Berkat aktingnya yang bagus, Eireen dengan berat hati berganti dengannya, demi ia dapat mengawasi calon suaminya dari jauh, sebagai seorang pelayan. Joy akui lelaki itu memang tampan. Untuk ukuran seorang pengusaha, kepribadian lelaki itu cukup bagus. Sementara Eireen menyamar menjadi dirinya dan berbincang-bincang hal tak penting, Joy akan mengawasi dengan mata setajam elang dan mencari celah keburukan lelaki itu untuk dilaporkan pada ayahnya, agar perjodohan ini gagal.
Tapi Joy melakukan kesalahan besar! Mungkin cukup untuk membuat James Hall mengamuk besar-besaran. Joy menelan ludah pahit. Kalau kejadian ini sampai ke telinga ayahnya, bahwa putrinya menyamar menjadi pelayan dan menumpahkan the ke tubuh tamu tersebut, tamatlah riwayatnya. Ia mungkin akan dikirim ke biara, dipaksa menjadi biarawati saja.
Joy menatap poci the yang tergeleta menggenaskan, daerah itu seketikan menjalar basah. Buru-buru dikeluarkannya sapu tangan dari roknya, lantas berhambur mendekati sang miliuner.
"Maafkan saya, sir! Saya terlalu gegavbah." Kata Joy seraya mengelap area basah di baju James Hall.
"Ti-tidak qapa-apa," balasnya canggung, "a-salkan miss Ei-Eireen baik-baik saja." Lanjutnya lagi terbata-bata.
Entah perasaannya saja atau tidak, nada bicara lelaki itu terdengar agak malu atau marah?
Joy semakin merasa bersalah. "Bagaimana jika anda lepaskan pakaian basah ini dan biarkan saya mencucinya? Saya akan memberitahu pelayan anda di9 bawah sana untuk membawakan pakaian bersih untuk anda." Tawar Joy masih tak berhenti mengelap, berharap area itu kering secepatmya.
Ya Tuhan! Kali ini pasti tamatlah riwayatnya. Betapa basah pakaian lelaki itu, sapu tangannyua sudah hampir basah sepenuhnya. Ini masalah! Bukan. Malapetaka! Jika sampai lelaki itu murka dan melaporkan kejadian ini ke Baron Cunningham, bukan dirinya saja yang akan kena masalah, Eireen yang menyamar menjadi dirinya tanpa sepengetahuan sang Baron juga akan dipecat!
"Miss Eireen. . . " panggil lelaki itu salah tingkah. "Biarkan saya bersihkan sendiri saja . . . daerah itu . . . terlalu . . . privasi." Ucap lelaki itu dengan wajah memerah.
Joy menghentikan gerakannya. Seperti orang bodoh ia malah menunduk menatap daerah yang dilapnya. Sapu tangan yang dirinya genggam berhenti tepat di area penanda kelelakiannya James Hall. Area itu mengembung kaku dan berdenyut dalam sapuannya. Tuhan! Joy cepat-cepat melepaskan tangannya dan menjauh, sejauh-jauh mungkin ke arah ketel.
"Ma-maafkan saya, sir," Joy cepat-cepat membungkuk lantas berlari keluar ruangan.
Jantungnya benar-benar hampir meledak. Ini gila! Bukan. Sinting! Bisa-bisanya Joy tidak fokus dan langsung membersihkan area privasi seorang pria. Apalagi area itu . . . Joy menggeleng-geleng keras berusaha mengenyahkan rasa sentuhan itu dari otaknya yang mulai menggila. Ia memukul-mukul menghukum telapak tangannya yang memyentuh bagian itu seraya mengumpati kebodohannya. Rasanya, ia ingin menangis. Baru kali ini untuk pertama kalinya dalam hidupnya melakukan kesalahan sebesar ini. Tuhan, berikanlah dirinya jalan yang lebih mulus, bukan seperti ini. yang diinginkannya hanya menjalani hidup mewah tanpa menggunakan otaknya! Joy benar-benar berharap Tuhan mendengarnya, atau setidaknya kabulkanlah doa paling kecilnya, singkirkan James Hall si mesum itu dari hidupnya! hiks . . .
+++
James menghempaskan dirinya ke kursi sofa hitam. Ia melemparkan sarung tangannya ke meja kopi berpahatan elang.
James mendesah, mengusap wajahnya dengan frustrasi. Pelayan wanita itu benar-benar membuatnya frustrasi akut. Bagaimana tidak? Jantungnya berdebar kencang detik wanita itu begitu dekat dengan dirinya. Aroma bunga rose makin memabukan tubuhnya. Alam bawah sadarnya dengan yakin mengecap wanita itu sangat cantik, hingga membuatnya tak ingin menatap tempat lain. Terlebih, saat tangan mungil wanita itu tak sadar telah menyentuh bagian privasinya.... Astaga! James menegang. Reaksi alamiah seolah dirinya mendambakan itu. Seperti bocah kecil yang menginginkan permen coklat. Padahal ini pertemuan pertama mereka.
Bukan dirinya tak pernah menyentuh wanita, James memiliki beberapa 'teman tidur' yang bahkan lebih elok dan seksi daripada wanita itu. Ia merasa dirinya mungkin menjadi seorang maniak yang senang disentuh orang asing pada bagian tubuh manapun.
Bayang-bayang wajah Eireen tak mau menghilang juga dari benaknya kini. Kenapa begini! James menolak untuk percaya ia yang seorang player ulung kalah telak dihadapan wanita yang bahkan tidak sekalipun merayunya. Tidak, pasti wanita itu memiliki semacam mantra sihir yang membuat lelaki tergila-gila untuknya.
"Sir," panggil pelayan pribadinya, Ferguso.
James membuka matanya menatap sang pelayan yang entah sejak kapan telah berdiri didepannya. Lagi-lagi warna hitam busana Ferguso memicu ia membayangkan Eireen. James mendengus tak suka. Kenapa pelayannya malah membuatnya be ini lagi.
"Apa kau tak memiliki baju dengan warna lain? Selalu hitam, hitam dan hitam. Apa kau sedang berkabung?!" sinisnya.
"Ta-tapi sir, andalah yang meminta saya mengenakan warna hitam ketika saya melamar kerja," kata Ferguso terbata-bata.
"Mulai kini, kularang kau mengenakan warna hitam." James menegaskan. "Ada apa?" katanya tak senang.
"Sir Wright mengirim pelayannya, mengundang anda ke bar miliknya malam ini." Tutur sang butler, seraya menatap kemeja putih dan rompi hitamnya dengan kebingungan.
James mengusap wajahnya. Mungkin dengan pergi ke bar menemui para pelacur-pelacur undangan Wright dirinya mampu melupakan obsesi tak masuk logikanya terhadap gadis pelayan tersebut.
James beranjak berdiri, seraya mengambil sarung tangannya.
"Siapkan mereka kudaku," perintahnya.
+++
"Gila! Gilaaaa!" Teriak Joy sendirian di kamarnya.
Ia berguling-guling di ranjang serba merah jambu nya seraya mengerang dan berteriak seperti singa. Sialan! Rasa tersentuh benda itu ditangannya masih terasa ditangannya. Joy bergidik jijik. Sekali lagi ia memukul telapak tangannya hingga memerah, seolah perbuatan tersebut dapat membuatnya melupakan rasa itu.
"Miss, anda sedang apa?"
Suara Eireen menghentikan aksi menyiksa dirinya. Joy cepat-cepat berbaring menarik selimut menutupi tubuh, terutama tangannya yang ia habis siksa seraya menggeleng tak berdosa. Joy berharap Eireen tak akan membombardirnya dengan serangkaian pertanyaan penuh antusiasnisme akan pendapatnya terhadap opurtunis sialan itu.
Tentu saja, Eireen lagi-lagi tersenyum sumringah penuh arti padanya, seraya mendekati ranjang tempat Joy.
"Bagaimana miss? Apa pendapatmu terhadap mr. Hall kini?"
Benarkan! Sesuai tebakan Joy. Gadis itu mendesah, "Aku tak tahu." Jawab Joy mengelak, sekaligus mencari kesempatan agar Eireen terus menjadi dirinya menemui James Hall.
"Pertemuan tadi terlalu singkat. Kepribadian aslinya masih belum terlihat. Aku masih harus menelitinua lebih lanjut lagi."
"Menurutku, mr. Hall cukup gentleman. Ia bahkan membantuku turun dari kereta." ungkapnya senang. "Benar, mr. Hall juga membantu anda membawa kue piknik." tambahnya.
"Untuk diserah ke tangan pelayannya, Ferguso," ralat Joy.
Eireen mengkerut. "Kan sama juga."
Joy menggeleng, "tidak. Opurtunis itu . . . maksudku mr. Hall masih berpura-pura baik. Aku memerlukan lebih banyak waktu mengawasi sifat sesungguhnya dan kau harus membantuku juga, Eireen." Joy memohon dengan tampang sedih.
Eireen mendesah. "Apa boleh buat . . ." ucapnya mengalah.
...To be Continue . . . ...