🕊Menerima dengan lapang dada itu bagaikan sudah di tusuk ribuan kali, berbekas.🕊
Saskara yang mendengar mendiang istrinya di sebut oleh perempuan yang membuatnya kesal menjadi berada di titik puncak kemarahan, "dasar bocah! Jangan sebut nama istri saya dengan mulut nggak tau diri itu!"
Allura terdiam dengan tubuh mematung dan mata sedikit berair lantas tanpa sadar Semesta yang berada di gendongannya mengeratkan pelukannya sambil tangan kecil itu mengusap punggung Allura, "Buna yuk cucul Oma dan Opa. Abi mang jhahat, Cala ugha ndak pelnah ngomong cama Abi. Tatanya Cala uma buyat Abi angis teyus."
Allura mengangguk meninggalkan Saskara yang masih sibuk telponan dengan siapa perempuan itu tidak perduli sama sekali karena masih kesal dengan beberapa kalimat tajam yang terlontar dari mulut Saskara, sebenarnya perempuan itu tidak menangis hanya kecewa dan mengingatkan pada masa lalu.
"Haduh aura pengantin baru ya."
"Ngapain aja ampe telat berapa nih."
"Hampir 1 jam kita nungguin apalagi Sala nyariin Bunanya terus."
"Sala gercep banget ya langsung ke Bunanya."
Hingga tanpa sadar laki-laki itu telah di samping Allura yang pandangan perempuan itu tertutup karena kepala Semesta menghadap ke arah tempat laki-laki itu berdiri, pandangan perempuan itu menatap manik mata abu-abu balita laki-laki yang masih setia memeluknya, "benar Semesta nyariin aku?"
"Buna ih Cala tan udah ilang talau tamu Buna Cala cekarang. Teyus tenapa manggil Cala tetep Cemesta."
Semesta menggerutu di telinga tertutup hijab Allura membuat perempuan itu gemas hingga mengeratkan pelukannya, "karena kamu adalah Semesta nya Ka Aur—a—eh Buna."
Semesta yang tidak mengerti hanya menganggukkan kepalanya membuat Allura gemas.
"Telat kenapa?" tanya Leena seraya menyuruh mereka untuk duduk terlebih dahulu. Allura dan Saskara duduk bersebalahan dengan perempuan itu masih menggendong Semesta yang enggan melepaskan dari tubuh Allura yang berbau sama dengannya, minyak telon.
"Nih tanya sama Pak Saska."
"Cape Tante." Jawab singkat dan padat tanpa kejelasan seperti biasa.
"Umma dong kenapa masih panggil Tante, hm?" Saskara mengangguk.
'Dasar kadal jadi-jadian.'
"Udahlah nanya sama Saska lama mending nanya Leena, mendinga sama Aura anak kamu, abis ngapain sampe kita nuggu lama."
Allura terkekeh dan rasanya ingin tertawa namun harus di tahan karena masih ada banyak sanak saudara, "Maaf ya buat semuanya, kita kecapean jadinya tidur lagi setelah shalat subuh sekitar jam 8 eh blablas sampe jam 11 pas mau berangkat si kadal eh Pak Saska malah tidur susah di bangunin pas udah bangun katanya nggak mau mandi eh ikut-ikutan juga mandi."
"Wah bakal dapet cucu cepet ini." Goda Ceysa membuat Saskara memelototinya sedangkan Allura terdiam dengan tubuh kaku tidak perduli Semest yang sedang mengoceh.
"Allura aja masih kuliah baru awal juga." Elak Saskara membuat Allura menghembuskan napasnya lega.
"Ya nggak papa, nggak ada penghalang kan kalau di kasihnya cepet ya toh mau bagaimana."
"Bunda." Tegas Saskara dengan mata tajam membuat Allura yang melihat itu memutar bola mata seraya berdecak, emangnya gue mau begituan sama kadal, hih.
"Umma mau nimang cucu."
Allura terdiam dengan mata sedikit melotot melihat Leena dan Ceysa sedang berbisik, "Kan udah ada Semesta, Umma."
"Maunya cewek dari kamu."
"Umma kan udah punya anak 2 masa mau punya cucu cewek juga seharusnya cowok."
"Yaudah buat adonannya cowok ya."
"Iya nanti Aura buatin."
"Beneran?"
"Iya Buna, timbang tepung campur air kasih perwarna hitam aja susah. Kan cowok khasnya item kalau cewek adonannya pink kan."
"Bukan adonan itu."
"Tadi katanya adonan Umma."
"Udah, katanya mau pulang." Titah Saskara mengintrupsi perdebatan yang membuat kepalanya pusing. Para keluarga Allura dan Saskara mengulum senyum, "oh mau berduaan ya sama Allura."
Ceysa terkekeh, "yuk Sala sama Oma, kasihan Ayah sama Buna mau makan dulu." Namun Semesta menggeleng dan terus mengkaitkan kedua tangannya mengalung ke leher Allura membuat perempuan itu tersenyum, "Buna, ujuk Oma, Cala tan tadi yuda biyang cama Buna Cala atit." Allura mengangguk sambil tertawa dengan sifat polos dan cerewet balita 3 tahun yang berbeda jauh banget sifatnya dengan sang Abi mungkin menuruti almarhumah Bundanya.
"Bunda, tadi Semesta bilang sama Aura mau sama Aura aja lagipula sepertinya Semesta sedikit tidak enak badan."
"Masa sih sayang." Ceysa mendekat sang cucu lalu mengecek dahi dan benar badan balita itu sedikit demam, "mungkin kecapean kalau harus pulang sekarang padahal baru kemaren." Allura mengangguk.
"Jadi nggak papa kalau disini Bun sama Aura dan Pak Saska."
Kana mengangguk, "memangnya tidak papa? Nggak mengganggu kalian."
Malah bagus kalau ada Salah Yah, nggak akan namanya ancaman.
"Iya nggak papa, sekalian pendekatan sama Semesta kan Yah setelah menjadi ibu sambungnya."
Mereka mengangguk mematuhi. Lalu matanya tiba-tiba di tatap tajam laki-laki berumur 40 tahunan yang mengerti maksud dari tatapan itu bahwa Nazia ingin berbicara dengannya empat mata, Allura menghela napas, "Semesta sama Nenek Leena dulu ya, Buna mau ngomong sama kakek."
"Angan ama-ama ya Buna. Cala ndak mau kepicah agi." Allura tersenyum simpul menatap mata abu-abu itu, "iya Semesta."
Nazia lalu pergi lebih dulu meninggalkan mereka di susul dengan perempuan bergamis dengan mengekori di belakang menuju tempat yang lebih jauh agar tidak kedengeran oleh banyak pasang telinga, Allura terus merasakan deg-degkan dengan sesekali berpegangan dadanya karena gemuruh itu hadir lagi Aura, bisa, lo bisa tanpa harus minum oke.
"Aura, denger Abi. Sekarang kamu sudah menjadi istri dan ibu sambung untuk Sala, Abi mohon jaga sikap kamu jangan seperti anak kecil lagi, jangan banya ngeluh kalau melakukan tugas rumah, jangan males-malesan, belajar masak mulai sekarang dan jangan apa-apa sakit yang repotin semua orang. Denger ya apa kata Abi."
Allura mengangguk mematuhi kata Nazia tanpa ingin menyela perkataan sang Abi yang sebenarnya ingin sekali perempuan itu katakan bahwa selama ini dirinya tidak seperti yang pria paruh baya di hadapan itu pikirkan. Allura terus menunduk tidak ingin mata tajam Nazia menusuk retinanya yang sendu berbarengan dengan kepergian pria paruh baya karena sudah mendegar pengumuman bahwa pesawat akan berangkat sebentar lagi.
Perempuan itu menghela napas lalu menarim napas dalam-dalam seraya membuangnya berusaha untuk menetralkan semuanya, lalu perempuan itu langkahkan kakinya kembali menuju tempat dimana keluarga dan keluarga Saskara menunggu. Allura langsung mengambil alih Semesta kedalam gendongannya.
"Kita pamit ya, jaga istri kamu yang benar Saska."
"Awas kalau sampe menantu Bunda kenapa-kenapa abis kamu Sas Bunda ruqiyah."
"Sayang, Umma pamit ya."
"Ka Aura, Aira pamit ya. Kita tunggu di rumah sama Mas Saska dan Sala ya!"
"Abi, pamit ya."
00.00🕊
#maaf kalau ada typo🙏🏻