Besok adalah hari Sabtu dan Savira memutuskan untuk pulang ke rumah ibunya sampai hari Minggu sore. Bukan karena menghindari Raga, melainkan dia ingin menemui ibunya karena sejak tadi malam menyuruhnya untuk pulang ke rumah sebentar.
"Jadi kamu belum punya calon buat dikenalin sama Ibu?" tanya ibunya yang sedang memasak di dapur. Sementara Savira sedang membersihkan kepala taoge dari badannya di meja makan.
"Belum."
"Kamu gak mau bikinin ibu cucu, Vir?"
"Bu?! Suami aja gak punya, bikin cucu gimana coba?"
Ibunya kemudian diam, ia menghidangkan mie rebus untuk anaknya yang baru saja sampai di rumahnya.
Ia merebut taoge yang dipegang oleh Savira kemudian menyingkirkannya dari anaknya tersebut.
"Makanya cari." Ibunya duduk kemudian menatap ke wajah Savira penuh harap.
"Belum ada yang cocok Bu."
"Nunggu cocok dulu ya?" sindirnya.
Savira diam kemudian menyeruput mie rebus buatan ibunya tersebut. Ia menyesapnya sampai tandas.
"Jadi ke sini cuma disuruh buat nikah aja?"
"Ya apalagi, kalau minta uang juga udah kamu kasih."
"Nanti Bu, sabar. Savira mau liat-liat dulu."
"Jangan kebanyakan liat, kamu keburu tua. Keriput gak cantik lagi, terus kamu juga nanti susah hamil."
Savira menghela napasnya. Ibunya memang selalu seperti itu, membicarakan satu hal yang bisa melebar sampai ke mana-mana.
"Pokoknya kalau kamu gak bisa cari, ibu mau jodohin sama Rinaldi titik."
Seperti divonis hukuman mati kedengarannya, bagaimana ibunya memutuskan begitu saja seakan anaknya itu menyukai Rinaldi yang ia pikir mirip dengan Song Joong Ki.
Usai makan Savira masuk ke dalam kamarnya, ia merebahkan tubuhnya dengan merentangkan kedua tangan dan kakinya. Sangat bebas dan menyenangkan.
Savira meraih ponselnya dengan ujung jempol kakinya. Ketika melihat siapa yang menghubungi ternyata dia adalah Raga.
"Kamu gak pulang?" tanya Raga di ujung telepon.
"Aku di rumah ibuku sampai besok, kenapa?"
"Gak apa-apa, kirain belum pulang."
"Khwatir?" goda Savira.
"Dikit."
Savira kemudian terkekeh.
"Kirain gara-gara semalam kamu jadi gak nyaman," ucap Raga ragu.
Savira tercenung. Hal itu malah membuatnya ingat lagi.
"Enggak kok, kamu tenang aja." Savira membenarkan duduknya seolah Raga ada di depannya saat ini.
"Kamu gimana di sana? Lancar dengan kerjaannya? Mereka udah gak ganggu kan?"
"Enggak."
"Bagus kalau gitu."
"Pulang kapan? Biar aku jemput?"
Savira tergelak.
"Mau jemput sampai sini gak?" godanya lagi.
"Kasih aja alamatnya, aku berangkat pagi-pagi kalau rumah ibu kamu jauh."
"Gak usah, nanti kamu capek."
Dan tanpa sadar obrolan itu berlangsung sampai setengah jam. Percakapan di telepon yang lumayan lama, dan sudah lama Savira tidak melakukan telepon selama itu.
"Kamu tidur sana." Savira akhirnya mengakhirinya.
"Iya."
Dan ketika menutup teleponnya. Ada hal aneh yang ia rasakan pada diri Raga. Tetapi dia tidak pernah menyadarinya sampai lelaki itu mengatakannya sendiri tadi malam. Kalau dia nyaman dengan Savira.
"Pantes aja dia perhatian," gumam Savira.
"Tapi ibuku gak suka aku pacaran sama lelaki yang lebih muda dari aku," desahnya pelan.
**
Raga mengambil minuman yang ada di dalam kulkas. Sebelum akhirnya mendengar suara berdebam dari ruang tamu.
Ketika dia berlari demi melihat apa yang baru saja terjatuh, dia melihat Dina sedang tersungkur di atas lantai.
Entah dia terjatuh atau mabuk lagi, tapi Raga langsung membantunya berdiri.
Ia memapah tubuh itu dan membawanya menuju kamar Dina.
"Kamu jahat," rutuk Dina.
"Kamu mabuk?" tanya Raga.
"Gara-gara kamu."
Raga diam.
"Kenapa kamu suka sama dia, kalau ada aku yang masih muda suka sama kamu?" tanya Dina seperti meracau.
"Udah kamu tidur aja, jangan bilang yang aneh-aneh. Savira pasti marah kalau lihat kamu begini."
"SAVIRA LAGI?!" teriakan itu memekakkan telinga Raga. "Bisa gak sih gak perlu sebut nama dia kalau lagi sama aku?!"
Raga menghela napasnya, tangannya hendak meraih engsel pintu tapi dia merasakan sesuatu menimpuk kepalanya.
Ketika ia menoleh sebuah bantal sudah melayang ke wajahnya.
"Kamu mabuk berat, Din."
"Aku mabuk gara-gara kamu!"
Raga mengambil bantal tersebut lalu meletakkan ke atas kasur tipis milik Dina.
Tangan Raga dicekal oleh Dina kemudian menarik lelaki itu ke arahnya.
Dina menangis tersedu sambil menatap wajah Raga.
"Kamu jahat, kamu jahat banget." Kalimat itu terus keluar dari mulut Dina.
"Kamu mabuk,kita omongin besok aja."
"Mabuk gak mabuk kamu tetep nolak aku," desis Dina.
"Kenapa kamu harus suka sama aku?"
"Kenapa kamu harus suka sama Savira?"
Raga diam.
"Gak bisa jawab kan? Perasaan itu bukan logika, Raga."
Raga lantas duduk di samping kasur Dina. Dilihatnya gadis itu yang kemudian mulai berangsur tenang.
Dengan kepala bersandar ke tembok Dina masih memandang Raga.
"Kamu lain, kamu aneh. Tapi aku suka."
Raga mendengarkan ucapan Dina dengan seksama.
"Tapi kamu malah suka sama Savira yang kamu panggil tante."
Perlahan suara itu menjadi pelan dan samar sebelum akhirnya Dina terjatuh ke atas kasurnya.
Raga bangkit kemudian membenarkan posisi Dina. Bahkan dia memberikan selimut pada gadis seumurannya itu.
Padahal jika dilihat lagi Dina sebenarnya cantik. Tapi hanya sampai sana saja, karena Raga tidak memiliki perasaan yang lebih untuk gadis itu.
Ia malah lebih tertarik pada perempuan yang sering ia panggil tante.
Dina membuka matanya tiba-tiba, ia merengkuh leher Raga kemudian menariknya ke dalam pelukannya. Ia kecup bibir Raga dengan sengaja.
Mata lelaki itu membulat ketika menyadari perbuatan dari Dina. Ia segera melepaskan tangan Dina kemudian keluar dari kamarnya.
"RAGA KAMU JAHAT!" teriaknya lagi kemudian senyap.
**
Pagi terasa canggung ketika tanpa sengaja Raga turun dari tangga disusul oleh Dina yang baru saja keluar dari kamarnya. Keduanya saling bertemu pandang sebelum pada akhirnya membuang wajah mereka karena kejadian tadi malam.
Memang Dina tak mengingat seluruh kejadiannya, tapi jika dilihat wajah Raga pagi itu, ia yakin jika dirinya sudah melakukan kesalahan tadi malam.
Dina diam dan juga Raga. Hari ini jadwalnya untuk mengunjungi ibunya di apartemennya. Sementara Dina akan seharian di rumah karena libur.
Tanpa kata-kata Raga keluar dari rumah, bahkan tak pamitan pada Dina. Membuat Dina semakin merasa tidak enak.
"Pasti semalam aku udah keterlaluan," ucapnya.
Ia mencoba mengingat-ingat apa yang terjadi tadi malam. Otaknya ia paksa agar ingat kejadian yang membuatnya merasa lebih canggung dengan Raga.
"Astaga!" pekik Dina sambil menyentuh bibirnya.
"Aku gak mungkin lakuin itu, kan?" tanyanya lagi.
Di kepalanya teringat jelas jika tadi malam dia mencium Raga. Ya, dia yang mencium bukan Raga. Hingga membuat lelaki itu mendiamkannya seperti tadi.
"Tapi โฆ."
"Kalau aku bilang sama Savira pasti dia gak akan suka sama Raga kan?" bisiknya pelan.