"Raga—jangan bilang begitu," bisik Mita.
"Maaf Mita, tapi untuk masalah ini sepertinya kamu tak usah ikut campur," ucap Raga ketus.
Mita sama sekali tidak tahu apa yang sedang terjadi dengan keluarganya, jadi dia tidak berhak mengatakan apa-apa apalagi ikut campur tentang pembicaraan ini.
"Udah ini minum dulu." Ibu Raga meletakan minuman di atas meja untuk Raga dan Mita. Kemudian ia masuk ke dalam kamarnya.
Suaminya tak mungkin ada di sana karena pasti dia saat ini sedang ada di rumah perempuan yang selama ini menjadi selingkuhannya.
"Kamu mau bicara apa?" tanya Raga, mood-nya menjadi buruk setelah melihat luka yang ada di wajah ibunya.
"Aku gak mau putus, Ga," ucap Mita. Ia memandang Raga dan berharap kalau lelaki itu mau menarik ucapannya tadi.
Raga menghela napasnya kemudian menyandarkan punggungnya di sofa. Setelah ini dia pasti akan lebih sibuk dari biasanya. Dan pasti tak akan ada waktu lagi untuk Mita.
Kemarin dia hanya memiliki kegiatan belajar saja, dan itu pun dia Mita merasa diabaikan. Apalagi sekarang? Pasti Mita akan merasa tersingkirkan.
"Aku mau jadi model, Mit," kata Raga.
Mita terkejut dengan ucapan Raga barusan. Dia sama sekali tidak tahu kalau Raga memiliki ketertarikan dengan masalah model atau tampil di depan umum seperti itu.
Raga sendiri memang malas untuk urusan yang berbau-bau dengan public figure. Namun kali ini dia tak ada cara lain selain menerima tawaran Savira agar dia bisa membawa ibunya keluar dari rumah ayahnya.
Ia yakin jika ibunya mengkhwatirkan masalah biaya hidup selama ini. Belum lagi Raga yang masih harus menyelesaikan kuliahnya beberapa tahun lagi.
"Kamu yakin?" tanya Mita.
"Iya, aku yakin." Raga menjawab dengan mantap.
"Kamu udah bilang sama ibu kamu?"
"Nanti aku bakalan bilang, jadi lebih baik kita putus sekarang Mit. Daripada nanti kamu ngerasa diabaikan sama aku."
Raga berdiri, dia masuk ke dalam kamarnya sebentar untuk berganti jaket kemudian keluar lagi.
"Ayo aku anter," ucap Raga. Dia tanpa bertanya pada Mita langsung saja ingin membawa gadis itu pergi dari rumahnya.
Seperti mengusirnya dengan halus.
"Kamu gak suka ya kalau aku ada di sini?"
"Bukan begitu—aku masih ada urusan di tempat lain," jawabnya.
Raga membuka pintunya dan berjalan menuju motornya yang masih ada di halaman rumah.
Mita yang masih ingin berlama-lama dengan Raga tak ada pilihan lain selain menuruti lelaki tersebut.
Dia naik dengan hati yang bergemuruh, sepertinya status mereka tak bisa kembali menjadi seperti kemarin lagi karena keputusan Raga tak bisa diganggu gugat.
Mita memeluk Raga sangat erat, apalagi ketika lelaki itu menambah kecepatan motornya agar lekas sampai di rumah Mita.
"Aku yakin kamu masih sayang sama aku," bisik Mita dengan kepala ia sandarkan di punggung Raga.
Raga yang tak dapat mendengarkannya hanya diam, dan fokus pada jalanan yang ada di depan.
Sampai tiga puluh menit kemudian Mita sudah sampai di rumah. Wanita itu turun dan memandang wajah Raga sebelum ia pergi dari rumahnya.
"Aku pulang," pamit Raga sebelum akhirnya ia melesat dengan motornya.
Raga kini akan pergi ke rumah seseorang yang bisa dikatakan adalah wanita yang sudah merusak rumah tangga ibunya. Dia akan mengacau di rumah itu bagaimanapun caranya.
Raga sudah membawa cat semprot yang ia letakkan di dalam tasnya. Ia sudah berencana akan membuat tulisan yang bisa membuat perempuan itu dikenal oleh tetangganya sebagai wanita perebut suami orang.
Saat ini Raga memandangi tembok bersih yang ada di depan rumah wanita itu. Dengan senyum penuh arti dia langsung mengeluarkan cat semprot tersebut dan membuat coretan indah di sana.
Mungkin ini tak ada apa-apanya dibandingkan dengan luka yang diterima oleh ibunya selama ini.
Dan yang membuat Raga bersalah adalah karena ibunya bertahan sebab memikirkan bagaimana hidup Raga ke depannya.
"Setidaknya ini belum cukup, lain kali aku akan datang dan membawakanmu kejutan," desis Raga.
Ketika dia naik motor, ia melihat mobil ayahnya melaju dari arah berlawanan. Dan pada saat itu juga Raga mengenakan helm-nya dan pergi dari sana.
***
BUUKKKK!!!
Sebuah tamparan melayang ke wajah Raga malam itu ketika dia sudah bersiap untuk tidur.
Ayahnya yang tiba-tiba masuk ke dalam kamarnya memukul wajah anaknya itu sampai menimbulkan luka di bagian sudut bibirnya.
"Anak kurang ajar! Memangnya ayah pernah ngajarin kamu buat berperilaku seperti itu!" bentaknya. Ibu Raga muncul dari belakang dan menatap anaknya itu kasihan.
"Ayah gak pernah ngajarin Raga apa-apa tuh," sinisnya.
"Keparat sialan!" Tangannya hendak melayang tapi ditahan oleh ibu Raga.
"Jangan pukuli anakku, kalau kamu mau pukul, pukul saja aku!" pekiknya.
Raga yang melihatnya semakin tidak tega, ia menghela napasnya kemudian mengambil kunci motornya dan keluar dari rumah pada malam-malam itu juga.
**
Sudah jam satu malam, dan Savira harus mengerang kesal karena ponselnya tiba-tiba berbunyi.
Dia melirik ke layarnya dan ada panggilan masuk malam itu.
"Halo?" sapa Savira dengan suara khas bangun tidur.
"Ini aku."
"Siapa?"
"Raga."
Mata Savira langsung melotot tak percaya. Dia langsung terbangun pada saat itu juga.
"Kenapa? Kenapa kamu telepon malam-malam? Jangan bilang kalau kamu besok gak bisa ke salon pagi-pagi!" Savira sudah cemas akan hal itu. Dia bisa dipecat jika membatalkan pemotretan besok pagi.
"Bukan begitu, sekarang aku di jalan dan gak tau mau ke mana. Teman-temanku kayaknya mati semua, gak ada yang mau angkat panggilanku."
"Ini kan udah malem banget." Desis Savira.
"Aku—apa aku bisa tidur di tempatmu malam ini?" tanya Raga ragu.
Savira terdiam. Bingung juga dia harus bagaimana karena ia saja baru mengenal Raga belum lama ini.
"Aku gak bakalan macem-macem, apalagi sama tan—" Raga memutus kalimatnya.
"Sialan," umpat Savira.
"Kalau aku gak bisa tinggal di rumahmu, mungkin aku gak bisa ikut—"
"Oke, aku kirim alamatnya sekarang." Savira menutup teleponnya dan mengirimkan alamat pada Raga di aplikasi chatnya.
Savira mengambil sweaternya kemudian bersiap untuk menemui Raga malam itu. Namun sebelumnya dia mencuci mukanya dan merapikan rambutnya.
Dia tak ingin jika image-nya yang sempurna di kantor akan lenyap begitu saja karena malam ini.
Savira duduk di samping ruang tamu sambil sesekali memandangi depan pintu pagarnya demi melihat Raga. Katanya dia akan sampai lima belas ke sana karena dia bisa ngebut malam itu.
Dan ternyata tidak secepat itu dia sampai di sana, karena jam dua kurang sepuluh menit Raga baru tiba di rumah Savira.
Wanita itu sudah terkantuk-kantuk di sofa lalu dikejutkan dengan panggilan dari Raga.
"Aku udah di depan pagar," ucap Raga.
"Uhmm—oke." Savira berjalan sambil membuka pintunya, kemudian melihat Raga malam itu dengan penampilan yang sangat berbeda ketika ia lihat saat di kampus kemarin.
"Aku beli makan dulu tadi." Raga membawakan dua bungkus nasi goreng untuknya dan Savira.