Kimberly bingung harus menjawab apa, kalau menjawab karena semua salah mamanya, dia sangat menyayangi mamanya dan tak mau apabila mamanya dipersalahkan lagi, apalagi mamanya selalu melindungi dia, mungkin sekarang giliran Kimberly yang melindunginya, biarlah Khaibar tahu kalau ini adalah ulahnya, yang penting mama aman dan lagian Khaibar juga gak akan berani se-galak itu kepada Kimberly.
Setelah mengulang kata-katanya dan terbata dia pun dengan tegas mengucapkannya. "Ya, ya, ya, ini semua salahku, aku yang bilang, lagian sudah terjadi mau gimana lagi? Ahhh sudahlah! Kamu harus menerima konsekuensi yang ada, bukankah kamu tau surat kontrak perjanjian itu? Yang semua peraturan kembali ke pihak pertama? Jadi mana ada aturan yang aku salahi!"
Mendengar jawaban Kimberly Khaibar hanya bisa pasrah, memang benar ucapan Kimberly itu, ia tak berhak memprotes, bahkan memberikan pendapat, sungguh sangat menjengkelkan, ingin rasanya Khaibar mencuri surat kontrak itu dan membakarnya habis biar usai sudah penderitaannya. Biarlah nanti dipikirkan setelah sudah berada di rumah Kimberly.
"Heeeey jangan melamun!" Kimberly menjentikkan jari jempol dan jari telunjuk dengan keras sehingga berbunyi petikan yang merdu. Khaibar pun mengerjapkan kedua bola matanya dan terkekeh.
"Oh ya sudah kalau begitu, jadi kita sekarang bagaimana? Apa tak apa-apa kalau ke rumahmu?" tanya Khaibar karena takut, membayangkan wajah Kendrick saja sudah membuat bulu kuduknya berdiri.
"Kenapa? Apa kamu takut? Heeee sadar kamu itu cowok, bukan banci, jangan takut dong, ya pulang lah ke rumahku masak di sini sih ... bisa-bisa nanti aku tertimpa rumahmu yang kumuh ini." Kimberly memandangi Khaibar lalu menatapi semua sudut rumah setelah itu mendongakkan kepalanya menyaksikan kayu rumah yang sudah rapuh itu.
'Ciiih bahkan dia terus menerus menghinaku, apa tak capek apa! Kalau dia tak berubah mana aku betah dengannya meskipun aku mengagumi kecantikanya, tapi kecantikan saja tidak cukup kalau akhlaknya saja nol.' Batin Khaibar.
Khaibar pergi meninggalkan Kimberly, setelah Kimberly memberikan bahasa isyarat dengan mengibaskan kedua tangannya sembari menunjuk ke arah kamar, bahwa Khaibar harus segera mengambil kopernya.
Khaibar pun mengambilnya hanya beberapa menit saja, ia menyeret kopernya dan tersenyum saat Kimberly sedari tadi menatapinya. Tapi Kimberly yang memang cuek dan sibuk sendiri dengan ponsel untuk berselfie saja, dia tak membalas senyuman Khaibar, jadi sia-sia senyuman Khaibar, hanya akan kering saja giginya karena tertimpa angin.
"Ayo pergi! Ini koperku sudah," ajak Khaibar dengan menggandeng tangan Kimberly, pintu rumahnya pun ditutup dan dikunci dengan sangat rapat, karena Khaibar belum tahu kapan akan ke sini lagi, takutnya tak akan sempat. Dia memandangi rumahnya lama dengan nafas yang berhembus dengan kasar.
"Ayo! Katanya pergi? Malah bengong lagi? Gimana sih kamu ini! Apa aku tinggal saja?" protes Kimberly yang kelamaan menatapi rumahnya dan tak berangkat juga.
Khaibar mengangguk dan pergi bersama Kimberly, dia berjanji kalau menjadi orang sukses akan memperbarui rumah itu, kelak ditempati dengan anak dan istrinya dengan hidup sederhana.
Keduanya pun berjalan terlebih dahulu ke arah jalan raya untuk mencari taksi. Menunggu dan menunggu, hampir 10 menit taksi tak lewat juga, membuat Kimberly kesal dengan terus mengumpat. Kakinya diinjakkan ke jalanan dengan sangat kasar hingga bunyinya nyaring karena sepatu kaca bergesekan dengan jalan tersebut.
"Khaibar? Mana taksinya? Apa sangat desa sekali ya di sini, sampai-sampai taksi saja sulit, hmmmm," keluh Kimberly yang sudah melepas sepatunya karena kalau kelamaan seperti ini dan jalanan juga tak enak bisa-bisa semakin lecet kakinya.
"Tunggu sebentar Kim, sebentar lagi pasti akan datang," rayu Khaibar yang juga aslinya sama khawatirnya dengan Kimberly. Khaibar akhirnya melihat ponselnya dan mencoba menghubungi nomor taksi yang ia punya, tapi tiada jawaban satu pun.
"Kenapa? Tak ada yang aktif ya? Mungkin hari libur jadi begitu, coba aku telepon supir ku saja biar dijemput." Saat Kimberly baru saja akan menelepon supirnya, ada satu taksi yang lewat ke arahnya.
Khaibar pun dengan gesit langsung memanggil taksi itu dengan keras, tangannya melambai dengan sempurna. Taksi pun terhenti dan ditumpangi oleh mereka.
Setelah menyebutkan alamat rumahnya. Kimberly pun bersandar di kursi mobil dengan mata terpejam, rasanya kepala sangat berat memikirkan permasalahan yang berseliweran di dalam isi kepalanya.
'Koko ... awas kau! Aku akan membalas dendam, semua ini gara-gara kamu, kalau aku bertemu denganmu akan aku bunuh kamu! Enak saja membawa kabur uangku dan jelasnya uang itu buat berpacaran. Hmmmm.' Batin Kimberly di dalam pemikirannya campur aduk menjadi satu, ia pun tertidur dengan sendirinya karena sangat capek untuk memikirkan itu.
Kimberly sedari tadi tidur dengan kepala bergoyang ke kanan dan ke kiri karena tidak ada penyanggah untuk kepalanya, sampai-sampai dia terbentur di jendela mobil masih saja tetap tertidur, membuat Khaibar berdecak kasar karena baru kali ini melihat cewek yang kalau tidur seperti kebo, bahkan terbentur berulang kali masih saja tidur dan tak terbangun sebentar saja.
Tangan Khaibar lalu meraih kepala Kimberly dan menaruh di pundaknya. Serasa sangat romantis apabila semua memandang, bahkan supir taksi yang tak sengaja melihat dibalik cermin depan pun ia tersenyum dan merasa iri dengan keromantisan mereka.
Dan dalam hitungan menit Khaibar pun ikut tertidur juga, tangannya dilipat di dada dan bersandar di kursi mobil, sedangkan posisi Kimberly tetap aman di pundak Khaibar, malah Kimberly menggosok-gosok kepalanya di pundak itu agar semakin cocok di pundak Khaibar.
Beberapa menit pun berlalu, hampir satu jam baru sampai di rumah Kimberly, memang perjalanan dari rumah Khaibar menuju ke rumah Kimberly memakan waktu hampir satu jam. Mereka pun terbangun saat supir mencolek Khaibar dengan sangat lembut.
"Pak, sudah sampai, bangunlah!" Khaibar mengangguk dan mengucek kedua bola matanya. Bisa-bisanya dia ketiduran di taksi dan lama pula, mungkin efek kecapekan berhari-hari di rumah sakit tak tidur. Dia meregangkan ototnya terlebih dahulu, terlupa dengan adanya Kimberly yang berada di pundaknya Khaibar langsung menunduk dan merogoh uang yang ada di kantongnya. Setelah itu memberikan uang itu dengan cepat. Membuat Kimberly langsung terjatuh dan terhempas di kursi mobil itu, terbentur kursi dengan keras, untung kursinya empuk jadi Kimberly tak benjol.
"Auuuh sakitnya ... Khaibaaaar! Kamu menjengkelkan ya ... ngobrol dong kalau mau berdiri, apa kamu sengaja hah! Kalau tau begitu aku tak tidur di pundakmu tadi!" omel Kimberly dan mencoba bangkit. Khaibar lalu membantunya untuk berdiri.
"Maaf ya." Kimberly hanya melirik. Dia pun lalu keluar mendahului Khaibar. Khaibar pun mengikuti Kimberly dengan menyeret kopernya.
Bel pun dibunyikan oleh Khaibar, mang Kosim pun tersenyum melihat Kimberly dan membukakan gerbang rumahnya. Kimberly hanya mengangguk saat mang Kosim tersenyum ke arahnya.
Setapak demi setapak taman dilalui, memang rumah yang sangat besar dengan taman yang sangat besar pula, Khaibar hanya bisa melongo dan merasa penat berjalan ke pintu itu. Pintu yang akan di tempatinya, pintu yang akan membuat hidupnya menjadi indah atau bahkan seperti neraka? Semua bergejolak di hati Khaibar.
'Jauh sekali pintu itu, apa gak ada lift khusus menuju ke sana, hmmm, beginilah orang kaya.' Batin Khaibar.
Ceklek! Handle pintu dibuka oleh Kimberly, sudah kebiasaan olehnya tak pernah ketuk pintu terlebih dahulu kalau sudah berada di pintu utama. Kimberly langsung masuk saja tanpa memanggil mama bahkan papanya. Sementara Khaibar dia sungguh gemetaran menatapi sekitar, mencari keberadaan papa Kimberly.
Saat dia baru menginjak beberapa langkah. Suara keras pun bergemuruh dan mengagetkannya.
"Astagaaaaa! Awaaaaaas!"