🕊Jangan terlalu berekpetasi tinggi karena akan mendapat kekecewaan setelahnya🕊
Sebuah mobil berwarna putih dengan desain mewah sudah terparkir di halaman bandara yang terbilang cukup luas ini, terlihat dua orang di dalam mobil sedang mendiami satu sama lain tepatnya perempuan itu masih kesal dan malu soal kejadian beberapa saat yang lalu menimpanya hingga membuat telat 30 menit dan mereka yakin bahwa semua keluarganya akan meledeki habis-habisan karena pasti akan berpikir yang tidak-tidak.
Di tambah saat keduanya telah siap dan selesai mobil yang memang sudah di sediakan di untuk penginapan mengalami bocor dan harus di tambal hingga memerlukan waktu sekitar 25 menit.
"Semuanya gara-gara Bapak!"
"Kok saya."
"Kalau Bapak nggak ikut-ikutan tidur kita nggak akan kesiangan hampir satu jam tau nggak sih."
"Kamu juga lah."
"Nih ya, saya kan pertama izin sama Bapak untuk tidur terus Bapak berenang kan makanya iya-iya aja terus saya juga minta untuk Bapak bangunin saya bukan malah ikut-ikutan tidur jadi yang salah siapa."
"Tetep kamu, kamu inget kan tugas istri itu selalu melayani dengan baik suaminya."
Allura mencebikkan bibirnya kesal dengan mengkerutkan keningnya seraya menatap tajam sosok di sampingnya yang sedang memainkan ponselnya dengan seperti biasa menunjukkan tampang datar dan tidak berdosanya.
Karena terlalu kesal, Allura menghembuskan napas kasarnya seraya kedua tangan kecil putihnya membuka knop pintu mobil lalu turun dengan hentakkan kuat saat menutup pintu mobil hingga menimbulkan decitan dan terkejut dari sosok di sampingnya ingat Allura melihat Saskra masih dengan menampilkan wajah watadosnya.
Melihat istrinya keluar membuat Saskara berdesis kesal dan segera menyusulnya, "ko kamu marah. Yang salah kan kamu."
"Kan Bapak yang bimbing ko salahin saya!"
"Tapi tugas istri kamu harus ingat Allura."
"Nggak ada yang kayak gitu, ngeles aja kek bajai."
"Saya bukan bajai."
"Yang bilang Bapak bajai siapa? Setan?"
"Intinya tetap kamu yang salah."
"BODOAMAT, saya cape debat terus. Ayuk Pak udah di tunggu Clara telpon saya terus."
Dengan perasaan kesal karena harus kesiangan dan membuat mereka telat makan siang Allura tanpa memerdulikan Saskara yang tertinggal di belakang terus mempercepat langkahnya hingga sebuah cekalan tangan dengan kasar menarik ujung baju perempuan itu, "akh! Ngapain sih narik-narik! Saya masih kesel sama Bapak saya nggak mau jalan dampingan sama Bapak pokoknya!"
"Siapa bilang jangan GR kamu."
"Terus Bapak ngapain tarik-tarik saya? Masih bisa ngeles."
Saskara menghela napasnya kasar seraya memberitahukan ke hadap wajah Allura yang menampilkan seseorang menelepon bernama Bunda membuat wajah perempuan itu memerah malu, "Bunda mau denger suara kamu."
"Makanya kalau punya mulut ngomong."
"Kamunya aja GR."
"Siapa coba, tadi kan saya hanya memberikan argumen saya."
"Alah-alah ngeles aja ke bajai."
"Itu kata-kata saya loh Pak enak aja main ngambil."
"Cape saya debat sama kamu."
"Apalagi saya, untung saya masih muda jadi nggak punya darah tinggi. Aman sentosa."
"Terus saya tua?"
"Bhuak, Bapak yang bilang loh bukan saya."
"Banyak omong, cepet ini ngomong hallo sama Bunda."
Dengan ekspresi masih sama sangat kesal terhadap sosok di sampingnya tanpa halus dengan mengambil ponsel milik laki-laki itu dengan kasar dan menempelkan di telinga tertutup hijabnya, "hallo Bunda."
"Alhamdulillah kamu baik-baik saja."
"Loh kenapa emangnya Bunda."
"Bunda takut aja anak itu malah ninggalin kamu."
"Tenang aja Bunda, sebelum Pak Saska ninggalin Aura, Aura yang duluan ninggalin dia."
"Jangan dong, kalian harus sama-sama."
"Nggak mau sama kadal ah Bund."
"Kadal siapa?"
"Eh maksud Aura ya sama Pak Saska hihi."
Allura terkekeh dengan barusan yang di katakan dirinya, sepertinya julukan 'kadal' cocok dengan sosok laki laki yang sifatnya berubah rubah persis sekali dengan kadal.
"Inget pesan Bunda, walaupun kalian itu menikah hanya karena perjodohan tanpa cinta tapi harus saling bersama-sama agar dapat mengenal satu sama lain. Sekarang kasih ponselnya sama anak itu."
Allura langsung memberikan ponselnya kepada Saskara dengan tanpa sadar selama berjalan sedaritadi menuju tempat keluarga dirinya dan laki-laki itu di pandang banyak mata dari mulai kaum adam hingga kaum hawa, sungguh Allura yang di tatap seperti itu sangat risih perempuan itu juga merutuki dirinya sendiri karena lupa memakai cadar di tempat umum, ya Allura memang belum sepenuhnya bercadar namun perempuan itu akan bercadar di tempat umum kecuali kuliah karena belum siap.
"Gulungin."
"Apaan?"
"Baju saya."
"Kan bisa gulung sendiri jangan nyuruh-nyuruh ah."
"Saya lagi telpon."
'Alasan mulu lo kadal.'
Lagi dan lagi Allura menghela napas panjang dan sedikit kasar karena kenapa selalu bertengkar dengan Saskara tidak pernah ada kata damai kecuali tadi malam namun memang agak sedikit ngeselin cuman nggak ngeselin kayak sekarang.
Dengan telaten kedua tangan putih nan mungil itu menggulung sebelah kemeja laki-laki itu karena memang benar dan Allura harus merutuki siapapun yang menelepon Saskara ketika sedang di jalan seperti ini.
Hari ini Saskara mengenakan baju stripe biru garis putih dan hitam di padukan celana bahan hitam yang mencolok banyak indra kaum hawa tak terkecuali perempuan yang sedang menggulung sebelah tangan lagi laki-laki itu yang sudah dengan sigap memindahkan ponselnya ke telinga sebelahnya.
Allura terdiam dan sempat kaget karena tangan besar laki-laki itu sangat membuatnya tidak bisa berkedip bahkan hampir jatuh, ya mereka sedang berjalan.
Tangan besar itu sangat lembut dengan bulu halus melekat warna kulitnya tidak beda jauh dengan dirinya yang membuat Allura merutuki dirinya karena jangan sampai kalah saing dengan Saskara yang notebenenya laki-laki.
Setelah selesai kedua kemeja itu telah tergulung hingga siku tanpa sadar mereka telah sampai ke tempat yang bernama kantin bagian luar bandara dan mata perempuan itu melihat keluarganya dan keluarga Saskara sedang makan seraya seorang anak kecil yang sudah memikat hatinya menghampiri dan langsung memeluk kaki jenjang tertutup gamis Allura.
"Buna! Cala cangen Buna."
Allura terkesiap hingga hatinya berdesir lembut, badannya membungkuk dan langsung menggendong balita gembul berumur 3 tahun itu seraya balita itu mengkalungkan kedua tangan mungilnya pada leher Allura seraya mengecup pipi perempuan itu, "Cala sayang Buna. Cala au itut Buna ndak au cama Oma dan Opa puyang."
"Loh, kenapa? Kasihan masa nanti Oma dan Opa kesepian di rumah."
"Ndak au Buna, Cala au cama Buna, egang dahi Cala, Cala anas au cama Buna aja."
Allura lalu mengubah gendongan Semesta menjadi satu tangan dan memang benar, kondisi tubuhnya sedikit demam lalu matanya melirik laki-laki yang masih setia menelpon membuat Allura memutar bola matanya lalu mencubit pinggang laki-laki itu cukup keras.
"Gila ya kamu!"
"Bapak yang gila, anak sakit malah masih sibuk nelpon, telpon siapa sih! Pacar."
"Kepo."
"Memangnya telpon dari orang itu lebih penting daripada anak Bapak sendiri yang lagi sakit nih. Bisa-bisa nya almarhumah Laras nikah sama Bapak."
14.55🕊
#maaf kalau ada typo🙏🏻