Aku mencari tempat duduk di tepi lapangan. Duduk setenang mungkin, menikmati arena gladiator yang sebentar lagi berpindah ke lapangan.
Bermula dari Steve yang mendorong Dani dengan keras. Dasar Om bule, sumbu pendek. Dani tak tinggal diam diperlakukan seperti itu. Aku sangat mengenal Dani, dia pasti akan memberi perlawanan sengit pada Steve.
"Get up, Dani! Kick him!" Aku berteriak dari pinggir lapangan memberi semangat pada yang Dani tersungkur. Dani bangkit, mulai menghajar Steve.
Jari-jari tanganku mulai melepas tali sepatu. Saatnya menggila bersama para pria konyol yang tak sadar berapa umur mereka. Melepas kemeja, menyisakan tank top untuk menutup tubuhku. Rambut basah yang terurai. Rok yang sengaja kulipat naik beberapa senti di atas lutut.
"Come on, Steve! Show him your uppercut!" Saatnya memberi motivasi pada Om bule. Steve mulai merasakan bahwa Dani lawan yang sebanding. Dani baru saja membantingnya. Pasti badan Steve merasakan pegal.
Steve bangun dengan susah payah. "That's my boyfriend, everybody! Yes, do your best, Honey!" Aku berteriak bak pemandu sorak di pinggir lapangan. Tak kupikirkan beberapa pasang mata penonton yang memandangku dengan tatapan, "What makes you crazy?"
Steve versus Dani, mereka ditonton oleh beberapa orang yang kebetulan lewat. Kebanyakan para wanita. Kapan lagi mereka melihat para pria tampan dengan otak korslet dan seorang perempuan muda yang penampilannya lebih mirip penari bar.
Mereka masih saling baku hantam. Entah sampai kapan. Terserah. Aku berjalan menuju mobil, dan merobek kardus di bagasi mobil Steve. Dengan modal spidol di tas, kutulis 'Round 2' lalu berlari ke tengah lapangan. Kebetulan mereka berdua sedang terengah-engah mengambil napas.
Dengan lincah aku berputar mengelilingi mereka, berjalan seperti para gadis di arena tinju dan mengangkat papan kardus bertuliskan 'Round2'. Sedikit gerakan menari yang membuat para penonton makin heboh.
Aku menoleh ke arah Dani, ada darah di sudut bibirnya, di atas alis. Kondisi Steve kurang lebih sama. Sementara suara penonton di pinggir lapangan makin ramai.
"Come on gentlemen! Don't make them wait!" teriakku.
Mereka masih sibuk mengatur napas masing-masing. Aku menunggu reaksi selanjutnya sambil berdoa di dalam hati agar mereka segera sadar dengan kegilaan ini.
Steve terduduk di lapangan sambil mulai tertawa. Ya, Steve sedang menertawakan diri sendiri. Melihat reaksi Steve, Dani mendatanginya. Dani mengulurkan tangan pada Steve sambil tersenyum. Steve menyambutnya kemudian mereka berdua berpelukan.
"I'm sorry," kata Steve.
Dani mengangguk-angguk. Akhirnya sadar juga mereka.
Aku menyelinap secepat mungkin ke dalam mobil, memakai kemeja, dan tentu saja membetulkan posisi rok yang tadinya kulipat naik. Tali sepatuku sudah terikat rapi saat mereka mendekat.
"How do I look, Kania?" tanya Steve sambil tersenyum.
Wajahnya kacau sehabis bertengkar, darah masih terlihat di sudut bibir tipis dan alisnya.
"You look great, Honey," jawabku sambil merasa gemas dengan kelakuannya barusan.
Oh ayolah, Steve seorang pria dewasa berumur 38 tahun, sedangkan Dani 31 tahun, lihat yang baru saja terjadi. Mereka bertarung seperti anak berusia belasan tahun. Walaupun akhirnya mereka berdua berbaikan setelah lelah saling menghajar. Aku jadi tak habis pikir dengan isi kepala mereka.
"How does it feel to be a child, Gentlemen?" tanyaku
"Fun," jawab Dani tersenyum puas
"Yeah ... never been better," jawab Steve senang.
"Get in the car, Guys," kataku sambil melompat di balik kemudi dan kembali ke kantor.
Tisu dan kotak P3K sudah kusiapkan. Aku menyetir dan mereka sibuk mengobati luka masing-masing. Baik Steve maupun Dani, mereka sama-sama mengerang ketika membersihkan lukanya.
Hari sudah sore saat kami sampai di kantor. Beberapa anak yang berpapasan dengan kami di lift, memandang dengan penuh tanda tanya.
Pintu kantor terbuka. Beck berdiri di sana, melihat penampilan kami bertiga yang kacau. Seperti biasa Beck berkomentar, "Wah, abis main basah-basahan. Asyik ya, main bertiga?"
"Besok kamu ambil SP satu di ruangan saya ya, Beck. Gosip terus," kata Dani tiba-tiba.
Aku dan Steve tertawa.
"Ah elah, jangan dong Bos," kata Beck.
Setelah itu Beck tak lagi berani berkomentar.
Aku bergegas membereskan meja kerja. Lalu hendak pulang. Saat itu aku melihat Maya masuk ke ruangan Dani. Nampaknya mobil untuk Dani sudah ada di basement. Berarti nanti saat pulang, Dani sudah bisa setir mobil sendiri.
Aku dan Steve berpamitan pada Dani. Beberapa kata dalam bahasa Jerman yang dilontarkan Steve pada Dani, membuat mereka berdua tergelak. Wah, chemistry bromance antara Steve dan Dani memang susah dimengerti. Biarlah, yang penting mereka berdua tak lagi saling hajar.
***
Kita batal nonton. Steve akan sibuk dengan pekerjaan barunya. Om bule mengantarku pulang ke rumah, hanya mampir sebentar. Sebelum jam tujuh malam, Steve kembali ke apartemen, besok pagi dia akan meninjau kantor baru, sebelum hari Rabu resmi bekerja. Bahkan besok Steve tidak bisa mengantar jemput.
Hari ini sangat melelahkan. Kecelakaan itu, pertengkaran Steve dan Dani, dan tentu saja perasaanku. Hingga akhirnya aku memutuskan untuk bermanja dalam pelukan Ibu. Bercerita dan mengadu pada Beliau tentang apa saja agar besok aku kembali bisa berpikir jernih.
"Dani ada di sini, Bu," kataku, membuka percakapan tentang Dani.
"Oh ...." Kata yang terlontar dari Ibu. Namun Beliau mengubah posisi duduknya.
Ibuku sangat menyayangi Dani. Memang, Beliau pernah marah besar padaku dan Dani ketika tahu kami tinggal satu atap di Dortmund tanpa menikah. Namun ketika Beliau tahu aku minggat dari Dani dua belas hari menuju pernikahan, Ibu mulai sadar bahwa biang dari masalah ini adalah aku, putri tunggalnya, bukan Dani.
"Kania, apa kamu masih cinta sama Dani?" tanya Ibu di tengah pembicaraan kami. Aku menunduk. Tangan Ibu mengangkat daguku, memandang ke dalam mataku.
"Katakan Kania, jujur sama Ibu," tutur Ibu lembut.
"Nggak tahu, Bu. Apa yang kulakukan di Dortmund itu bisa disebut cinta? Aku sangat menghormati Dani. Dia baik, aku yang terlalu egois, belum bisa menerima kekurangannya," jawabku.
"Dani itu laki-laki yang hebat, Kania. Butuh wanita yang hebat pula untuk mendampinginya. Wanita yang sanggup menerima kekurangannya." Ibu tersenyum.
"Dan wanita itu bukan aku. Entahlah, Bu. Aku sudah bersama Steve sekarang," kataku.
Begitu banyak yang kuceritakan pada Ibu hingga aku memilih tidur di sofabed. Sudah malam, malas untuk pindah tidur di kamar.
***
Udara pagi yang dingin menyapa kulitku. Segera kurapatkan selimut pemberian Ibu semalam. Aku masih mengantuk. Sayup-sayup kudengar suara orang bercakap-cakap di ruang tamu. Mungkin aku bermimpi. Bahkan aku sekarang berani memimpikan Dani sedang bercakap-cakap dengan Ibu di ruang tamu.
Ada yang menyentuh tanganku, lalu menciumnya. Steve datang terlalu pagi untuk membangunkanku. Ah senangnya.
"Give me another 5 minutes, Steve. Still sleepy, Honey," kataku sambil menggeliat.
"Aku Dani, Kania. Bukan pacar bulemu itu!"
Hah! Aku segera membuka mata. Wajah Dani ada di depanku. Kulirik jam di dinding, masih jam setengah 6 pagi.
"Kamu ngapain Dani?" tanyaku.
"Mandi dulu, Love. Aku mau masak nasi goreng kesukaanmu. Kita makan bareng," jawab Dani.
Aku duduk di sofa sambil memandangi Dani sekaligus memastikan bahwa dia nyata.
"Kamu nggak kapok kemarin habis dihajar Steve?"
Dani tertawa. Dengan gayanya yang tenang, ia mengambil gawai, mencari sebuah kontak, menekan tombol video.
"Morning, Steve. Let's guess where I am." Dani mengarahkan kamera gawai ke wajahku sesaat.
Di seberang sana, aku mendengar teriakan Steve, "You really are a jerk sometimes, Dani!"
"You're right, but that's me." Suara Dani santai menanggapi teriakan Steve. Mereka berdua kemudian tertawa.
"Udah lihat kan, aku berani terang-terangan, Love," kata Dani.
Terserah, aku mau mandi. Bromance Dani dan Steve memang aneh, menurutku.