*London 1820
"Miss… Miss," panggil suatu suara lembut wanita.
Joy mengerang. Mengeliatkan tubuhnya dengan enggan membuka matanya. Wajah berbintik merah seorang wanita memasuki penglihatannya. Nah loh? Ia terdiam. Siapa wanita ini? Otak berkabut Joy berusaha memilah setiap wajah yang dikenalnya, tapi sia-sia. Sudahlah, mungkin dirinya ambruk di suatu tempat.
Joy mengusap wajahnya. "Jam berapa sekarang?" Tanya Joy otomatis.
Jika dirinya tak salah, masih ada meeting tim yang harus ia hadiri. Joy mengubah posisi tubuhnya, kini ia menghadap ke sisi dalam kamar. Jendela seukuran tubuh telah terbuka, cahaya hangat musim semi memasuki penglihatan Joy. Matanya terbelalak. Apalagi ketika melihat wallpaper dinding kamar yang berbunga-bunga klasik, indah juga. Tapi, tunggu dulu, seingatnya sekarang musim gugur! Joy mengerjab-ngerjabkan matanya. Detik selanjutnya ia langsung melompat berdiri, menerjang menuju jendela.
Pemandangan taman dengan bunga-bunga mawar indah sungguh membuatnya membelalak lebih lebar lagi. "Tempat apa ini?" Tanpa sadar Joy mengucapkannya walau lirih.
"Baron Cunningham's Manor, Miss Joy." Balas sang gadis tak yakin disertai nada penasaran.
Cunningham Manor? Kening Joy berkerut. Ia sama sekali tidak mengingat ataupun mendengar nama asing tersebut. Apa dirinya kehilangan ingatan mendadak, Joy yakin dirinya masih waras. Ia masih mengingat semalam, setelah menemani klien makan malam, dirinya kembali ke apartemennya di downtown kemudian mandi dan tidur. Lantas brengsek mana yang telah membawanya ke manor mewah ini? Fans fanatiknya atau psikopat gila yang bermaksud menggemukannya lalu menyembelih Joy sebagai makan malam? Ya Tuhan, ia benar-benar kebingunan sekarang. Joy bersumpah akan melakukan apapun demi mendapatkan petunjuk akan situasi ini.
"A-apa yang anda lihat, Miss?" Tangan wanita itu menyentuh bahu Joy, keraguan terdengar jelas dalam setiap kalimat yang dituturkannya.
Joy berbalik. Bukan perempuan itu yang menjadi fokus utamanya, melainkan perabotan ruangan ini yang serba berkesan antik, bak kembali ke eropa zaman dulu. Apalagi busana perempuan dihadapannya. Rok hitam menutupi kaki dengan kemeja putih kerah tinggi berenda-renda. Seratus persen mirip pelayan dalam salah satu lukisan buku seninya semasa sekolah dahulu.
Kening Joy berkedut-kedut, rasanya pusing memikirkan kemungkinan dirinya berada dimana. Satu-satunya kemungkinan, secara tak sengaja gerbang dimensi waktu terbuka di ranjangnya dan secara kebetulan pula Joy tertidur di atasnya. Ia kebetulan juga menjadi korban kebetulan beruntun tersebut.
Sungguh menjengkelkan. Sial! Saat ini kepala tim marketing pasti kelabakan mencarinya. Ia yakin pekerjaannya tak mampu diselamatkan lagi. Seorang eksekutif departemen marketing tiba-tiba menghilang setelah berhasil menemui klien. Sudah pasti saat ini ia tengah diburon sebagai mata-mata perusahaan lain. Joy mendesah.
"Miss? Miss Joy?" Panggil perempuan itu dengan khawatir.
"Ya… Ya, Eireen?" Jawab Joy terkejut akan dirinya yang mengenal nama pelayan tersebut.
Gadis pelayan yang dipanggilnya sebagai Eireen menghela napas lega, ia menggeleng menyebabkan beberapa helai rambutnya terjatuh dari tatanan konde bundarnya. "Air mandi telah siap, lady dan Baron juga sudah berada di meja makan."
Joy mengangguk kaku. Walau ia dapat memanggil nama pelayan ini dengan benar, ia tak yakin tidak melakukan kesalahan etika ataupun salah bicara, apalagi diminta ke kamar mandi. Bagaimana ia bisa tahu dimana tempatnya tanpa tersesat. Perempuan yang ia hinggapi ini merupakan anak seorang Baron yang ia tahu dari nama tempatnya. Jika Joy tak salah, Baron adalah gelar bangsawan, dengan kata lain kediamannya bisa saja bak kastil.
Masalahnya, bagaimana caranya supaya dirinya dapat pergi ke kamar mandi sialan itu tanpa dicurigai. Tanpa dianggap kesurupan atau apalah yang dapat menjeratnya sebagai seorang tak waras. Joy harus memanfaatkan wanita itu tanpa Eireen sadari. Ia tersenyum seraya berjalan melewati Eireen, tetiba tungkainya menekuk membuatnya oleng ke sisi Eireen. Yas! Tipu dayanya berhasil ditangkap secara refleks oleh Eireen.
"Miss, anda tak apa-apa?" Kini raut wajahnya dipenuhi kepanikan.
Joy berpura-pura pusing memegangi keningnya. "Mungkin kadar gulaku turun, sebaiknya aku bergegas mandi dan melahap sesuatu," Joy mengajukan.
Eireen menangguk serius, dibimbingnya Joy menuju ruangan lain disebelah kamarnya. Oh yalah! Ternyata hanya selangkah saja jaraknya. Mungkin kalau Joy mencarinya tadi, bakalan ketemu juga.
Dirasakannya tangan Eireen melepaskan ikatan baju bagian belakangnya. Joy berbalik dengan cepat menghentikan aksi Eireen yang bahkan membuat dirinya sendiri terkejut akan ketahuan. Namun apa boleh buat, Joy tak pernah mengalami hidup bak putri dalam dongeng dimana semua kesehariannya dilayani orang, termasuk memakai baju, mandi bahkan buang air. Di era modern semua manusia dengan gaji rata-rata seperti dirinya, mengerjakan kesehariannya sendiri. Disaat Joy bingung memberi alasan yang tepat, Eireen menghela napas. Mangguk-angguk padanya.
"Saya mengerti. Privasi, bukan? Baik, baik." Katanya seolah kalah taruhan.
Joy mengangguk padanya. Setelah memastikan pelayan itu telah keluar dan menitup pintu, Joy menghela napas lega. Beruntung pemilik tubuh ini wanita yang mandiri. Jika tidak, saat ini dirinya pasti telah dianggap gila tak waras. Bisa-bisa dirinya berakhir di rumah sakit jiwa dengan berbagai sengatan listrik yang bermasksud membebaskannya menuju surga.
Joy melepaskan sediri ikatan yang menahan gaun tidur putihnya lantas berjalan masuk ke bak mandi kuningan.
***
Joy menyuapi dirinya sepotong besar steak daging sapi. Rasa daging yang melumer di dalam mulut menerbangkan indra pengecapnya. Sungguh hidup yang menyenangkan, Jika diminta menjalani hidup seperti ini setiap hari, Joy dengan senang hati akan menerimanya. Ia tak perlu berhimpit-himpitan dalam bus pagi maupun mengkhawatirkan keuangan, intinya hidup Joy Cunnungham ini adalah idamannya walau tak ada internet. Joy mengerogoti telur rebus, seraya tersenyum. Pokoknya hingga saat ia dapat kembali ke tubuh aslinya, Joy memilih menikmati saja kehidupannya sebagai seorang lady.
"Kau perlu berganti, sayang." Ujar seorang lady diusia empatpuluhan yang kelihatannya merupakan ibunya alias lady Cunningham. "Kusarankan kau mengenakan gaun biru yang baru diantarkan semalam. Kelihatan anggun ditubuhmu."
Joy mengangguk-angguk setuju tanpa menghentikan gerakan menyuapi dirinya sesuap sup krim. Tentu, tak diragukan lagi ia akan melakukanya. Joy sudah tak sabar menhadiri pesta-pesta seperti yang tertulis di novel-novel fiksi sejarah roman. Selain setumpuk makanan lezat yang akan menantinya, ia juga dapat melihat dengan mata kepala sendiri adegan paling mewah di novel, plus mungkin juga mampu mengait beberapa perhatian. Walau dirinya pengangut kepercayaan single forever, sesekali ia juga butuh roman klasik ala-ala zaman dulu. Walau Joy tak tahu pesta apa yang akan dihadirinya, ia amat sangat antusias menantikannya.
Joy mempercepat gerakan tangannya mengambil sebongkah besar daging steak, berniat secepat mungkin menyelesaikan sarapannya dan menemui Eireen. Membiarkan gadis itu menatanya membentuk dirinya menjadi seorang miss cantik nan anggun.
"Lihatlah ini, manis. Pasangan perjodohanmu ini, muncul diberita." Perkataan Baron Cunningham membuyarkan khayalan mulus Joy akan kue lezat di pesta.
Tunggu, apa dirinya salah dengar? Perjodohan. Apa Tuhan menjahilinya? baru saja ia putuskan menikmati kemewahan yang disediakan keluarga banhsawan Baron. Detik berikutnya ia malah dijodohkan. Apa ini masuk akal? Joy benar-benar membeku bak habis menatap mata medusa.
Masa ia harus menggantikan perempuan ini menikahi lelaki arogan, tukang suruh yang menganggap wanita hanya suatu peralatan dan menemani pria itu setiap hari hingga akhir hayatnya. Seumur hidup! Memikirkan saja cukup membuat Joy bergejolak terombang-ambing dalam lautan putus asa.
"Lihatlah ini, Joy." Baron Cunningham menyodorkan seonggok koran ke Joy.
Joy tidak serta merta menerima koran tersebut. Otaknya boikot kerja.
*To be Continue….*