Kimberly tak perduli, dia hanya berdecak dengan kasar atas ulah Khaibar yang terus berteriak dan menunjuk-nunjuk ke arahnya. Malah Kimberly semakin menggoda Khaibar dengan mondar-mandir tanpa memakai sehelai benang pun, bagi dia ini kamarnya jadi dia hanya cuek dan terserah dialah mau apa, apalagi itu sudah terlanjur, awalnya memang Kimberly tidak sengaja karena handuk yang dipakai terlepas begitu saja dengan sendirinya, jadi dia yang sudah tak mau ribet dengan handuknya akhirnya dilanjutkan saja berjalan menuju ke ruang ganti.
Setelah beberapa menit berlalu, Khaibar pun kembali membuka matanya setelah sekian lama ditutup dengan kedua tangannya. Dia sudah lega karena melihat Kimberly rapi dengan bajunya. Khaibar menatapi Kimberly dari puncak kepala sampai ujung kakinya. Kimberly yang tahu itu langsung mengomel sebal.
"Kenapa? Ada apa? Bukankah sudah rapi? Menjerit-jerit tak jelas tadi, lebay sekali kamu! Memang kamu tak pernah melihat cewek tanpa baju?" Khaibar hanya menggeleng. Menurutnya sangat aneh ucapan Kimberly itu, memang Khaibar lelaki apa kok ditanya seperti itu, ya jelas dia tak pernah melihat wanita tanpa memakai baju, bahkan pacaran saja tidak pernah dia.
"Sama sekali? Masak? Yakin tidak pernah?" Khaibar tetap menggeleng. "Di sosmed? Atau internet apapun itu? Masak gak pernah? Gak percaya banget aku sama kamu," lanjut Kimberly dengan terus memandang rendah Khaibar, saat Khaibar mau berbicara kembali Kimberly langsung pergi ke arah balkon dengan cepat tanpa mengajak Khaibar. Khaibar yang tak paham harus berbuat apa dia terus mengikuti Kimberly saja. Kini Khaibar berdampingan dengan Kimberly.
Kimberly ingin rasanya memaki Khaibar saja, tapi biarlah mungkin belum saatnya dan kasihan juga kalau dimaki terus, ia lalu berdehem dengan memegangi tenggorokannya dan melirik ke arah Khaibar.
"Kamu kenapa Kim?" tanya Khaibar yang sedikit peka dengan maksud Kimberly. Kimberly tersenyum senang lalu mengedipkan matanya dengan cepat ke arah Khaibar.
"Ambilkan aku minum di dapur!" perintah Kimberly dengan cepat.
"Minum? Aku belum tahu di mana tempatnya, ayo anterin aku dan ajak aku keliling rumahmu dulu dong biar paham, lagian bukankah rumah sebesar ini banyak pembantunya ya?" balas Khaibar yang sedikit mengeluh, bukannya dia tak terima diperintah, hanya saja dia masih belum terbiasa, takut tersesat dan lama malah kembalinya, tapi justru itu yang diinginkan Kimberly untuk sedikit mengerjai suami polosnya itu.
Kimberly tak menjawab ucapan Khaibar lagi, dia hanya mengibaskan satu tangannya ke arah Khaibar. Mengibas semakin cepat agar Khaibar melakukan perintahnya dengan cepat. Khaibar yang sudah tak ada waktu lagi, dia pun akhirnya patuh dan pergi meninggalkan Kimberly.
Langkah Khaibar sungguh sangat tak bersemangat. Bagaimana tidak, ia menatapi ruangan demi ruangan saat melewati banyak ruangan yang berjajar dekat dengan kamar Kimberly, dia yang awalnya tak menemukan di mana itu tangga karena tangganya berada di ruangan khusus, akhirnya bisa menemukan dengan berbagai macam buka-membuka handle pintunya.
Sungguh sangat merepotkan bagi Khaibar, rumah megah tapi banyak pintu dan ruangan, bisa tersesat seharian kalau belum terbiasa. Tapi ya sudah Khaibar mengalah saja dari pada mendengar omelan Kimberly nanti malah seharian membuat telinganya gatal. Mending begini bisa menghirup udara dan melihat suasana yang baru.
Khaibar menuruni tangga selangkah demi selangkah. Setelah sampai di tangga paling bawah dia menepuk dahinya dengan keras, bingung lagi harus ke arah kanan apa kiri. Dia pun berdehem saat melihat bibik berjalan menuju ke arahnya.
Khaibar pun bertanya. "Bik, di mana dapurnya?" Bibik menoleh dan tersenyum. Ia belum mengenal Khaibar, tapi dia tak ada hak untuk bertanya, takut kalau majikannya tahu malah dibilang sok akrab.
"Dapur? Dapur ada di sebelah utara, Tuan," balas bibik yang bernama Khofi itu. Bik Khofi hampir saja pergi. Namun, Khaibar kembali menghadangnya dengan cepat.
"Bik, tunggu dulu, utara sebelah mana? Aku baru Bik di sini jadi tidak tahu, itu si Kim kesayangan aku mau minta minum." Mendengar suara Khaibar yang sok manis akhirnya bik Khofi menunduk dengan sopan.
"Apa perlu Bibik bantu buatin? Biasanya Nona Kim suka jus sirsak, Tuan."
"Eh, tidak usah Bik, biar aku saja yang buatin, Bibik cukup arahkan aku saja di mana dapurnya, habis luas sekali rumahnya." Bik Khofi mengangguk dan menunjuk dengan jari-jemarinya. Khaibar yang sedikit menggeleng karena tak mengerti akhirnya bik Khofi menjelaskan dengan mulutnya seraya jarinya masih menunjuk-nunjuk.
"Utara, lurus saja lalu belok kanan, lurus kembali, belok kiri, dan cari saja ada tulisan dapur, Tuan," terang bik Khofi dan ia pun mengangguk dan pergi begitu saja tanpa menoleh ke arah Khaibar lagi.
"Apa wajahku sangat seram? Kenapa bibik ketakutan sekali saat melihatku, lagian rumah atau istana sih, luas betul, setiap pintu ada tulisan papan namanya, apa pintunya sebanyak seribu? Hmmm sudahlah, aku harus segera bergegas." Khaibar pun melangkahkan kakinya kembali. Dia mengkomat-kamitkan bibirnya, bukan untuk merapal doa, tapi merapal peta yang ia dengar dari bik Khofi tadi.
Sampai di depan dapur. Dia pun tersenyum dengan nafas yang terengah karena dapur sangat jauh dari kamar Kimberly. Khaibar langsung duduk bersimpuh di samping pintu dapur mencoba untuk bersantai terlebih dahulu dan meregangkan otot-ototnya.
Banyak bibik yang berlalu lalang ke arah dapur dan sesekali melirik ke arah Khaibar yang sungguh konyol itu, bukannya duduk di kursi atau bagaimana malah di lantai dengan kaki yang diselonjorkan dan sedikit menghalangi bibik untuk masuk ke dalam, tapi tak semua bibik cuek seperti bik Khofi, ada bibik yang galak datang mendekat ke arahnya.
Kaki bibik yang bernama Kaifa dipanjangkan dan mencolek kaki Khaibar dengan kasar. Dia pun siap mengeluarkan larvanya. "Heyyy kamu siapa? Apa pembantu baru? Tukang kebun? Apa tukang sapu? Ngapain lalu di sini seperti gembel saja, cepat berdiri! Membuat mataku sakit saja!"
Khaibar pun langsung bangkit dengan terkekeh, dia awalnya ingin marah, tapi ditahannya karena pesan dari ibunya yang harus menjadi orang yang bisa menahan amarah. Khaibar mengangguk dan lalu pergi begitu saja tanpa membalas makian bik Kaifa.
Bik Kaifa yang sifatnya pemarah karena merasa diabaikan Khaibar dia pun mendorong Khaibar hingga jatuh terjerembab ke dalam dapur, tapi menurut Khaibar bukan apa-apa dia langsung bangkit kembali, malah dia berbasa-basi menawarkan membuatkan jus untuk Kaifa.
"Bibik mau apa di sini? Mau aku bikinin jus? Saya mau bikinin Kim kesayanganku jus, maaf ya aku abaikan Bibik, saya buru-buru takut kesayanganku itu kehausan," jelas Khaibar yang memang disengaja memamerkan kemesraan panggilan lebay seperti itu, agar hidupnya tenang tak ada yang mengganggunya.
Dan benar, bik Kaifa terkejut dengan bibir yang menganga sangat lebar. Suaranya seperti hilang ditelan malunya. Dia hanya garuk-garuk kepala seraya tersenyum takut. Dia pun membatin.
'Apa! Ke—kesayangan? Matilah aku! Bisa-bisa aku digantung oleh nona Kim karena menjahati kesayangannya, semoga saja dia tak bilang apa-apa kepada nona Kim, bisa gawat ini, tapi kalau aku minta maaf aku gengsi dong.'