Chereads / Schicksal / Chapter 21 - Gitu aja debat

Chapter 21 - Gitu aja debat

🕊Hubungan kita hanya status🕊

Setelah selesai berpamitan hingga punggung mereka satu persatu hilang dari penglihatan mereka, Allura menoleh ke arah laki-laki yang masih tidak bergeming dan masih serius dengan ponselnya sedangkan Semesta sudah sedikit mengantuk namun suhu tubuhnya masih sama.

Lantas tangannya menangkup tubuh mungil yang di lapisi jaket itu untuk menyalurkan kehangatan.

"Semesta udah makan?"

Semesta menggeleng lemah, hari ini Semesta sangat tidak ceria membuat Allura sedih. Perempuan itu menarik napas karena bisa-bisanya laki-laki di sampingnya tidak perduli sama sekali dengan anaknya yang sedang sakit.

"Pak! Makan yuk laper! Kasihan Semesta juga belum makan, lemes. Gimana sih anak lagi sakit bukannya perhatian kasih obat kek apa kek katanya Dokter tapi kok nggak menjalankan sumpahnya."

Saskara yang fokus dengan ponselnya menghela napas kasar menatap tajam Allura, "saya nggak mau debat."

"Siapa yang debat Pak, saya ngajak Bapak buat makan karena Semesta perlu makan dan obat. Bapak kan dokter masa nggak inisiatif, ini anak sendiri loh."

"Dengan kamu bicara kayak gitu membuktikan kamu ngajak saya debat."

"Pak, ini bukan pemilihan presiden pake debat segala, cepet cari makan ayuk."

"Sendiri sana!"

"Saya nggak bawa dompet, memangnya Bapak nggak makan? Badan kecil cacingan."

Sebenarnya setelah mengucapkan kata itu Allura meringis sebentar karena Saskara sama sekali tidak memiliki badan kecil layaknya orang cacingan bahkan menurut perempuan itu badan Saskara sangatlah ideal tidak kurus dan tidak gendut dengan otot-otot sedikit terbentuk dan tercetak di balik kemejanya.

"Heh nggak ngaca, kamu tuh liat."

"Ya saya ngaca lah maka dari itu saya makan."

"Iya makan tapi nggak gemuk."

"Dasar cepet Pak ayuk di sana aja biar habis dari sini langsung shalat terus pulang."

Saskara hanya mengangguk sambil mengekori Allura dengan badan mungil itu sedang menggendong anaknya yang badannya gembul lucu besarnya di depan menuju restaurant bernama tradisional khas Batam.

Mereka pun memilih satu tempat dengan satu meja dan dua kursi karena ramainya tempat hanya tersisa itu saja, Allura melihat sekeliling berniat memanggil pelayan perempuan yang tengah menatapnya ah tepanya semua pengunjung yang berada di restaurant ini dengan mata memandang suka lak-laki di sampingnya siapa lagi kalau bukan Saskara.

'Sok ganteng deh, di depan orang kalem cool hih enek gue.'

Allura segera memanggil pelayan yang melihatnya barusan, dan betapa jengahnya perempuan itu hingga memutar bola matanya saat mata hampir keluar itu terus menatap kagum sosok laki-laki sok ganteng di sampingnya. Rasanya Allura ingin mencoel bola mata perempuan itu.

"Mbak, ada kursi yang biasa buat anak-anak nggak mbak?"

Pelayan itu tetap tidak bergeming, diam-diam Saskara terkikik geli melihat raut wajah kesal Allura yang di cuekin oleh pelayan di hadapannya, "Mbak! Denger nggak Mbak, kasihan anak saya."

Saskara yang mendengar perempuan itu menyebut Semesta dengan sebutan 'anak saya' entah kenapa seperti ada sesuatu di dalam dirinya terutama hatinya, seperti ingin menyetujui namun enggan, ingin bahagia namun gengsi dan sepertinya hatinya menghangat namun tidak ingin mengakui. Saskara buru-buru menepis perasaan nggak masuk akal itu dari hati dan pikirannya seraya memfokuskan diri kepada ponselnya.

Pelayan itu tersentak membuat Allura meringis, "maaf Mbak pesen apa?"

"Mbak saya tanya ada bangku yang biasa anak-anak atau balita suka pakai."

Pelayan itu menggeleng membuat darah Allura mendidih sudah lama-lama di abaikan saat di respone malah nggak ada sungguh sakit, "yaudah minta menu makan."

Pelayan itu mengangguk sambil memberikan beberapa kertas yang tertampang banyak menu makan dan minum, Allura mengambil semua kertas dan melihat-lihat ingin memesan apa dengan sesekali melirik Saskara yang terdiam tengah menatapnya membuat perempuan itu risih, "Pak, mau pesen apa. Saya takut mahal, mending Bapak yang bilang terserah Bapak."

Saskara yang mendengar suruhan perempuan itu meneguk salivanya tiba-tiba gugup karena sebenarnya saat sekilas melihat menu tanpa gambar itu laki-laki itu tidak mengerti sama sekali karena jujur Saskara belum pernah ke batam dan ini adalah kali pertama.

"Kamu aja."

"Lah, kan duitnya duit Bapak masa saya sih, cepet Pak keburu siang nih sebentar lagi adzan."

Saskara tidak perduli seraya mengambil ponselnya berusaha untuk meyibukkan dirinya, Allura yang melihat jelas sangat kesal, "Pak, cepet pesan ih."

"Kamu saja saya males ngomong."

'Kadal bilang aja lo nggak tau apa-apa sama makanan Batam.'

Allura mendengus kesal seraya mengerucutkan bibirnya ke depan, "Buna ucu ih Cala emes cama Buna."

Perempuan itu langsung menoleh ke arah sumber suara dan melihat sudah bangun ternyata, "maafin Buna ya, Semesta jadi bangun."

"Ndak apapa Buna."

Pelayan itu tersenyum, "jadinya pesen apa Mbak, Mas?"

"Nggak ada bubur ya Mbak?" pelayan itu menggeleng, Allura mengangguk, "pesan sop ikan batam 2 sama nasi, mie tarempa 1, sama otak-otak batamnya."

"Minumannya apa Pak?"

"Terserah kamu."

"Aish, terserah-terserah bilang aja nggak tau," Pelayan itu tertawa melihat perdebatan kecil di hadapanya, "saya pesan air kobokan 1 sama air hujan 1 minum hangat air putihnya 2."

Laki-laki yang tengah fokus terhadap ponselnya langsung menegakkan badannya mendengar pesanan tidak masuk akal yang terlontar dari bibir perempuan itu.

"Apa-apaan kamu kenapa pesannya begitu."

"Kata Bapak terserah, yaudah saya pesan sesuai pesanan Bapak."

"Nggak ada akhlak kamu ya."

"Yaudah saya mah ngalah yang muda, maaf ya Pak."

Allura minta maaf seraya menjulurkan lidahnya layak seperti anak kecil membuat Semesta tertawa dan ini adalah kali pertama Saskara melihat anaknya tertawa di depannya membuat laki-laki itu ikut tersenyum tanpa sadar namun dengan buru-buru mengembalikkan raut wajahnya seperti semula namun sayang Allura sudah merekam semuanya.

"Gengsi banget tinggal senyum pake di tahan udah kek mau boker aja."

Saskara melirik tajam ke arah Allura yang sedang menatap tampannya Semesta saat tertawa, "Semesta anak Buna kalau ketawa tau tempat dong."

"Tenapa?"

"Ganteng nak kamu."

"Buna cih uwat Cala tawa, Buna yucu ayau belantem cama Abi."

Allura terkekeh, pelayan itu setelah sudah mencatat pesanan menatap Allura, "Mbak, minumnya jadinya gimana?"

"Oh iya lupa, saya pesan air hangat dua gelas sama juz jeruk 1. Oh iya mbak, saya minta tolong sebelum makanan yang lain matang bisa tolongin saya?"

"Apa mbak?"

"Anak saya lagi sakit, dan nggak ada bubur. Jadi tolong boleh nggak mba, nasi lembek panas setengah mangkok tapi sudah di airin panas setengah aja sama minta garam dan sayur bayam. Ada nggak kira-kira?"

Pelayan itu mengangguk, "ada kok Mbak, yasudah saya pesankan dulu."

Pelayan itu lalu melirik kembali wajah tampan Saskara, "Mas ini siapanya Mbak dan anaknya?"

"Sopir saya."

"Tukang kebon."

Pelayan itu tertawa karena jawaban mereka yang berbeda dan tidak masuk akal sama sekali, "ada-ada aja yang bener apa toh."

"Ya intinya kita muhrim mbaknya, mbak bisa cepat tidak kasihan anak saya." Pelayan itu mengangguk seraya tersenyum, "nggih mbah, maaf ya mbak sebentar."

Allura terus menepuk pelan bokong Semesta yang sepertinya sekarang menjadi kenyamanan bagi balita tampan itu, dengan sesekali tangannya memeriksa kening Semesta yang masih terasa demam, "Semesta apa yang sakit?"

"Tenggolokan Cala atit, teyus muyut Cala ugha ndak enak anas. Badan Cala ingin Buna."

Suara parau dan lemas Semesta membuat kedua mata Allura memerah karena melihat wajah pucat dan mata sayu khas seperti orang sakit yang terpancar di raut wajah anak sambungnya. Allura semakin mengeratkan pelukannya berharap rasa panas dan sakit yang di alami Semesta berpindah sambil menggumamkan shalawat.

22.46

#maaf typo