Raga sudah berdiri di depan sebuah kantor yang sebelumnya sudah diberi tahu oleh Savira alamatnya melalui chat tadi malam.
Awalnya Raga ragu ingin masuk ke dalam sana, karena ia tahu jika dirinya tidak pantas untuk berada di sana, apalagi menjadi seorang model.
Dirinya sangat kaku, foto yang paling sering ia lakukan hanyalah foto id card, foto ktp atau foto ijzah ketika dia masih SMA. Dan sekarang dia disuruh menjadi model hanya karena tampangnya yang tampan dan tubuhnya yang … proposional juga sih untuk menjadi model.
Raga menghela napasnya, dia memutar balik tubuhnya dan ingin mengingkari janjinya pada Savira yang sejak kemarin ia selalu panggil dengan sebutan tante.
"Hei! Mau ke mana?!" teriak Savira yang baru saja keluar dari kantor.
Ia segera menghampiri Raga dan menarik tas ranselnya sampai lelaki itu hendak tertarik ke belakang.
"Udah sampai, kenapa gak hubungin aku?"
"Ngapain ngasih tau dulu, ini buktinya aka tau kalau aku udah datang," gerutu Raga.
"Aku udah nunggu dari tadi soalnya," ucap Savira dengan senyum yang ia buat semanis mungkin. "Ayo masuk, kakak kakak yang ada di dalam gak ada yang serem kok."
"Tante kali," gumam Raga yang langsung mendapatkan delikan dari Savira.
Raga melangkah ragu, melihat kantor yang sebelumnya ia belum pernah ia kunjungi. Jurusan kuliahnya saja jauh dari bidang seperti ini.
Namun jika bisa menghasilkan uang dari model, sepertinya dia akan mencobanya saja.
"Wah! Savira! Kayaknya serius nih bawa brondong," puji Ratna yang langsung berdiri ketika melihat Savira membawa Raga.
"Ya dong, siapa dulu." Savira membuat telunjuknya membentuk sebuah huruf L dan ia letakkan di bawag dagu.
"Tante-tante di sini heboh banget," gumam Raga.
Dia di sana sudah seperti anak ayam yang masuk ke dalam kandang ayam betina.
"Udah kamu tunggu di sini dulu, aku bikinini minum dulu," ucap Savira.
Ia berdecak senang sejak tadi karena akhirnya Raga mau ke sana. Padahal dia sudah mengira kalau akan ditolak oleh lelaki itu.
Hari ini yang dilakukan Raga hanyalah bertemu dengan manajer Savira dan melihat secara langsung lelaki tersebut. Jika cocok maka dia akan menjadi model di majalah tersebut.
Bisa dikatakan jika Raga sebenarnya beruntung daripada calon model yang lain, yang harus melewati audisi.
**
Savira tidak berharap penuh kalau Raga akan lolos atau semacamnya. Karena apapun hasilnya dia tetap saja sudah selamat karena berhasil membawa lelaki itu ke perusahaannya.
Dan sekarang ia tinggal menunggu keputusan dari manajer dan direktur perusahaannya.
Direktur perusahannya adalah wanita yang sudah lumayan tua, tapi dia sangat jeli melihat model yang memiliki potensi bagus.
Seperti saat ini—Savira terkejut ketika mendengar Raga masuk dan lolos untuk menjadi model majalah. Dan artinya Savira akan mendapatkan sedikit bonus untuk kerja kerasnya ini.
"Ini eksploitasi anak di bawah umur gak sih?" tanya Raga ketika dia sudah sampai di parkiran.
"Apaan sih, kayak masih TK aja orang udah tua," sungut Savira. "Tapi selamat ya, mulai sekarang kamu bakalan jadi partnerku," ucap Savira bangga.
"Aku males jadinya malahan."
Savira sepertinya harus tahan banting dengan lelaki yang mulutnya tanpa filter tersebut.
"Oke, oke. Sampai ketemu besok deh, di sini ya. Ke salon jam empat pagi—"
"Apa?!"
"Kenapa? Oh ya kamu kuliah ya—tapi masuk kuliah kan gak pagi-pagi banget."
"Tapi—jam empat pagi itu—kalau ada begal gimana?"
"Gak usah ngada-ngada. Aku tunggu pokoknya, nanti sesi foto jam enam. Terus—abis itu makan—terus apalagi ya."
"Udah tan, besok lagi aja. Aku mau cepet pulang."
Awalnya Savira ingin mengumpat, tapi dia tunda dan urungkan karena tak mau membuat Raga ribut dengannya.
"Ya udah deh, Tante dulu lama-lama juga bakalan dipanggil Mbak," gumam Savira sambil memandangi punggung Raga yang kian menjauh.
Savira melirik ponselnya ketika melihat layarnya menyala. Sebuah panggilan dari mantan yang belum lama ini sudah membuatnya malu karena sudah dibanggakan oleh Savira.
"Halo?" sapa Savira malas.
"Di mana?"
"Di tempat kerja. Kenapa?"
"Aku mau ketemu sama kamu, bisa gak?"
"Gak."
"Masalah cincin itu—aku mau ambil Vira," ucap Doni, terdengar suara Gadis yang terus merengek agar cincin itu dikembalikan padanya.
Savira menghela napasnya dengan sangat kasar, sampai Doni merasakan emosi Savira saat ini.
"Don, denger ya. Sekalian dispeaker, dan bilang sama Gadis. Kalau cincin itu udah aku buang, lagian buat apa aku pakai cincin palsu begitu," ucap Savira.
"Kamu—buang?"
"Ya, aku buang, lagian juga gak laku buat dijual. Itu juga kan udah buat aku jadi hakku dong mau aku apain."
**
Raga hampir saja di depan rumahnya, tapi tiba-tiba dia melihat bayangan Mita sedang berdiri di depan rumahnya sambil bersandar di tembok.
Tak ada kesempatan untuk Raga bersembunyi karena Mita sudah lebih dulu melihat ke arahnya.
Ia melemparkan senyum pada Raga seolah tidak pernah terjadi apa-apa sebelumnya.
"Kamu udah lama di sini?" tanya Raga.
"Udah, sejak kamu pulang kuliah."
Itu artinya sudah hampir dua jam Mita nunggu di sana.
"Kenapa gak masuk?"
"Aku nunggu kamu."
"Tapi—udah gak ada yang bisa kita omgongin Mit, kita putus. Dan—kayaknya aku gak bisa pacaran untuk sementara waktu."
"Ga, aku tau kamu gak serius bilang kayak tadi." Mita menarik ujung lengan Raga.
Raga menatap Mita kasihan hingga akhirnya dia membawa masuk gadis itu ke dalam.
Sampai di depan pintu, ibunya sudah bersiap membukakan pintu untuknya dengan wajah memar di wajah.
"Muka ibu kenapa?" tanya Raga.
"Gak apa-apa."
"Karena ayah lagi?!" Raga marah tiap kali dia melihat wajah ibunya yang seperti itu, karena itu sudah jelas adalah perbuatan ayahnya.
"Bukan kok, kamu gak usah khawatir," kata Ibunya.
Dia yang sudah mengenal Mita langsung membawa gadis itu masuk ke dalam. Raga melihatnya dari belakang jika ibunya pasti mengalami penganiyaan dari ayahnya lagi ketika dia kuliah tadi.
Belum cukup ayahnya berselingkuh dengan wanita yang tak lain sekrestarisnya dan kini dia terus menjadikan ibunya seperti samsak.
"Mita udah jarang main ke sini ya, kenapa?" tanya ibu Raga dengan ramah.
"Raga ngelarang Mita buat datang ke sini tante," ucap Mita.
"Main aja sekalia buat temen tante."
"Kalau mau punya temen, ibu harusnya pergi ketemu sama temen-temen ibu."
Ibunya diam.
"Bu, kayaknya lebih baik ibu cerai sama ayah."
Ibunya yang sedang membuatkan minuman untuk Mita mematung di depan kulkas.
"Ibu lagian udah tau kan, kalau ayah selama ini selingkuh?"
"Raga—jangan bilang begitu," bisik Mita.
"Maaf Mit, tapi untuk urusan ini kayaknya kamu gak perlu ikut campur."