Memasuki ruang kantor, berjalan beriringan bersama bos. Beberapa pasang mata melihat ke arah kami. Biarlah, terserah mereka mau berpendapat apa. Aku dan Dani memang berangkat bersama. Sama sepertiku, Dani terlihat masa bodoh dengan pandangan mata yang tertuju ke arah kami.
Baru saja tanganku menekan tombol untuk menghidupkan komputer. Beck berjalan mendekat ke arahku.
"Buka email deh, cepetan!" kata Beck.
Aku buka email lewat gawai, karena terlalu lama menunggu komputer.
"Email apa sih?" tanyaku.
"Ah elah, baca dulu. Baru nanya," jawab Beck.
Aku membacanya dan setengah tak percaya. Hasil tes di Bali sudah keluar. Di sana tertera namaku sebagai salah satu peserta yang memiliki nilai tertinggi. Minggu depan aku harus berangkat ke Singapore mengikuti tes selanjutnya.
"Kok bisa namaku sih?" tanyaku pada Beck.
"Ya mana kutahu. Eh, selamat ya, jangan lupa traktir. Wah, kayaknya peluang kamu ngikutin jejak Steve makin terbuka lebar nih," kata Beck.
"Cie Kania, bagi-bagi dong pinternya," goda Maya.
Pagi itu dipenuhi ucapan selamat dari anak satu divisi. Senang? Oh iya, jelas dong. Aku tersenyum lebar, nggak percuma hampir tiap hari mendengarkan pidato Om bule tentang sistem, biarpun sambil teriak. Jadi kangen Om bule.
'Ayo kerja, Kania. Jangan mikirin Steve dulu.Cari duit, buat modal nikah,' bujukku pada diri sendiri.
Siang menjelang, aku baru melihat sosok Dion memasuki ruangan dan menghampiriku.
"Kania, selamat ya," kata Dion.
"Thanks, Ion. Kok baru kelihatan?" tanyaku.
"Abis meeting sama mantanmu," bisik Dion lirih sambil tersenyum.
"Ish, Dion!" jeritku sambil tertawa.
Dani keluar dari ruangan dan menghampiriku. Seperti biasa, semua mata memandang ke arah kami. Dani tersenyum sambil mengulurkan tangan padaku memberi selamat.
"Permulaan yang bagus, Kania. Selamat ya," kata Dani.
"Terima kasih, Pak Dani," jawabku.
Ih, rasanya canggung memanggil Dani dengan sebutan Pak.
"Makan-makan dong!" Teriak Beck dari meja kerjanya.
Duh, gawat aku ditodong anak satu divisi.
"Guys, aku lagi nggak ada duit. Tagihan mobilku aja belum keluar. Takut nggak bisa bayar," jawabku mengiba.
"Minta Steve dong ah! Tinggal telepon Yayang," Beck makin menjadi.
Saat Beck menyebut kata Steve, wajah Dani sempat berubah agak mendung.
"Eh Steve udah tahu berita ini belum sih?" tanya Dani.
Aku menggeleng.
"Ih, bilang dong Kania! Ini pencapaian besar loh," ucap Dion.
"Iya ntar aku bilang. Jangan nodong Steve dong, malu-maluin. Nikah juga belum. Masak iya dimintain duit!" jawabku.
"Pada mau makan di mana?" tanya Dani.
Aku menatap Dani. Ruangan menjadi gaduh. Berbagai usulan tempat makan bermunculan. Hingga akhirnya dipilih suara terbanyak.
"Ok, jam istirahat kita kesana ya," kata Dani lalu ia kembali ke ruangannya.
"Hidup bos Dani!" seru Beck.
Aku segera menyusul Dani ke ruangan.
"Bos, serius nih kita makan-makan?" tanyaku.
Dani mengangguk.
"Sejak kapan aku nggak serius kalau itu menyangkut kamu?"
Hatiku berdesir. Aduh gimana ini, kok Dani bilang gitu ya? Serba salah jadinya.
'Ih, siapa sih aku, kok tiba-tiba merasa istimewa,' hati kecilku berkata.
"Anggap saja ini hadiah dari aku, Kania. Aku bangga loh sama pencapaian kamu," kata Dani sambil tersenyum.
Duh, ampun deh si Dani masih aja terus usaha mendekatiku.
"Terima kasih, Pak," ucapku walau canggung.
Masak iya aku harus panggil Dani dengan sebutan Love. Bisa dipecat jadi pacar Om bule.
Aku beranjak ke luar dari ruang Dani. Tak sengaja menabrak Maya hingga beberapa dokumen di tangannya berjatuhan, segera kupunguti sambil meminta maaf. Saat itu mataku melihat amplop besar yang bertuliskan nama salah satu rumah sakit di Dortmund.
'Kira-kira berapa lama waktu yang dimiliki Dani?' tanyaku dalam hati. Jadi sedih kalau ingat tangisan Dani tadi pagi.
Sejenak aku menoleh pada Dani, ternyata Dani juga sedang melihat ke arahku.
"Ehem, udah dong liat-liatannya," goda Maya sambil tertawa. Ternyata Maya memperhatikan aku dan Dani.
Wah ini sih sinyal harus segera kabur ke meja kerja.
Tanganku sibuk mengetik pesan buat Om bule. Aku tak berani telepon, takut Steve sedang sibuk.
[The test result was good. I will go to Singapore next week.]
Balasan dari Steve.
[Ok, see you in Singapore.]
[Kok see you in Singapore? Emang mau ke Singapore?]
[Iya, mau ajak Kania pacaran di negara orang.]
Aduhai, aku melayang. Om bule memang jagoan bikin moodku naik.
[Serius nih?]
[Reward for your hard work.]
[Anak satu divisi ngajak makan nih, tapi yang traktir Dani. Aku lagi pusing mikir tagihan mobil di bengkel.]
Aku mengadu pada Steve.
[Enak ya punya pemain cadangan. Kenapa baru bilang sekarang, Markonah?]
Waduh, Om bule manggil aku Markonah. Membuatku tertawa sendiri. Dari nadanya, Steve agak marah nih. Eh, tapi bahasa Indonesianya makin bagus, makin bisa bercanda. Sebentar kemudian gawaiku berbunyi, Om bule telepon dan ngomel.
"Kalau nggak punya uang itu bilang ke calon suami bukan ke mantan pacar!"
"Iya, maaf. Udah ah, jangan ngomel, berisik," jawabku.
"Mau lunch di mana, Honey?" tanya Steve.
"Di sebelah gedung kantor baru kamu. Tempat yang biasa itu. Ngerti kan?"
"Ya udah, ntar ketemu di sana. Bye, Honey. Love you," jawab Om bule.
Sambungan telepon terputus.
Asyik ketemu sama Steve. Baru berapa hari tanpa Steve, aku kangen. 'Sabar Kania, habis ini ketemu Steve,' bujukku pada diri sendiri. Aku kembali meneruskan pekerjaan, istirahat siang masih sekitar satu jam.
***
Jam makan siang tiba, anak-anak kantor sudah bersiap berangkat, termasuk aku. Tadinya, aku mau numpang di mobil Maya.
"Kania, kita bareng ya," kata Dani tiba-tiba.
Dion, Maya, dan Beck melihat ke arahku.
"Lah tapi aku mau ikut mobil Maya, Bos," kataku.
"Udah Kania bareng bos Dani aja," kata Beck sambil tertawa.
"Iya loh, udah ditraktir, masak bos kita yang ganteng disuruh setir sendiri," goda Dion.
"Please, Kania," kata Dani sambil tersenyum menggoda.
Ruangan menjadi heboh mendengar permintaan Dani.
"Cie ..., tuh bos Dani udah pakai kata please. Kalau aku sih yes," kata Maya.
"Aku juga yes," sahut Beck.
Bak paduan suara, satu ruangan bilang, "Yes."
Kampret! Kalau sudah begini, aku tak bisa menolak. Terpaksa deh satu mobil sama Dani dan sialnya tak ada satu anak pun yang mau numpang di mobil Dani. Duh, nanti kalau Steve lihat, aku harus beralasan apa.
Sepanjang perjalanan, Maya menggodaku lewat pesan di gawai.
[Bareng sama mantan, bisa menyebabkan balikan loh.]
[Loh, kok kamu bisa ngetik pesan, enggak nyetir?]
[Udah disetirin Babang Dion. Kania, kayaknya Dani masih cinta banget ma kamu. Gimana dong?]
[Nggak tahu ah May, aku bingung.]
[Steve apa kabar?]
[Baik, ntar dia gabung kok ama kita.]
[Oh ya? Wah bakal rame nih. Makan siang dengan aroma rebutan pacar. Cie ... yang direbutin dua babang keren.]
[Ish Maya, apaan sih. Kamu dari tadi nggodain aku terus deh.]
Aku merajuk.
[Ih, aku suka loh nggodain kamu, Steve, dan Dani. Enak nggodain kalian.]
[Kampret!]
Kupasang emoticon tertawa.
"Udah dong maih hp-nya. Nggak sopan banget sih aku didiemin, disuruh nyetir," protes Dani.
"Iya maaf," kataku.
Lima menit kemudian, Beck mengirim pesan.
[Tamat kau, Kania. Steve sudah sampai duluan. Dia barusan tanya kamu di mana. Ya kita semua jujur bilang kalau kamu diajakin satu mobil ama Dani. Steve marah kayaknya, hati-hati deh!]
Pelipisku berdenyut. Haduh musti cari alasan yang tepat ini. Dani yang ternyata memperhatikan sikapku bertanya, " Kenapa Love?"
Ih, kumat deh manggil aku pakai sebutan Love.
"Steve sudah di sana, Dani. Dia nyariin aku. Terus anak-anak bilang kalau kita bareng."
"Lah terus di mana masalahnya kalau kita bareng? Salah gitu bareng sama aku?" tanya Dani.
Aku mulai menggaruk rambutku. Bakal ribet ini urusannya. Mulai terbayang teriakan Steve. Iya kalau Steve teriak, lah kalau Steve murka terus minta putus. Hih!