James Hall meminum habis anggur yang disodorkan seorang wanita berdada montok.
"Minumlah lagi, sir." bujuk seorang wanita berambut merah yang duduk dipangkuan kirinya.
Perempuan berdada besar di pangkuan kanannya menggoyangkan lengan James dengan manja. "Ayolah sir, sesuai lagi, mari kita bermaib" katanya dengan nada genit.
James menggeleng menjauhkan minuman memabukan tersebut. Sejak menginjakkan kaki di bar milik Wright, anehnya ia tak merasakan gairah apapun terhadap wanita-wanita yang di panggil Wright. Ini tidak normal, James merasa seperti bukan dirinya. Biasanya, disaat seperti inmtu tanpa menunggu lebih jauh, mungkin dirinya telah membawa salah satu atau kedua wanita panggilan ini masuk ke kamar rahasia, memainkan segala permainan hasrat.
Ada apa dengannya hari ini? Ia sama sekali gak berselera menyentuh wanita-wanita itu, bahkan gesekan dua gundukan jemput yang selalu dapat membuat adik kecilnya menggila kini ia tak merasakan apapun.
Sebaliknya, semakin dirinya menyesap minuman merah itu, makin menjadi pula imajinasinya. Sempat James melihat kedua wanita di pangkuannya berubah menjadi Eireen, dan merayunya. Betapa menyenangkan, tapi seketika suara wanita-wanita ini menghancurkan bayangan liarnya. Dirinya kembali berada di klub dengan pelacur di paha kanan dan kirinya.
Otak James mungkin bermasalah. Bagaimana bisa ia membayangkan seorang wanita yang baru dikenalnya hari ini terus menerus dan sentuhan halus tangan wanita itu di bagian antara kakinya. James ingin sekali menyentuh kulit telanjang wanita itu, menciumnya tanpa henti hingga kehabisan napas dan . . . . Ya Tuhan! Ia tak percaya, seorang pelayan dapat memicu gairahnya seperti ini. Walau memang benar, wanita bernama Eireen itu sangat lah cantik. Namun, wanita itu bukanlah orang yang boleh dinikahinya! James mengambil segelas brendi di depannya menegaknya hingga habis. Ia menatap sekelilingnya. Sahabat-sahabatnya tengah bersenang-senang dengan beberapa pelacur panggilan lainnya yang berasal dari Madame Hoston House. Entah kenapa pemandangan ini mengingatkan James akan sekumpulan sapi pemerah susu. James mengernyit jijik.
Dipintanya dua pelacur yang bertengger di pangkuannya menyingkir. James menegak lagi segelas brendi dari nampan yang dipegang pelayan bar dan mengambil 1 botol utuh brendi di nampan tersebut dan mulai meminumnya lagi.
+++
Hiruk-pikuk Ballroom kediaman Viscount Blackborough tidak dapat menghentikan pikiran kusut Joy. Ditatapnya sekeliling dengan bosan. Para pria dan lady sibuk membicarakan apapun. Area dansa dipenuhi debutan yang antusias mencari calon suami potensial bersama pasangan dansa prianya.
Gadis-gadis itu berputar, sementara ibu mereka mengawasi setiap gerakan dansa anak gadis mereka. Seolah bersiap mengajukan menikah jika menemukan tangan lelaki pasangan dansa anak mereka bergerak dalam batasan tidak wajar bahkan satu senti pun.
Joy membuka kipas lipat bulu meraknya lantas menguap malas. Sudah lebih dari dua jam dirinya terjebak di ruangan ini duduk di aofa sudut ruangan tanpa melakukan apapun hanya menyaksikan.
Bukan berarti ia tak pernah diajak berdansa dari awal memanjakan kaki di sini. Beberapa pria muda pernah mengajaknya berdansa. Namun Joy mana tahu cara berdansa waltz. Jadi semuanya dirinya tolak dengan alasan tak enak badan.
Mungkin seharusnya Joy tidak boleh beralasan seperti ini. Kini ia bahkan tidak mendapatkan satu pun pasangan mengobrol. Sungguh membosankan. Joy melipat balik kipasnya. Ia menatap prasmanan berisi makanan ringan tak jauh dari tempat duduknya. Berpikir untuk mengambil beberapa potongan macaron.
Gadis itu berdiri merapikan sedikit gaun muslinnya yang berwarna biru muda, lantas mengambil piring.
"Oh, Mr. Hall. Masuklah!" suara ramah Viscount Blackborough terdengar dari pintu depan.
Tubuh Joy seketika kaku, lehernya meregang. Ia dengan susah payah menggerakkan lehernya memandang pintu depan. Benar saja, pria sialan itu langsung memasuki penglihatannya bersama Viscount yang tengah asik membincangkan sesuatu dengan Hall.
Joy menelan ludah. Apa pria menyebalkan itu benar-benar bermaksud tidak sedikitpun memberinya waktu bersenang-senang?! Memaksa mengundurkan niatannya melabrak Hall, Joy meletakkan dengan asal piring kecilnya lantas bergegas membelakangi keduanya.
Ia menatap sekeliling hanya untuk menyadari sofa tempatnya duduk tadi kini telah dipenuhi para lady, mama orang yang senang bergosip ria. Sudut kirinya, mr. White pria tua kutu buku tersebut menyudut menatap koridor. Sementara sisi kanannya, para gadis yang tidak dikenalnya berbisik-bisik ria. Sial! Semua pilihan begitu menyesakkan.
Joy gelagapan berputar antara kiri dan kanan, sementara suara ke-dua lelaki itu makin mendekat. Joy mengerang dalam hati, menghentikan kaki menentukan pilihannya. Joy melangkah selebar mungkin. Berusaha tersenyum menyapa pak tua Mr. White seraya bersikap sewajar mungkin, memungguni arah kedatangan Hall.
"Selamat sore mr. White," sapa Joy kaku.
Lelaki bundar itu menoleh. Alis tebalnya mengernyit, heran akan kedatangan gadis itu.
Demi menunjukkan antusiasnisme, Joy berpura-pura memaksakan senyuman girang dan binar ingin tahu ala-ala anak remaja.
"Kudengar anda seorang ahli buku-buku. Ada beberapa bagian yang saya kurang pahami." Joy membungkuk sopan santun. "bisakah anda menjelaskan pada gadis kurang cakap ini, beberapa bagian dari puisi yang telah saya baca?" katanya bersikap manis.
Mata kelabu pria paruh baya pendiam tersebut berkilat. Segera, tubuh beratnya langsung berhadapan dengan Joy.
"Dimana? Bisakah kau perlihatkan bukunya?"
Joy tersenyum berpikir keras. Ia melirik ke dalam ruangan. Bagus! James Hall telah memalingkan tubuhnya memungguni koridor. Ini kesempatannya! tapi anehnya, James Hall berbalik, seperti mencari. Jantung Joy hampir copot, secepat kilat pula ia mengubah posisinya, kini sepenuhnya memungguni.
Joy tertawa kaku, "tentu," otaknya mulai berkerja keras memikirkan tumpukan buku yang pernah dirinya baca dari lahir hingga sekarang. hasilnya nihil! Ia tidak memiliki minat mengoleksi satupun buku puisi. Joy hanya dapat menggabungkan semua bait puisi dari novel yang pernah dirinya baca. Alhasil Joy mendapati dirinya ditatap dengan tatapan menemukan hewan buruk rupa.
"Miss Cunningham, darimana anda mendapatkan puisi ini?" tanyanya serius.
"Er . . . . Sepupuku dari Jerman memberiku buku tersebut. Kenapa?"
Sekali lagi Joy diam-diam melirik ke dalam Ballroom. James Hall tengah di sibuk kan dengan obrolan beberapa pria bangsawan tua. Firasatnya mengatakan ini kesempatannya atau tidak, dirinya akan terjebak dalam lingkaran puisi terkutuk tanpa akhir tersebut.
Joy berpura-pura mendengar panggilan namanya dan menyahut. "Apa?" Ia menoleh menatap Mr. White.
"Maaf, sir. Saya sangat menyesal obrolan menyenangkan kita harus berakhir disini. Sepertinya mama memanggilku pulang." Ia memberinya bungkukan hormat sempurna.
Joy bergegas hampir mirip lari dari kenyataan. Cara berjalannya menuju dalam ruangan yang penuh suara obrolan. Joy membelah lautan org masih dengan berusaha tidak memperlihatkan wajah dengan menunduk. Ia sempat bertubrukan dengan beberapa gadis yang tentu saja dirinya harus berakhir disindir. Pesetan. Ia tidak mengambil pusing. Tujuan utamanya adalah segera keluar dari tempat berbahaya ini.
...To be Cintinue . . . ....