Ternyata susah lepas dari kejaran Dani. Mobil Dani masih mengekor di belakang. Berkali-kali Dani membunyikan tuter agar mobil Steve menepi. Steve tak menggubrisnya. Sementara aku menangis, dadaku sesak mengingat semua caci maki Dani.
"Why are you crying? What Dani did to you, Kania?" tanya Steve.
Steve menyodorkan kotak tisu, membiarkan aku menangis. Ketika berhenti di lampu merah, Steve merengkuhku dalam pelukannya.
"That's ok, Kania. Nangis aja kalau itu buat kamu lega," kata Steve lalu mencium keningku.
Sambil berusaha meredakan tangisku, sesekali kulirik kaca spion. Mobil Dani masih mengikuti di belakang. Gawaiku bergetar, panggilan masuk yang kedua puluh dari Dani. Steve melirik gawaiku, lalu melihat ke arahku.
"It's getting worse, Steve," kataku.
"Maybe you need to talk to Dani, Honey," balas Steve.
"Not today. I don't want to talk to him now," kataku.
Steve menyalakan lampu sein ke kiri. Mobil memasuki tempat hangout. Sebuah resto di dataran tinggi. Bagian kanan dan kiri adalah hamparan kebun kopi. Tempat favorit Steve kalau sedang bosan dengan suasana kantor. Saat Steve menjadi bos, beberapa kali meeting kantor pindah di sini. Menyewa ruangan meeting yang disediakan agar anak kantor menikmati suasana berbeda.
Steve baru saja mematikan mesin mobil. Dani sudah berdiri di samping mobil, menunggu kesempatan bicara. Baru saja kaki kiriku turun dari mobil, Dani mendekat.
"Kania, maafkan aku," kata Dani, mengulang perkataan di apartemen.
"Beri aku sedikit ruang, Dani. Mungkin nanti setelah tenang, kita bicara lagi. Maaf, Steve menungguku."
Aku berlalu dari hadapan Dani, berjalan mendekati Steve. Terserah apa anggapan Dani.
"You still love me, Kania. Don't fool Steve!" Dani berteriak.
Steve yang tadinya tenang, menoleh ke arah Dani. Kakinya mulai melangkah mendekati Dani hingga mereka saling berhadapan.
"Honey ... Honey .., please ignore him," kataku dengan nada khawatir. Kutarik tangan Steve.
"Sst ... Kania," balas Steve memberi isyarat padaku untuk diam.
Mereka berdua berdiri dalam jarak yang sangat dekat. Pandangan Steve dingin. Dari semua Steve yang kukenal, aku paling takut dengan Steve yang seperti ini.
"Well Dani, you are right, but Kania never fooled me." Steve mulai berkata dengan suara seraknya. Nada bicara dan tatapan yang dingin, seperti siap menghajar Dani.
"Aku bersedia menunggu Kania, Dani. Hingga dia mencintaiku sebesar cinta yang diberikan padamu. Karena pada saat itu, aku tak perlu takut pada siapa pun yang berdiri sebagai pesaingku," kata Steve. Wajahnya semakin mendekat ke arah Dani.
"If i were you, i would never make Kania cry. That's stupid!" Steve berkata sambil mengatupkan gigi depannya.
"Kamu yakin mau nunggu Kania, Steve? Nggak belajar dari kasusku? Bagi Kania, kita ini cuma pilihan. An option, not a priority, Steve." Dani tertawa mengejek.
Steve membalas ejekan Dani. Senyum ala mafia tersungging di bibir tipisnya.
"Thanks for remind me. I'm pretty sure. I know what I do, Dani." Tangan Steve menepuk-nepuk bahu Dani seperti seorang kakak tapi matanya menatap Dani, dingin dan tajam.
"Kania .., ayo kita cari udara segar," kata Steve kemudian.
***
Steve memilih tempat duduk di taman. Langit cerah di malam itu. Duduk di taman adalah pilihan yang tepat. Beberapa lampu gantung dengan sinar temaramnya menambah kesan romantis.
"Kamu mau pesan apa, Honey?" tanyaku.
Sebuah buku menu lengkap dengan gambar aneka makanan dan minuman.
"Terserah, tolong pilihkan menu buatku, Honey," jawab Steve.
Mood Om bule masih terjun bebas. Kalau sudah begini, aku harus memesankan Steve menu favoritnya. Ikan pihi bakar dan jus buah pir.
Mata Om bule tertuju ke layar monitor. Aku tak berani mengganggunya. Lebih baik aku menikmati suasana yang ada. Kuedarkan pandangan untuk melihat sekeliling dan mataku tertuju pada sosok makhluk tampan yang berdiri di dekat meja seberang. Makhluk itu juga sedang tersenyum melihat ke arahku.
'Itukan si Richard, kakak kelasku di SMU. Bukannya dia ada di Singapura. Eh, apa sudah balik ke sini ya? Lagian kok dia pakai seragam resto? Kabar terakhir dia jadi model.' Aku bicara sendiri dalam hati.
Rich berjalan mendekat ke mejaku. Aku berdiri dari kursi, Steve menoleh padaku.
"Maaf, kamu Kania Wisnu Brata kan? Adik kelasku?" tanya Rich.
"Iya, apa kabar, Rich?" balasku sambil mengajak bersalaman.
"Baik. By the way, orderannya sudah diproses belum?" tanya Rich dengan senyum yang menawan.
"Belum. Baru aja selesai kutulis," jawabku.
"Sini biar sekalian aku bawa, biar diproses, nanti kita ngobrol lagi ya, " kata Rich.
"Thank's Rich," jawabku sambil tersenyum.
Richard berlalu, aku kembali mendaratkan pantat ke kursi tanpa sadar Om bule menatapku dari tadi.
"Jadi aku nggak dikenalin nih?" protes Steve.
"Lah mau dikenalin sesama jenis? Selera udah mulai belok ya?" godaku.
Steve mengacak rambutku sambil tertawa senang. Dasar Om bule, sukanya bikin berantakan.
"Who is he? Handsome ya seperti Dani." Mata Steve menatapku.
"Seniors when i was in high school. Ya jelas ganteng, model gitu loh," balasku
"Oh. Model majalah?" tanya Steve.
"Model pria dewasa gitu deh. Tuh fotonya banyak beredar di internet," jawabku.
"Mana?" tanya Steve penasaran.
"Sebentar ...."
Jariku mulai mengetikkan sebuah nama dan muncullah beberapa foto Richard.
"Nih, siapa tahu nanti malem butuh," godaku sambil menyodorkan gawai pada Steve.
Steve tergelak, "I'm not gay, Kania. Masih doyan cewek."
Ish, jadi gemes sama Om bule. Aksennya itu loh, lucu.
Tak lama kemudian pesanan datang. Steve tersenyum melihat ikan pihi bakar tergolek di piring besar, siap disantap.
"My mood booster. Thanks, Honey." Steve mencium pipiku.
Om bule makan dengan lahap, lupa kalau tadi habis marah. Beberapa kali Steve menyuap nasi ke mulutku.
"Udah ah kenyang," kataku.
"Kamu makan cuma sedikit, Honey. Satu suap lagi ya," bujuk Steve.
Aku menggeleng.
"Aku bayar dulu ya, biar gak kelamaan," ucapku.
"Dompet ada di tas. Kamu ambil sendiri uangnya." Steve menyodorkan tas dengan tangan kirinya.
Aku tahu Steve mengawasiku saat berjalan ke kasir. Padahal yang jaga kasir bukan Rich. Namun, saat aku hendak membayar tagihan di kasir, Rich muncul dari balik pintu kaca gelap bertuliskan 'office.'
"Mas, dia tamu saya, tolong masukkin ke bill saya ya," kata Rich.
"Siap, Bos."
Rich tersenyum, "Anggap aja ini traktiran dariku."
"Beneran nih? Makasih ya, sering-sering aja," jawabku sambil bercanda.
"Eh by the way, boleh minta nomor hp nggak? Nanti biar gampang kalau ada penawaran diskon." kata Rich.
"Oh boleh," jawabku.
Aku menyebutkan sederet angka.
"Makasih, Kania. Itu yang bule, suami kamu ya?" tanya Rich.
"Aku belum nikah, Rich. Itu Steve, pacarku. Udah dulu ya, Steve nungguin. Makasih ya traktirannya," kataku.
Rich mengangguk dan tersenyum.
***
Malam itu sebelum aku terlelap, sebuah pesan masuk di gawai.
'Kania udah tidur? Met istirahat, makasih ya udah mampir. By the way, alamat kantor kamu di mana sih? Mau promosiin usaha, boleh kan?' dari Rich.
Segera kuketik alamat kantor sebagai balasan. Sebentar kemudian, sebuah ajakan video call dari Rich masuk.
"Kania, met tidur. Have a nice dream," ucap Rich.
Sebuah background tempat tidur Rich dengan sprei putih dan beberapa bantal terlihat. Kepala Rich bersandar di bantal yang empuk dengan selimut putih yang menutup setinggi dada.
Aku mengangguk.
"Met istirahat, Rich. Aku ngantuk banget, udah ya," balasku setengah sadar. Mataku sudah enggan terbuka lebih lama. Lalu sambungan terputus.
Aku yang sudah mengantuk segera terbang ke alam mimpi tanpa sempat berpikir apa arti ucapan manis selamat tidur dari Rich di atas kasurnya.