada di kursi roda, tidak membuat Estian kesulitan dalam menjalani aktifitasnya.

"Ternyata, Anda sangat tampan," bisik Cecil.

Estian tidak memberikan ekspresi apapun. Wajahnya berubah dingin setelah mereka masuk ke dalam kamar pengantin.

"Turun atau aku akan melemparmu!" bentak Estian.

Cecil turun dengan sendirinya. Baginya, mendengar bentakan atau makian sudah terbiasa, hingga Cecil tidak memberikan reaksi apa-apa.

"Kau memang Istriku, tapi hanya untuk menggenapi statusku. Apa kau mengerti?" bentak Estian.

"Iya, aku paham!" jawab Cecil.

Lewis masuk ke dalam kamar, dengan membawa berkas di tangannya.

"Tuan muda, ini berkas yang Anda minta," ucap Lewis dengan sopan, sembari memberikan berkas itu pada Estian.

"Tandatangan!" teriak Estian.

Berkas itu Estian berikan ke Cecil dengan segala perintahnya. Tanpa berfikir panjang ataupun membacanya, Cecil tandatangan tanpa ragu.

"Apa kau tidak membacanya terlebih dahulu?" tanya Estian, heran.

"Membacanya atau tidak, apa aku masih memiliki sebuah pilihan untuk menolak?" tanya Cecil.

"Dasar keras kepala! Terserah!" bentak Estian.

Estian keluar kamar dengan sangat marah. Lewis membungkukkan sedikit pundaknya untuk memberikan salam ke Cecil dengan penuh rasa hormat.

Keberanian yang di tunjukan oleh Cecil, hilang setelah tubuh Estian tidak lagi terlihat di depan matanya.

Tubuh Cecil lemas dan duduk di atas ranjang yang mewah. Ranjang yang di hias dengan sprai putih, dan di taburi kelopak bunga mawar di atasnya.

"Hiks... Hiks... Hiks... Kenapa aku selalu terjebak dalam keadaan seperti ini?" gumam Cecil sembari menangis.

***

Cecil menangis sampai dirinya kelelahan dan tertidur dengan posisi yang tidak nyaman. Estian yang baru saja kembali, berniat untuk menyeret Cecil keluar tapi sayangnya, niat hanyalah sekedar niat.

Cecil yang tidur dengan tenang, Estian diam dan membiarkannya. Bahkan Estian membenarkan posisi Cecil dan menyelimutinya.

"Tuan, Anda mau ke mana?" tanya Lewis.

"Antarkan aku untuk tidur di ruang kerja," pinta Estian.

Estian memilih tidur di dalam kamar yang berada di ruang kerjanya dibandingkan harus melempar Cecil keluar.

'Tidak biasanya Tuan membiarkan orang lain untuk meniduri ranjangnya,' batin Lewis.

Pernikahan politik menjadikan Cecil korban. Kebencian Estian menggerogoti kebaikan yang ada dalam dirinya. Tidak di rumah Tuan Sovies, tidak setelah menikah, Cecil harus menghadapi kehidupan yang sama sekali tidak Cecil inginkan.

Apakah saat ini takdir tengah mempermainkan Cecil? Apakah dalam setiap tetesan airmata, terdapat sebuah kejutan dari Tuhan yang tidak terduga?

Estian merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Pikirannya terngiang-ngiang oleh wanita yang membuatnya sangat tertarik. Wanita yang sudah direnggut kehormatannya.

Estian mendengkus, nafasnya tak lagi tenang. Selain tertarik, dia juga seperti dihantui oleh rasa bersalah. Tragedi sebelum pernikahan sampai pernikahan sudah berlalu, gadis yang dicarinya tidak juga ditemukan.

'Sebenarnya kau itu siapa? Kenapa kau membuatku seperti dikejar oleh rasa bersalah? Suara dan daya tarik yang kau miliki kenapa mengingatkanku pada wanita yang baru saja aku nikahi?' batin Estian.

Berfikir dan terus berfikir membuat kantuk Estian datang. Pada akhirnya, Estian terlelap tanpa beban.

***

"Emmmmmm... Jam berapa ini?" gumam Cecil.

Cecil melirik ke arah jarum jam. Ternyata sudah jam 6 pagi. Cecil langsung mandi dan memakai pakaian seadanya. Cecil turun ke bawah, ternyata semua pekerja tengah sibuk dengan tugasnya masing-masing.

Tempat yang dituju Cecil pertama kali adalah dapur. Di mana Cecil terbiasa berurusan dengan itu.

"Nyonya, kenapa Anda di sini?" tanya salah satu pekerja yang paling berumur.

"Anda siapa, ya?" tanya Cecil.

"Perkenalkan Nyonya muda, saya Pril. Ketua para pelayan di sini," ucapnya dengan sopan.

"Bisakah kalian mengosongkan dapur?" tanya Cecil.

"Nyonya tapi..."

"Biarkan aku yang membuatkan dia sarapan," ucap Cecil ramah.

Bibir yang tersenyum, wajah yang sendu, mata yang terlihat kalau dirinya habis menangis dengan durasi yang sangat lama. Mau sampai kapan Cecil menutupi apa yang melukainya?

"Nyonya tapi Tuan sudah berangkat ke kantor bersama Sekretaris Lewis," jelas Pril.

"Oh, dia sudah berangkat. Biar nanti aku yang mengantarkan sarapan juga makan siang untuknya," senyumnya membawa sebuah kekecewaan yang mendalam.

'Masih jam setengah 7 pagi tapi dia sudah pergi. Dia sampai berangkat ke kantor subuh supaya tidak melihatku,' batin Cecil.

Cecil mulai memotog sayuran sembari sesekali tangannya menghapus airmata yang tak juga kunjung berhenti. Rasanya seperti dijadikan seorang putri lalu dilemparkan ke kotoran sapi.

Terlepas dari mantan kekasih, dari keluarga angkat, Cecil berharap setitik kecil bahagia tapi melihat awal-awal pernikahan yang sudah terasa seperti neraka, titik kecil harapan itu sudah tidak lagi ada.

Sudah satu jam berkutik di dapur dengan tekad memberikan yang terbaik untuk pria yang baru saja dinikahinya kemarin.

Wadah bekal sudah tertata rapih, juga buah-buahan segar yang sudah Cecil bersihkan. Cecil membawa tas kecil miliknya setelah mengganti pakaian yang pantas di pandang.

"Nyonya, Anda mau ke mana?"

"Bibi Pril, aku mau mengantarkan makanan untuk Estian," jawab Cecil.

"Tapi..."

"Bibi, aku akan naik taxi."

Konyol! Alamat kantor Estian, jabatan apa yang dimiliki Estian, baru Cecil ketahui setelah membaca majalah yang ada di kamarnya.

Cecil naik taxi menuju kantor Estian, Cecil berulang kali berfikir, pria seperti apa yang menikahinya. Pria kejam tak berperasaan ataukah dingin tapi penyanyang?

"Nona, kita sudah sampai!"

"Terimakasih!" ucap Cecil sembari membayar.

Cecil turun dan medekati pintu yang besar. Gugup? Tentu saja. Gemetaran? Sudah jelas. Tapi Cecil tidak mundur meskipun jantungnya berdebar.

Deg... Deg... Deg...

Cecil merasakan sebuah atmosfir yang sangat tidak menguntungnya karena tepat di depan matanya, sosok Estian bersama Lewis seperti tengah menyambutnya.

"Selamat pagi, Nyonya!" sapa Lewis ramah.

"Pagi, Tuan Lewis!" balas Cecil.

"Ada keperluan apa kau kemari?" tanya Estian sinis bahkan membuang pandangan ke arah lain seperti begitu jijik untuk melihat Cecil.

"Aku membawakanmu sarapan dan juga makan siang," ucap Cecil ceria.

Kalau saja rasa malu hilang mungkin Cecil akan menangis sesenggukan karena mendapatkan tatapan dingin lalu membuat sekujur tubuhnya menjadi beku.

"Aku sudah makan!" tolak Estian.

"Tuan, lebih baik Tuan terima saja. Tuan belum makan pagi ini," bisik Lewis.

"Menerima? Siapa yang tahu kalau makanan itu beracun atau tidak," ejek Estian.

Estian sengaja mengeraskan suaranya supaya Cecil mendengar. Mata Cecil terbelalak mendengar ungkapan kekhawatiran Estian pada diri sendiri, Kewaspadaan yang membuat Cecil kembali mengerti jika menolak makanan darinya adalah sesuatu hal yang wajar.

"Makanan ini sangat bersih. Aku bisa menjaminnya," Cecil tidak pantang menyerah sampai Estian menerima niat baiknya.

"Aku sudah katakan kalau aku sudah makan!" teriak Estian.

PRANGGG!