Chereads / Satu Dasawarsa / Chapter 7 - Tipu Muslihat Savira

Chapter 7 - Tipu Muslihat Savira

"Raga Prameswara kamu kan yang mau bujuk dia buat mau jadi model kita bulan ini," kata Manajernya.

"Apa?!"

Savira harus membujuk lelaki tak sopan dan sombomg itu?

"Pak, maaf tapi—"

"Saya percaya sama kamu, Savira. Oke rapat kali ini sudah selesai." Manajernya itu keluar setelah membawa beberapa berkas dan laptopnya.

Savira memandang sengit pada temannya, Ratna. Bisa-bisanya dia membuat dirinya menjadi menderita seperti ini.

"Udahlah, kayaknya bakalan cocok. Tantangan, Vir." Ratna menepuk pundak Savira yang masih terbengong-bengong di tempatnya.

Ia menghela napasnya begitu keras, sampai seorang office boy yang hendak membersihkan tempat rapat itu terkejut.

"Dia kan—aduh. Dia kan yang manggil tante-tante kemarin," gumam Savira. Ia menekuk pulpennya sampai patah menjadi dua.

"Kalau gak bisa bawa, pasti nanti urusannya panjang." Savira mengeluarkan ponselnya. Dia bingung sebenarnya, mau memulai percakapan dengan Raga dari mana, sementara dirinya sejak awal sudah malas dengan lelaki itu.

"Arghh! Ratna sialan," rutuk Savira. Ia menyambar tasnya kemudian pergi dari ruang rapat.

**

Savira tak mau mengirimkan pesan ke sosial media milik Raga, karena pasti lelaki itu akan mengabaikannya. Apalagi followersnya sudah mencapai angka di ratusan ribu.

"Ini dia kan kampusnya." Savira mendongak, melihat bangunan yang menjulang tinggi di depannya.

"Kalau nunggu di sini pasti dia bakalan keluar kan?" Savira masih ragu untuk menemui Raga.

"Tunggu di sini aja deh."

Namanya saja tidak niat, jadi Savira siang itu menyedot gelas cendolnya yang sudah habis sebanyak tiga gelas. Mungkin sebentar lagi perutnya akan penuh dengan cendol-cendol tersebut jika dirinya tidak berhenti meminum minuman itu.

Tapi untung saja dia mendapatkan bayangan Raga yang baru saja keluar dari gerbang kampusnya. Jadi Savira membatalkan pesan satu gelas es cendol lagi.

Matanya mengikuti ke mana Raga pergi, rupanya lelaki itu sedang berjalan menuju parkiran motor.

Setelah membayar cendol, Savira langsung melesat untuk menemui Raga.

"Hai! Kamu masih inget sama aku kan?" tanya Savira sok kenal sok dekat.

Raga menautkan kedua alisnya, ia urung mengenakan helmnya demi menatap Savira. Wanita yang sudah tidak muda lagi.

"Tante dosen di sini? Atau mau jemput keponakan?"

Sial! Savira merutuk dalam hati. Memangnya dia sudah tua banget, sampai dibilang sedang menjemput kepnakan.

"Jadi begini." Savira mengumpulkan kesabarannya. "Aku karyawan dari sebuah majalah buat anak muda, jadi—"

"Gak mau." Raga langsung naik ke atas motornya. Dia menolak mentah-mentah ajakan Savira yang ingin menjadikannya seorang model.

"Hei! Gak sopan banget sih!" seru Savira sambil menendang ke udara karena dipermalukan oleh Raga barusan yang lalu sedetik kemudian mendapatkan lirikan aneh dari mahasiswa yang sedang berkeliaran di sekitar sana.

"Awas aja ya. Jangan sebut aku Savira kalau gak bisa bawa kamu ke perusahaanku," desisnya dengan mata berapi-api.

Dan benar saja kalau itu bukanlah isapan jempol belaka.

Setelah Savira mencari tahu jika saat ini Raga sedang pergi untuk makan siang. Akhirnya dia mencoba untuk menunggu Raga sampai ia kembali.

Tak tanggung-tanggung dia menunggu Raga sampai kuliahnya selesai sore itu. Selama seharian dia menunggu di tempat tukang es cendol tadi.

Matanya tak luput dari arah pintu gerbang agar dia tidak kehilangan jejak lelaki itu.

"Dapat." Savira tersenyum. Kemudian dia akan melakukan rencana yang sudah ia susun tadi.

Memang sedikit licik tapi ini adalah salah satu cara agar Raga bisa menjadi model perusahaannya.

Tak ada kata menyerah dalam kamus Savira.

Seperti saat ini …

Ketika Raga mulai mengambil motornya. Savira berjalan dengan heel tingginya dan menyeberangi jalanan ramai yang tak hanya Raga saja yang menggunakan jalan itu.

Langkahnya sedikit ia percepat agar bisa tepat pada waktunya.

Hingga …

"Ah!" pekik Savira dengan kencang. Dia terjatuh terduduk sambil memijat pergelangan kakinya.

"Sial," rutuk Savira. Dia merasakan kakinya benar-benar terkilir.

Ia menatap ke arah Raga yang berhenti tak jauh darinya dan juga mendapatkan tatapan mahasiswa yang sedang menggunakan jalan tersebut.

"Ga, tolongin Tante ini!" seru temannya.

Tapi Raga bergeming kemudian menarik gasnya sangat dalam.

Kalau Raga tak kembali, maka rencana Savira pasti akan gagal total.

"Ayo Tante saya bantu." Dia adalah Bayu teman Raga. Dia membantu Savira berdiri kemudian mengantarkannya ke tukang es cendol lagi.

Tetapi baru saja Savira duduk. Suara motor milik Raga mendekat kemudian menghampiri Savira dan Bayu.

"Naik," suruh Raga. Ia menyuruh Savira untuk naik ke atas motornya.

"Sana naik Tante, biar diobatin sama Raga."

"Duh, jangan panggil aku Tante dong. Aku masih muda kok," protes Savira.

"Iya iya."

"Ga, anterin sampai rumah jangan dibawa ke tempat lain," ledek Bayu.

"Bawel."

Lalu motor pun melesat meninggalkan kampus Raga. Menuju ke sebuah klinik yang ada tak jauh di sana.

Raga mendaftarkan Savira di bagian administrasi. Kemudian duduk di sampingnya di kursi tunggu pasien.

"Tadi sengaja ya," ucap Raga menatap wajah Savira dari samping.

"Gak kok."

"Jangan bohong."

"Terus kenapa bisa jatuh pas di depanku?"

"Ya, aku kan mau manggil kamu tapi kamu gak denger."

Untungnya Raga tak banyak bicara lagi dan memilih untuk percaya saja pada wanita yang kemarin tanpa sengaja melemparinya cincin imitasi padanya.

Sekilas Raga melirik pergelangan kaki Savira yang memang membengkak karena jatuh tadi.

Raga menghela napasnya kemudian menyandarkan punggungnya ke tembok ketika melihat Savira masuk ke ruang dokter.

Hingga beberapa menit kemudian. Savira keluar dengan kaki yang dibalut oleh perban.

"Aku antar sampai halte ya, Tante."

"Jangan panggil aku Tante," geram Savira.

"Terus apa?"

"Mbak."

Raga memutar bola matanya. "Ya udah Mbak, aku antar sampai halte depan itu ya."

Raga mendahului jalannya. Tiga langkah di depan Savira.

"Raga," panggil Savira putus asa.

"Apa lagi." Raga menoleh setengah kesal.

"Please, mau ya jadi model di majalah perusahaanku. Sekali ini aja." Savira menggosok-gosokan kedua telapak tangannya seperti anak kecil yang sedang meminta sesuatu pada orang tuanya.

Tetapi Savira saat ini lebih mirip seperti seorang istri yang baru saja diusir oleh suaminya agar keluar dari rumah.

"Oke kalau gitu, aku berlutut sampai kamu mau."

Dengan kakinya yang masih sakit. Savira berlutut di depan Raga. Membuat pasien yang baru masuk ke klinik itu melihat keheranan.

"Apa sih," desis Raga.

"Aku bakalan berakar di sini kalau kamu gak mau jadi modelku."

"Memangnya kalau aku gak mau kenapa?"

"Aku bakalan jadi gembel. Aku bakalan dipecat karena dinilai gak kompeten." Savira memasang wajah sedihnya yang sebenarnya sudah menyedihkan sejak lama.

Raga menghela napasnya. "Kenapa harus aku sih?"

"Ya aku gak tau kan yang minta manajerku bukan aku."

"Jadi mau ya?"

"Kita lihat kontrak kerjanya dulu."

Savira tersenyum penuh kemenangan. Bermodal kaki terkilir akhirnya dia bisa membawa Raga ke dalam perusahaan majalahnya.