Chereads / Satu Dasawarsa / Chapter 8 - Berhasil Membujuk

Chapter 8 - Berhasil Membujuk

Selepas mengantarkan Savira, Raga langsung kembali ke rumahnya malam itu juga.

Savira memandang motor Raga yang perlahan bergerak menjauh kemudian mengembang senyum lebar di bibirnya.

"Akhirnya beres juga," kekeh Savira.

Sementara itu setelah tiga puluh lima menit kemudian Raga sampai di rumahnya. Rumah orang tuanya yang lumayan mewah untuknya tapi hanya tampak di luarnya saja.

"Kenapa baru pulang?" bisik mamanya sambil bertanya pada Raga. "Ayah kamu udah nunggu kamu dari tadi," lanjutnya dengan takut-takut.

"Antar temen ke klinik, Ma," jawab Raga.

"Udah makan?"

"Belum."

"Mau makan gak?"

"Gak usah."

Raga kemudian naik tangga bergerak menuju kamarnya. Malas juga dia sebenarnya jika berada di rumahnya terlalu lama. Bukan karena masalah mamanya bukan. Melainkan karena ayahnya yang selalu membuat pertengkaran dengan Raga yang tanpa arti.

"Jadi model," desah Raga. Ia membuka kausnya dan mengganti dengan yang baru dari lemari. "Kalau ketahuan pasti dimarahi sama dia."

Dia bagi Raga adalah ayah. Ayah yang selalu bertengkar dengannya. Ayah yang selalu memukul mamanya tanpa sebab.

Bahkan sudah beredar banyak kabar jika ayahnya itu memiliki wanita simpanan.

Namun untuk sesaat kemudian Raga tersenyum.

Dia naik ke atas tempat tidurnya kemudian melipat tangannya di belakang kepala untuk bantal. Dia menatap langit-langit.

"Sekalian buat balas dendam, kali aja darah tinggi terus masuk ke rumah sakit," desis Raga.

Kalau saja dia tidak melihat ayahnya terus memukuli mamanya. Mungkin dia akan menjadi anak lelaki yang penurut.

TING!

Pesan masuk ke dalam ponselnya.

Tante: Jangan lupa besok ke kantor, pulang kuliah juga boleh.

Raga menamai nama Savira dengan sebutan tante. Padahal Savira sendiri tak mau jika dirinya menyebutnya dengan sebutan tante.

Raga: Iya.

Tante: Irit banget.

Raga: Iya iya iya.

Di tempat lain dengan waktu yang sama Savira berdecak kesal karena menerima balasan Raga karena niat tak niat.

"Tapi tadi siapa ya? Jangan-jangan pacarnya," gumam Savira sambil mengingat setelah kejadian dia keluar dari klinik.

Seorang wanita datang menghampiri Raga dengan panik. Kemudian lelaki itu bicara padanya dan tak lama setelah itu perempuan itu pergi.

"Jangan-jangan tadi ceweknya mau minta anter pulang juga," desis Savira lagi.

"Ah jadi gak enak." Savira senyum-senyum sendiri hingga ia dikejutkan dengan panggilan dari Dina yang mengatakan kalau makan malam sudah siap.

"Iya Din!" sahut Savira dari dalam.

Hidupnya sejauh ini membaik setelah ia putus dengan Doni. Meskipun terkadang dia masih ingat dengan lelaki itu kadang-kadang.

Janji manisnya yang akan menikahinya. Bahkan janjinya yang akan mengajaknya bulan madu, sepertinya hanya imajinasi yang tak akan pernah menjadi nyata.

Dan Savira kini ingin balas dendam pada Doni jika dia bisa mendapatkan lelaki yang lebih baik dari dirinya.

Namun—sampai saat ini Savira tak ada pandangan untuk jatuh cinta lagi.

Dengan Rico—perasaannya sepertinya sudah mati. Lagipula hubungannya dengan lelaki itu lebih baik menjadi teman seperti ini.

Tetapi masalah lain muncul ketika ibu Savira menyuruh untuk lekas menikah, karena acara keluarga besar akan diadakan sebentar lagi.

"Kita hidup di zaman di mana nikah itu jadi urusan orang lain, setuju gak Din?" tanya Savira pada Dina ketika sudah duduk di meja makan berdua.

Dina hanya tersenyum.

"Urusan nikah kan urusanku, kenapa mereka yang repot?"

"Dulu waktu sekolah ditanya kapan udah lulus, udah lulus ditanya kapan kuliah. Pas kuliah ditanya kapan kerja. Dan pas udah kerja ditanya kapan nikah."

"Pas nikah ditanya kapan punya anak ya, Mba?" kekeh Dina.

"Nah itu dia Din! Kenapa gak ada yang tanya kapan mati? Pasti abis punya anak, ditanya kapan anaknya nikah. Siklus yang gak ada habisnya."

Savira menelan nasinya dengan kesal jika mengingat keluarga besar dari ayahnya yang selalu menjelekkannya karena belum juga menikah.

Seperti waktu ada acara arisan. Savira ditanya di depan banyak keluarga yang sedang berkumpul.

"Jangan-jangan kamu gak doyan cowok ya Vir?" tanya adik ayah Savira yang tak lain adalah tantenya. "Gina anak tante aja udah nikah, malahan udah punya anak satu," lanjutnya dengan bangga.

"Terus cucunya kapan nikah, tante?" tanya Savira yang sudah menahan kesal setengah mati.

Tantenya diam, kemudian berkata yang lebih meyakitkan lagi.

"Kalau memang gak ada yang mau sama kamu. Nanti coba tante bilang sama Gina, Vir. Kali aja ada yang mau sama kamu."

Wajah ibu Savira tak enak ketika Savira memandang ke arahnya. Sampai sebegitunya dia dicap seperti itu. Padahal masalah nikah atau tidak itu bukan urusan mereka.

"Mbak gak mau pacaran lagi?" tanya Dina. Membuat Savira tersadar.

"Males Din," jawabnya.

"Kenapa memangnya?"

"Males kalau cuma diselingkuhin."

"Terus katanya disuruh buat cari suami, nanti gimana Mbak?"

"Nyewa aja deh, lagian yang penting bawa gandengan ke sana." Savira hanya ingin menunjukkan pada tantenya kalau dia sebenarnya laku. Cuma saja dia tak sengaja bertemu dengan cowok brengsek macam Doni.

**

Pagi-pagi di kantor sudah heboh apalagi ketika Savira mengatakan kalau dia bisa mendapatkan Raga untuk menjadi modelnya.

"Keren banget!" seru Ratna senang sambil menepuk-nepuk pundak Savira.

"Gak usah colak-colek, gara-gara kamu aku jadi kesusahan." Savira menunjukkan kakinya yang terkilir akibat aktingnya kemarin gagal.

Padahal niatnya mau pura-pura jatuh tapi dia malah jatuh sungguhan di depan Raga dan mahasiwa lain.

"Gak apa-apa, lagian dapat kan? Cuma kamu yang bisa makanya aku percaya sama kamu!" puji Ratna seolah tidak pernah terjadi apa-apa kemarin.

**

Mita berlari mengejar Raga sore itu. Sejak kemarin sore lelaki itu susah sekali ia temui. Padahal ia ingin mengatakan sesuatu pada Raga.

"Mau ke mana?" tanya Mita.

Ia sudah berdiri di depan motor Raga.

"Ke kantor. Kenapa?"

"Aku mau bilang sesuatu sama kamu Ga."

"Ngomong apa? Kamu dari kemarin mau ngomong tapi gak bilang-bilang."

"Itu—kita putus. Kayaknya kamu gak serius sama hubungan kita."

"Oke." Raga menjawabnya dengan santai kemudian meninggalkan Mita yang masih mematung di tempatnya.

"Bahkan kamu gak tanya kenapa aku minta putus," gumam Mita sedih.

Sementara itu ketika di jalan Raga tak bisa berpikir selain apa yang diucapkan oleh Mita tadi.

Ia bersyukur karena Mita mau memutuskannya. Karena dia sadar dia bukanlah lelaki yang baik untuk gadis itu. Raga sibuk sendiri dan tak ada waktu untuk Mita.

Raga sengaja bersikap seperti itu karena dia ingin Mita cepat melupakannya.

"Kayaknya aku memang gak cocok buat pacaran," gumam Raga.

Dia tidak pernah bisa menjalin hubungan yang lama dengan wanita karena sifatnya yang cuek dan selalu sibuk sendiri.

Sementara Mita yang diputuskan oleh Raga tak percaya jika dirinya baru saja diputuskan.