Bibirnya terkunci, matanya menatap Estian dengan sendu. Dadanya berdenyut seperti ada yang sesuatu yang menusuk.
Cecillia berjongkok dan memungut makanan yang sudah tumpah berserakan dan menyatu dengan lantai. Matanya sudah berkaca-kaca tapi sebisa mungkin, bibirnya tetap tersenyum.
Rasanya begitu sakit. Kecewa, terkejut, harapan baru seakan patah sebelum bertunas. Terpangkas habis oleh kenyataan yang membuatnya hampir merasakan berhentinya waktu meski sesaat.
Makanan itu benar-benar masih panas dan berasap. Ketika makanan itu diberikan untuk Estian, Estian menepisnya sampai makanan itu terjatuh dan kuahnya mengenai lengan Cecil.
Apakah Cecil marah? Tidak. Setelah selesai memungutnya, Cecil beranjak kembali berdiri di hadapan Estian. Tangannya menghapus airmatanya yang tak mampu lagi dia bendung. Bibirnya tetap tersenyum pada Estian meski luka yang tertoreh sangatlah dalam.
Malu, kecewa, sakit, sadis, terluka, semua tertelan di dalam detik yang sama. Estian hanya diam membisu melihat Cecil yang tidak membalas perbuatannya dengan memaki atau memukulnya yang sudah tidak menghargai kerja kerasnya.
"Tuan Estian, Anda boleh menolaknya dengan cara baik-baik. Anda tidak perlu mengusir saya dengan cara yang paling memalukan. Benar! Mungkin saya akan bernasib sama dengan makanan ini. Terlempar dan terbuang!"
Cecil membawa kekecewaan yang dalam. Dia berbalik membelakangi Estian. Tangannya menyeka airmata luka yang keluar lalu kakinya melangkah dengan langkah pasti.
Cecil menghentikan langkahnya lalu membuang makanan yang dia bawa ke dalam tempat sampah yang dia lewati.
"Tuan, Anda..."
Bibir Lewis langsung bungkam setelah Estian meliriknya dengan tatapan tajam. Estian hanya menatap Cecil yang menampakkan punggungnya.
"Apa yang sedang kalian tonton? Kembali bekerja atau saya akan memecat kalian semua!" teriak Estian.
"Tuan, mari kita kembali!" ucap Lewis.
"Minta petugas untuk mengambil dan membersihkan tempat makan yang wanita itu buang!"
"Tuan, kalau Anda..."
"Jangan terlalu banyak berfikir! Wanita itu menggunakan tempat bekal yang ada di rumah saya. Bukan karena hal lain!" elaknya.
"Baiklah, Tuan!"
***
Cecil memanggil taxi lalu masuk ke dalam. Cecil menangis sejadi-jadinya sampai sesenggukan. Taxi berjalan entah ke arah mana. Kondisi Cecil yang tidak bisa ditanya tentang tujuannya, membuat supir taxi berkeliling tanpa arah.
Hiks... Hiks... Hiks...
'Ternyata, sakitnya seperti ini,' batin Cecil.
Setelah 30 menit menangis, akhirnya Cecil sadar kalau dirinya belum menyebutkan tempat tujuan.
"Tuan, antarkan saya ke taman dekat sini," pinta Cecil.
"Baik, Nona!"
Setelah beberapa menit, akhirnya Cecil pergi ke taman terdekat setelah membayar taxi.
Langkahnya tak seyakin saat menghindari Estian. Langkahnya goyah dan kakinya sudah mulai lemas. Cecil duduk di salah satu kursi yang ada di taman. Di bawah pohon besar yang rindang, Cecil kembali melanjutkan tangisnya.
Entahlah. Jiwanya menjadi semakin rapuh. Terluka, tertindas, seharusnya sudah biasa baginya tapi perasaannya kali ini berbeda. Sakitnya tidak bisa di ungkapkan dengan kata-kata.
"Apa aku bisa membuatmu mencintaiku yang kotor ini?" gumam Cecil.
"Cecil!"
Dia menoleh ke arah sumber suara yang menyebut namanya. Cecil buru-buru menyeka airmatanya sebelum orang yang ada di depannya mengetahui hal itu.
"Senior!" balas Cecil.
"Apa kau menangis?"
"Tidak!" jawab Cecil sembari menepis tangan yang hendak menyentuh pipinya.
"Maaf!" ucapnya sembari duduk. "Kenapa kau sendirian? Bukankah kau sudah menikah?" imbuhnya.
"Senior Cha, tentu saja Suamiku sedang bekerja," jawab Cecil.
"Kau sedang menutupi sesuatu dariku?" tanya Cha tak percaya.
"Menyembunyikan sesuatu? Tidak ada kok. Senior terlalu banyak berfikir."
"Aku harus kembali. Sampai ketemu lusa ya!"
***
Estian tidak peduli dengan seberapa banyak berkas yang harus ditandatanginya. Document penting dibiarkan begitu saja.
Estian terbayang-bayang dengan ekspresi Cecil. Mata yang memerah, linangan airmata yang mengalir deras, tapi bibirnya tetap tersenyum. Wajah sendu yang menyembunyikan betapa terluka hatinya.
'Apa aku sudah keterlaluan? Aku tidak sengaja menumpahkannya. Apa lengannya baik-baik saja? Aku sempat melihat lengannya merah dan itu rasanya pasti panas sekali,' batin Estian.
"Tuan, apa documentnya sudah selesai?" tanya Estian.
"Coba hubungi Bibi Pril. Apa wanita itu sudah sampai di rumah," pinta Estian.
Setelah beberpa saat, Lewis menggelengkan kepalanya sebagai tanda jawaban dari Bibi Pril.
"Ayo kita pergi!" ajak Estian.
"Kemana, Tuan?"
"Mencari wanita itu. Dasar merepotkan!" gerutu Estian.
'Pfffftttt... Peduli tapi masih saja gengsi,' batin Lewis.
Lewis membawa Estian memutari kota untuk mencari Cecil. Ekspresi khawatir Estian begitu terlihat meskipun terus saja mengelak.
"Kita sudah 20 menit hanya memutari jalan ini tapi tidak juga menemukan wanita itu," gerutu Estian setelah sadar.
"Sebenarnya, Nyonya muda ada di taman. Kita sudah mengelilinginya 4 kali," jawab Lewis santai.
"Apa kau ingin turun dari pangkatmu? Kenapa kau mengajakku untuk berkeliling seperti orang bodoh?" kesalnya.
"Tuan, Anda meminta untuk mencari Nyonya tapi Anda tidak mengatakan kalau kita harus menemuinya. Anda sangat membenci Nyonya jadi saya mengajak berkeliling sampai Anda sadar kalau Nyonya ada di taman," jelas Lewis.
"Sudah pandai bicara, ya?"
"Maaf, Tuan. Apa kita harus menghampiri Nyonya?"
"Iya tapi kau saja yang turun. Aku tidak sudi untuk berbicara dengannya."
Lewis putar arah dan mobilnya berbelok ke taman. Benar saja, Estian tidak menghampiri Cecil bahkan kata maaf saja tidak sudi untuk terucap.
Lewis berhasil membawa Cecil bersamanya. Sayangnya, ketika Cecil menyadari Estian ada di dalam mobil. Cecil kemudian mengurungkan niatnya untuk duduk di bagian belakang.
"Tuan Lewis, bolehkah saya duduk di depan?" pinta Cecil.
"Tapi..."
"Saya mohon!" ucap Cecil memelas.
Rasa sakitnya sama sekali belum terobati. Ibaratkan sebuah kulit yang teriris dan menampakkan dagingnya yang masih menganga.
Estian membuka jendela mobil dan memperlihatkan wajah sombongnya yang begitu dingin. Tatapannya seperti sebuah perintah yang tidak bisa Cecil bantah.
"Masuk! Jangan membuatku bicara dua kali!" ucap Estian,
"Maaf! Saya akan naik taxi!" jawab Cecil kesal.
'Kalau tidak minta maaf, tidak masalah tapi kenapa harus memperlakukanku dengan kejam seperti ini?' batin Cecil.
"Cecil! Jangan membuatku bicara lagi!" bentak Estian.
BRAKKK!
Cecil masuk dan menutup pintu dengan keras sehingga menimbulkan suara yang lumayan mengejutkan.
"Siapa yang memintamu untuk duduk di depan? Keluar dan duduklah di sini!" teriak Estian.
"Maaf, Tuan! Kursi belakang khusus untuk majikan. Saya hanyalah orang luar jadi saya rasa tidak pantas untuk duduk di dekat Anda!" jawab Cecil.
Lewis hanya bisa menjadi penonton karena harus berada ditengah-tengah pasangan yang sedang bertengkar.
"Bukankah kau memang Istriku?"
"Saya? Tidak ada seorang Suami yang akan memperlakukan Istrinya dengan sangat tidak berperasaan," sahut Cecil.
"Ada Suami yang seperti itu," ucap Estian.
"Orang gila mana yang bersikap seperti itu?" sindir Cecil.
"Aku!" ucap Estian mengakui.
"Apa?"
"Aku adalah Suami yang kau sebut gila!"