Savira berjalan sambil membuka pintunya, kemudian melihat Raga malam itu dengan penampilan yang sangat berbeda ketika ia lihat saat di kampus kemarin.
"Aku beli makan dulu tadi." Raga membawakan dua bungkus nasi goreng untuknya dan Savira.
Untuk sesaat Savira tertegun karena tidak menyangka jika Raga akan memikirkannya dengan membawakannya makanan.
Savira berjalan pelan menuju pagar rumahnya dan membukakan pintu untuk lelaki tersebut.
"Hanya malam ini kan?" tanya Savira pelan.
"Hmm, iya cuma malam ini. Lagian nanti kan kita bisa berangkat bareng ke salon," jawab Raga.
Ia masuk ke dalam rumah Savira setelah lampu dinyalakan oleh pemiliknya. Raga mengitari pandangannya dan tersenyum ketika melihat rumahnya yang jauh dari bayangannya.
"Jangan ketawa," ujar Savira. Ia membawa Raga ke dapur untuk makan di sana.
Ia menelisik wajah lelaki yang kini tengah duduk di depannya dengan wajah yang mengantuk.
Savira mulai berpikir macam-macam ketika memandang wajah Raga. Mengapa lelaki itu tiba-tiba meminta untuk menginap di rumahnya seperti ini.
"Jangan lihat begitu, kalau mau tanya, tanya aja," ucap Raga cuek, ia menyendokkan nasi goreng tersebut ke dalam mulutnya.
"Iya sih, aku mau tanya sebenarnya."
"Tanya apa?"
"Kenapa kamu kabur dari rumah?"
Raga menelan nasinya terlebih dulu sebelum dia menjawab pertanyaan dari Savira. Kemudian dia meminum air yang ada di botol sambil menatap Savira.
"Aku—habis ditampar sama ayahku," jawab Raga blak-blakan bahkan dia tidak ingin berbohong sedikit pun pada Savira.
"Jujur banget," gumam Savira.
Raga melanjutkan makannya. Ia mendorong bungkusan kertas minyak berwarna cokelat itu ke arah Savira. Dan menawarkan padanya lagi.
"Gak mau makan? Apa diet?" tanya Raga.
"Aneh makan malam-malam."
"Kalau gak mau ya udah." Raga hendak meraih bungkusan itu, tetapi dengan cepat Savira mengambil bungkusan tersebut.
Dia sudah terlanjur bangun. Dan perutnya sangat lapar saat ini. sebenarnya dia sudah ngilee duluan ketika mendapatkan tawaran nasi goreng dari Raga. Tapi dia harus menahannya dan berpura-pura menolak demi harga dirinya.
"Kalau sama aku jangan gengsi, aku cowok gak peka," ucap Raga.
"Gak peka kok bangga," sungut Savira. Ia mengambil sendok yang ada di meja makan dan memulai makanannya semalam ini.
Kemudian hening. Hanya sesekali dari mereka berdua saling mencuri pandang karena bingung harus melakukan apa.
Savira baru kali ini bisa melihat wajah Raga begitu lama dan sedekat ini. Rasanya lelaki ini sangat berbeda dengan lelaki yang ia temui belum lama ini. Apa karena malam jadi matanya tampak buram?
"Jangan liatin terus, nanti suka," celetuk Raga.
"Sorry, aku gak suka brondong."
"Memangnya kenapa sama brondong? Oh—sukanya sama Om-om ya?"
"Jangan ngawur, aku mending jomblo daripada sama om-om."
Raga mengulum senyumnya lagi, kemudian membuang bungkusannya di tempat sampah yang ada di depan wastafel.
"Aku bisa tidur di mana?" tanya Raga.
Savira lupa kalau kamar satunya sudah dipakai oleh Dina. Ia mengitarkan pandangannya kemudian matanya tertuju pada sofa yang ada di depan televisi.
"Karena kamu cowok, kamu bisa tidur di sana. Gak apa-apa kan?"
"Tante, gak bakalan macem-macemin aku, kan?"
"Memangnya aku apaan? Aku masih waras, udah kubilang aku gak doyan anak kecil sama kamu." Savira menjawabnya dengan nadanya yang terdengar grogi dan lagi-lagi itu membuat Raga tersenyum.
"Aku bercanda kok, Tante."
Raga langsung duduk di atas sofa, kemudian melihat ponselnya. Wajahnya serius ketika mendapatkan pesan dari ibunya yang saat ini menunggunya pulang ke rumah.
Tetapi Raga langsung membalasnya kalau dia saat ini sedang ada di rumah temannya dan menginap di sana untuk beberapa hari. Yah beberapa hari, sepertinya dia ada niatan untuk menginap di sana tak hanya sehari.
Dia bisa membujuk Savira yang sangat membutuhkannya, karena mereka berdua saat ini memiliki hubungan simibiosis mutualisme. Tak ada yang dirugikan yang pasti, karena mereka saling-saling butuh satu sama lain.
Raga sebenarnya sudah muak tinggal di rumah itu karena sikap ayahnya yang selalu merasa paling benar sendiri. Dan yang membuatnya lebih kesal adalah ketika dia blak-blakan menyelingkuhi mamanya dan seakan tidak merasa bersalah.
"Tante," panggil Raga. Ia melihat Savira masih makan di meja makan.
"Apa?"
"Bayaran jadi model gede gak?" tanya Raga.
Savira tersenyum licik.
"Kamu mau gede apa kecil?" tanyanya dengan senyum yang mengerikan.
"Jangan liat aku begitu, serem tau gak?!"
Savira menyudahi makannya ketika perutnya sudah terisi penuh. Dia mencuci tangannya kemudian duduk di sofa yang berseberangan dengan Raga.
"Kamu tau gak majalah yang diterbitkan sama perusahaanku itu beda," bisik Savira sudah seperti sales panci keliling.
"Beda, beda gimana?"
"Yah, kamu tau sendiri diperusahaanku cuma merekrut model yang saat ini lagi populer, dan yah kamu salah satunya. Nah, nanti kalian itu akan dipasang fotonya di majalan dan akan ada vote daro pembaca begitu. Kalau kamu bisa masuk sepuluh besar atau lima puluh besar, kesempatan kamu buat terkenal itu semakin dekat. Dan—kalau udah terkenal kamu bisa nerusin jadi aktor. Tapi tentu saja, pakai agensi dari anak perusahaanku."
Savira menjelaskan panjang lebar pada Raga. Ia bersemangat apalagi melihat Raga yang sepertinya tertarik dengan penjelasan Savira.
Raga hanya butuh uang banyak. Sudah hanya itu, agar dia bisa membawa ibunya keluar dari sana.
"Sepertinya bagus."
"Tentu saja! Makanya kamu harus bersungguh-sungguh!"
"Kupikir majalah sudah ketinggalan jaman."
"Ketinggalan jaman dengkulmu, kamu itu—ah! Gak tau aja, kebanyakan belajar pasti."
"Gak tuh."
"Oh kebanyakan pacaran?"
"Jangan berasumsi gak jelas."
"Hmm aku tau mungkin kamu ganteng tapi gak laku." Savira berdiri setelah mengejek Raga dengan kalimat seperti tadi. Meninggalkan suara cekikikan di belakang Savira.
Sepertinya dia sudah puas membuat Raga kesal seperti sekarang. Akhirnya setelah beberapa hari dia bersabar disebut tante oleh Raga dia bisa membalaskan dendamnya saat ini.
**
Dina terbangun ketika pukul tiga pagi. Matanya membeliak ketika melihat bayangan yang sedang tidur di atas kursi dofa di ruang tamu.
Karena takut dan berpikir jika itu maling, akhirnya dia mengambil sapu yang ada di sudut ruangan.
Dia membawanya dengan erat dan akan memukulkan pada bayangan lelaki yang tidur dengan tangan bersedekap itu.
Mata Raga tiba-tiba terbuka ketika melihat bayangan muncul di depannya. Ia reflesk menutupi wajahnya dengan dua lengannya agar tidak terkena pukulan sapu itu.
"Maling!" teriak Dina.
"Tunggu dulu! Aku bukan maling!" Raga langsung bergerak dan berdiri di belakang sofa.
"Mana ada maling ngaku!"
"Tanya sama yang punya rumah, aku bukan maling."
"Terus kamu siapa?" tanya Dina dengan mata mendelik.
"Aku—aku siapanya ya, teman? Atau—"
"Tuh kan bingung!"