Cecil yang malang. Tidak mendapatkan cinta dari Keluarga, ditinggalkan kekasih, menikah dengan pria yang tidak memiliki perasaan.
Benar. Cecil menjadi liar dan ganas. Dia lelah. Dia ingin berhenti menjadi wanita lembut yang tertindas, namun, dia salah dalam membantah lawan.
Meskipun Estian lumpuh, tapi dia memiliki kekuasaan yang tinggi. Tidak ada yang berani membantah semua perintahnya.
"Sean! Evan! Kurung wanita ini! Jangan biarkan dia keluar sebelum dia berlutut memohon ampun!" Estian berteriak memberikan perintah.
Apakah Cecil membantah? Tidak. Dia malah merasa bangga karena sudah membuat Estian marah. Berharap Estian akan langsung membunuhnya supaya mengurangi masa derita yang terlalu panjang.
'Jika mati masuk dalam pilihan, aku pasti akan menerima tanpa berfikir panjang,' batin Cecil.
Hubungan bisa diperbaiki tapi ego yang tinggi tidak akan mampu mengimbangi. Itulah sebuah keputusasan yang saat ini tengah menempati seluruh akal Cecil.
"Jangan menyentuhku. Tunjukkan saja dimana ruang yang akan dipakai untuk mengurungku," ujar Cecil.
Cecil meninggikan harga dirinya. Diam ditindas, membantah pun juga sama. Bukankah lebih baik membantah supaya isi hati tak terpendam seorang diri?
Tap... Tap... Tap...
Mansion megah yang memilikk lift di dalamnya. Entah mau dibawa ke lantai berapa sampai harus menggunakan lift.
Cecil hanya diam dan menerima hukumannya. Malah dia merasa tidak keberatan karena selama dikurung, dia tidak akan bertemu dengan Estian.
"Maaf, Nyonya! Silahkan masuk tanpa membuat saya berbuat kasar," ujar Sean lirih.
"Baiklah!"
***
Lewis mendorong kursi roda Estian. Estian hanya ingin dibantu Lewis, tidak menerima bantuan yang lain. Mungkin saja karena Lewis orang yang selalu setia padanya selama ini.
"Tuan, apa tidak keterlaluan mengurung Nyonya?" tanya Lewis sesopan mungkin.
Sayangnya, pertanyaan itu mendapatkan lirikan mata yang menusuk sampai sum-sum. Seolah-olah tatapan itu sudah menjadi sebuah jawaban kalau dia harus diam.
"Urusi saja pekerjaanmu!"
***
Apa dia adalah Rapunzel didunia nyata? Terkurung di dalam gedung paling tinggi. Sendirian tanpa bisa melakukan sesuatu dengan bebas,
Tidak ada suara, tidak ada pijakan kaki. Hanya terdengar gemuruh angin yang kencang ketika jendela terbuka. Atau suara angin yang lembut, datang untuk membelai kulitnya ketika berada di balkon.
"Dipermainkan oleh takdir, atau aku yang tidak tahu caranya merubah nasib?"
***
Sudah 7 hari. Benar. 7 hari lamanya cecil terkurung. Tidak ada ponsel, tidak ada apapun di dalam kamar.
Entah bagaimana dengan kuliahnya, entah bagaimana dengan aktifitas yang lain. Pasrah dan tidak membantah. Semua dijalani dengan suka hati. Lelah, ingin rasanya hati menjerit. Semua terlalu sakit, menumpuk pada pundi-pundi hati.
Estian berada tepat diluar pintu. Selama 7 hari, ini adalah yang pertama kali Estian muncul, menampakkan wajahnya yang arrogant.
Kriettt...
Pintu terbuka. Cecil tidak menoleh dan hanya fokus membaca buku. Dia seperti tahu siapa yang akan datang.
"Ganti pakaianmu dan ikut aku!" ujar Estian tanpa basa-basi.
"Apa saya memiliki hak untuk menolak?" sahut Cecil tak kalah ketus.
"Kau berhak menolak. Tentu saja kau akan malu untuk keluar dengan pria cacat sepertiku."
Cecil langsung mengambil bag Yang diberikan Estian padanya, lalu mengganti pakaiannya dan bersiap. Kelemahannya adalah tidak tega. Hatinya tergunjang mendengar menuturan Estian.
30 menit menit, Estian berdiam diri menunggu Cecil tanpa membuatnya terburu-buru. Membiarkan Cecil memanjakan diri sendiri di depan cermin.
Setelah Cecil selesai bersiap. Rambut tergerai dengan poni yang tersingkap. Menampakkan betapa manisnya wajah Cecil.
'Cantik!' batin Estian.
Hanya itu yang terbesit dibenak Estian setelah melihat Cecil berdiri di depannya.
"Tenang saja. Anda tidak perlu mencurigai saya. Saya tidak akan mendorong Anda dengan asal atau membuat Anda terjungkal di tangga," jelas Cecil.
"Apakah itu sebuah rencana yang belum terencana kan?" sahut Estian.
"Anggap saja begitu. Mudah, bukan?"
"Bagaimana? Apa kau sudah menyadari kesalahanmu?"
"Anda juga memiliki kesalahan. Kenapa Anda tidak mengurung diri untuk merenung?"
"Kesalahan? Apa kesalahanku?"
"Kesalahan Anda hanya satu."
"Apa?" tanya Estian.
"Merasa paling benar!"
***
"Abigail, kenapa kau seperti menghindariku?" tanya Renata setelah bertemu dengan Abigail.
"Aku sibuk!" jawabnya singkat.
"Kita jarang bertemu. Aku tidak ingin merusak moment kita malam ini tapi aku benar-benar ingin tahu, alasan yang sejujurnya."
"Karena kau berbohong!" jawab Abigail.
"Bohong?"
"Kau mengatakan kalau Cecil mengkhianatiku. Sekarang terbukti kalau aku yang mengkhianatinya."
"Kau masih mencintainya? Kau sebenarnya tidak pernah mencintaiku? Apa itu penjelasan yang berusaha kau katakan?" kata Renata.
"Nat, aku..."
"Dia sudah menikah!"
"Aku tahu. Bukankah aku yang mendorongnya dengan sangat kasar waktu itu? Mengusirnya tanpa perasaan."
"Kau menyesalinya? Kau ingin kembali mengejarnya dan meninggalkanku?" tanya Renata.
"Aku..."
"Dia tidak akan pernah menerimamu!"
"Kenapa?" tanya Abigail.
"Karena aku sudah membuat kau sangat menjijikan dimatanya!"
***
Pria kaya, tampan, hanya saja kakinya lumpuh. Nilai sempurna dengan kekurangan yang nyata.
"Di sini?" tanya Cecil.
"Iya!"
Lewis menunggu di mobil. Cecil dan Estian masuk berdua. Di mata Lewis, pemandangan dari belakang yang mengagumkan. Akur dan sempurna.
"Untuk apa kita datang ke tempat sebesar ini?"
"Makan!" jawab Estian sesingkat mungkin.
"No 112!"
"Di mana?"
"Privat room!"
Dunia orang kaya yang sama sekali tidak masuk dalam logika Cecil. Hanya untuk makan malam saja, harus menyewa ruangan khusus.
"Di sini?" tanya Cecil.
"Benar sekali. 100 untuk Istriku!"
Entah sadar atau tidak. Sebutan Istri dari Estian membuat wajah Cecil memerah. Seperti ada harapan baru yang akan muncul.
'Tidak boleh! Duniaku dan dia sangat berbeda,' batin Cecil.
"Kenapa diam? Ayo duduk!"
"Ah, iya."
Cecil duduk, lalu Estian memberikan buku menu. Mata Cecil terbelalak setelah mengetahui harga makanan disetiap porsinya.
"Pesan saja!"
Tangan Cecil gemetar. Dia teringat hal yang menimbulkan trauma berat dalam hatinya.
'Sejak kejadian malam itu, aku tidak bisa menelan makanan apapun. Teringat betapa menjijikannya orang itu menciumku, menodaiku. Air liur masuk ke dalam tenggorokanku. Jijik. Sangat nenjijikkan!' batin Cecil.
Tanpa sadar tangan Cecil meremas buku menu yang ada di tangannya. Pandangannya kosong, dipenuhi oleh kebencian.
"Hei, kau kenapa?" Suara Estian terdengar bergitu halus ditelinga.
Cecil mendongak. Tersadar dari kenangan buruk. Estian menyentuh tangan Cecil yang gemetar tapi Cecil langsung menariknya begitu saja.
"Jangan sentuh!" ujar Cecil secepat kilat.
"Kau baik-baik saja?"
"Kau sedang mengkhawatirkanmu?" tanya Cecil.
"Aku mengajakmu ke sini untuk makan karena aku lihat kau hanya menyentuh sendikit makanan setiap hari," jelas Estian.
Suaranya terdengar lembut. Harusnya Cecil senang. Tapi kenyataannya, dia malah merasa takut. Takut suatu hari nanti Estian akan tahu kenyataan kalah dirinya menikahi wanita yang tidak lagi suci.
"Tolong, jangan bersikap baik pada saya," pinta Cecil.
"Kenapa? Ada yang salah?"
"Bukan."
"Lalu?"
"Jangan baik pada saya karena saya tidak tahu, seberapa lemahnya hati untuk mencintai."