Kimberly berteriak dengan sangat keras. Rasanya mulut itu sangat menganga hingga terlihat gigi geramnya. Ia melirik ke arah Khaibar yang sudah menghindar dari koper yang dilemparkan oleh papa Kendrick dari lantai atas. Bahkan Khaibar yang terjingkat setelah menghindar ia hanya mematung dengan mata tak berkedip seraya mengelus-elus dadanya berulang kali.
"Heeeeyyy, Khai! Apa kamu tidak apa-apa?" tanya Kimberly yang saat ini sudah menoleh. Khaibar mengangguk lalu sekarang Kimberly berjalan pelan dengan mendongakkan kepalanya dan menatapi papa Kendrick yang ada di atas sedang santai duduk di shofa empuk dan pura-pura menyesap kopinya.
Sorotan mata Kimberly sangat tajam mengalahkan harimau yang siap memangsa, tapi apalah daya Kimberly saat papa Kendrick balik menatap mata Kimberly dengan sorotan pedang yang siap menghunus ia pun terkekeh.
"Pa ... Papa apaan sih ... kenapa seperti itu? Kalau terkena Kimberly terus benjol atau mati bagaimana?" tanya Kimberly dengan serius, tapi suaranya sangat halus dan menatapi papanya sudah berubah sangat sejuk tak seperti tadi lagi.
Kendrick hanya menahan senyumnya, setelah itu kopi pun ditaruh di meja kembali dengan nafas yang dihembuskan kasar dan bibir dimanyunkan.
"Benjol? Mati? Mana mungkin! Papa sudah memperhitungkannya tahu, jadi terbukti tidak kenapa-kenapa kan? Gitu saja lebay, lagian kamu ngapain pulang? Bukannya sudah senang di rumah Khaibar si tukang selingkuh itu?" Mendengar itu Kimberly hanya menggeleng. Dia pun berjalan ke arah papa Kendrick dengan menaiki tangga se-lantai demi se-lantai dan sampailah sekarang di samping Kendrick.
Tangan Kimberly pun meraih punggung Kendrick dan mengelus-elusnya, setelah dirasa puas mengelus-elus papanya. Tangannya merambat ke arah bahu dan bergelayut manja dengan sempurna. Kimberly memang sangat persis seperti ibunya yang pandai merayu dan membuat papa Kendrick sangat tidak tahan.
Kendrick hanya menggoyangkan gelayutan manja Kimberly supaya bisa melepaskan diri karena malas dirayu oleh anaknya. "Kamu ngapain?" tanya Kendrick menaruh curiga dengan berpura-pura tak tahu, padahal dia sangat tahu betul akal bulus anaknya itu.
Kimberly hanya tersenyum seraya mengedipkan matanya dan alis yang dinaik turunkan cepat. "Papa ... jangan marah lagi ya? Kasihan ini cucu Papa kalau mamanya dimarahin dia sedih dan tak tumbuh dengan baik, hiks, hiks." Suara Kimberly sungguh sangat manja dan memekikkan telinga, bahkan Khaibar yang menunggu di lantai bawah saja cekikikan kecil mendengar suara Kimberly yang seperti itu, dia akhirnya tahu sisi manja Kimberly.
'Haha ternyata dia punya sisi seperti itu juga, bahkan telingaku gatal rasanya, tapi lucu juga, ingin rasanya aku merekam, tapi kalau ketahuan papa Kendrick bisa digantung aku di jemuran.' Batin Khaibar yang sedari tadi menatapi lantai atas.
Khaibar yang kecapekan berdiri akhirnya ia duduk di lantai. Menunggu Kimberly memanggilnya baru ia akan mengikuti saja.
Sedangkan Kimberly masih berusaha mati-matian merayu papanya. Kimberly semakin menangis keras akhirnya Kendrick sedikit luluh juga. Tangannya mengulur ke arah Kimberly dan menyapu bersih air mata buayanya.
Kimberly pun tersenyum tipis dan langsung memeluk papanya dengan gemas. "Jadi Papa memaafkanku?" tanya Kimberly serius dengan terus mengelus-elus punggung Kendrick agar tak berubah fikiran lagi.
"Lihat saja nanti! Intinya Papa mengizinkan kalian di sini, kalau semakin tak jelas Papa tendang kalian ke jalanan." Kimberly tersenyum lalu mengangguk. Kendrick pun melepaskan pelukannya dan pergi meninggalkan Kimberly tanpa menyambut Khaibar. Sama halnya dengan Keysa dia juga di kamar saja tak menyambut anak bahkan menantunya, memang keluarga Kimberly sangat aneh dan tak jelas, suka seenaknya saja, tapi saling menyayangi satu sama lain.
Kimberly pun menatap ke arah Khaibar setelah papanya sudah tak kelihatan lagi. Dia pun bersiul seraya bertepuk tangan agar Khaibar menatap ke arahnya.
Saat sudah menatap Khaibar hanya mengernyit dan bertanya kepada Kimberly dengan berbisik. "Kenapa? Ada apa? Di mana Papamu?"
"Cepat naik! Papa sudah oke dan kita boleh tinggal! Cepat! Atau aku tinggal nih, aku hitung sampai tiga, satu ... dua ... ti—" Khaibar langsung menaiki tangga dengan cepat dan menyeret koper dengan menggigit bibir bawahnya. Sampai di atas dia nafasnya terengah-engah dengan memegangi dadanya yang sesak itu.
Kimberly hanya cuek dan seperti biasa ia mengeluarkan ponselnya dan berfoto selfie lagi. Kata dia di manapun berada akan hebat kalau mengabadikan moment. Berbalik dengan Khaibar, ia satu pun tak pernah selfie, kalau pun pernah paling dipaksa sama teman kantornya, foto pun datar tanpa ekspresi.
Khaibar pun bertanya kembali. "Beneran nih Papa sudah oke dan tak marah?" Kimberly hanya berdehem tanda oke. Malas apabila berucap lagi.
Dia yang sudah selesai selfie akhirnya masuk ke dalam kamar dan diikuti oleh Khaibar. Khaibar pun melongo saat melihat kamarnya yang luas. Rasanya ia sulit percaya, seperti ukuran rumahnya hanya dibuat sebatas kamar saja, keren sekali, biasalah maklum orang kaya, rumah di kampung 20 an hanya satu rumah kalau orang kaya itu.
Kimberly sudah bersiap untuk mandi, handuk sudah melilit di pinggangnya, tapi melihat Khaibar yang masih di pintu dan tak masuk juga dia menggelengkan kepalanya. Ia pun berjalan ke arah pintu dan menarik handle pintunya agar Khaibar tersadar dan segera masuk.
"Apa kamu tak mau masuk? Kalau tidak, kamu minggir! Dan keluarlah! Aku mau mandi dan bersantai, aku tidak suka membuka pintu kamar," celoteh Kimberly dengan tegasnya, tapi sebetulnya dalam hati ia sungguh suka kalau Khaibar polos seperti ini, dengan begitu dia akan menuruti apapun keinginannya, sungguh sangat langkah cowok seperti itu.
Khaibar akhirnya mengerjap dan masuk dengan garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal, ia merasa canggung apabila masuk dan hanya berdua saja bersama Kimberly. Dia semakin terkejut dan menutup matanya dengan kedua tangan saat melihat Kimberly melilitkan handuk seperti itu, sehingga terlihat bra warna hitam yang sungguh membuat Khaibar berdetak jantungnya dengan bergemuruh.
"Kamu kenapa? Sana duduk! Atau apa gitu, masak kamu mau jadi satpam berdiri saja? Kalau itu maumu ya sudah terserah kamu, intinya aku mau mandi, lebay bener pakai menutup matanya, kenapa? Takut tergoda olehku, atau bahkan kamu mau mandi bersamaku?" Memang Kimberly sengaja menggoda Khaibar, karena tak akan mungkin Khaibar lancang dengan wajah polosnya itu.
"Eh, eh, eh, apa! Ti—tidak! Aku nanti mandi sendiri, sana kamu cepat mandi!" usir Khaibar yang langsung menuju kursi shofa panjang dan menidurkan diri di atasnya. Menatapi langit-langit kamar yang penuh dengan ukiran bintang dan rembulan, sangat indah desain kamar itu.
Khaibar pun menatapi kopernya sambil tiduran, tak paham harus ditaruh di mana koper itu, secara dalam pikirannya semua ini hanya sementara dan bukan miliknya, jadi dia tak enak apabila tak ada yang menyuruhnya.
Dan beberapa menit pun berlalu. Kimberly sudah selesai mandi dan keluar dengan handuknya. Khaibar yang tak sengaja memandanginya tiba-tiba matanya melotot dan tak bisa berkata-kata.
"Kamu? Kenapa seperti itu? Mana itu, itunya? Aaaaaaaa."