Chereads / Mahesa Arnaf / Chapter 3 - Mahesa: Masuk Sekolah

Chapter 3 - Mahesa: Masuk Sekolah

Masih menceritakan masa lalu.

"Mahes, kamu hati-hati ya sekolahnya. Ibu harap, kamu memiliki banyak teman baru di sana nanti."

Aku tersenyum.

"Ya sudah. Ibu pamit, ya. Nanti siang ibu jemput kamu ke sini."

Semester dua, aku baru masuk ke salah satu sekolah negeri di Jakarta.

Awalnya ingin dari kelas satu SMA semester awal, tapi karena ada banyak kendala, aku akhirnya bisa menginjakan kaki di sekolah impianku juga pada semester akhir di kelas satu.

Alhamdulillah.

"Oh..., ini Mahes yang beberapa bulan kemarin juara 1 menggambar kaligrafi tingkat privinsi, ya?" seorang guru pria mendatangiku sembari mengatakan hal itu.

Seperti biasa, aku mencium punggung tangannya lalu mengangguk.

"Ayo, kebetulan kita bertemu. Hari ini bapak ngajar di kelas barumu."

Aku tersenyum kemudian bapak yang kuketahui dari nametag nya bernama Haris ini, mengajakku masuk ke sebuah ruangan kelas yang interiornya seketika membuatku jatuh cinta.

"Halo anak-anak, selamat pagi." ujar pak Haris dengan ramah, "bagaimana kabarnya hari ini?"

"Alhamdulillah pak, baik...." jawab murid-muridnya dengan serentak.

Aku bisa melihat para wanita berbisik pelan pada temannya seperti sedang membicarakanku.

Entah apa yang mereka katakan, tapi aku mendengar sedikit ucapan dari anak-anak yang sedang duduk di depan.

"Wah, ganteng banget, ya?"

"Iya. Sumpah. Dia manis dan putihnya kebangetan."

"Aku yakin dia pasti jadi primadona."

"Ah. Sebelum buat orang lain, dia pasti aku rebut duluan."

"Hm. Sok banget deh."

"Eh tapi-tapi, kenapa dia nenteng papan tulis kecil?"

"Mungkin dia lupa engga bawa buku."

"Ah masa iya."

Semua kalimat semakin sini semakin membuat telingaku panas.

Ternyata..., aku harus lebih bisa beradaptasi lagi dengan murid-murid baru di sekolah negeri ini.

Walau aku merasa orang sepertiku ini tak akan memiliki banyak teman, tapi aku berharap agar Allah mengirimkan satu saja teman yang menerima keadaanku apa adanya.

Tak perlu teman yang banyak. Hanya satu yang setiapun sudah lebih dari cukup menurutku.

"Nah..., jadi kali ini kita kedatangan murid baru." ucap pak Haris kemudian.

"Wah...." semua wanita nampak bersorak ria.

"Pria yang berada di samping bapak ini namanya Mahesa Sulaiman Arnaf. Kalian semua bisa memanggilnya dengan sebutan Mahes."

"Hai Mahes."

"Hai Mahes. Salam kenal."

"Nih, kenalin. Nama aku Sinta."

"Ih ganteng banget sumpah."

"Mahes ini pindahan dari sekolah yayasan Bunda Kasih. Dia juga..., anaknya sangat pintar dan mudah berbaur sekali. Bapak harap, semoga kalian semua bisa berteman dengan Mahes tanpa memandang apa pun, ya."

"Waduh. Iya pak siap." sahut salah satu perempuan yang tadi dia sebutkan sendiri namanya Sinta.

"Mahes," pak Haris menepuk pundakku, "sekarang kamu duduk di belakang kursi itu ya." Beliau menunjuk ke arah di mana aku harus duduk.

Aku mengangguk kemudian berjalan ke arahnya.

"Mahes, minta nomor hp nya dong."

"Username igmu apa?"

"Udahlah duduk bareng aku aja. Nanti pulangnya kita kencan. Aku yang bayarin kok, tenang...."

Ya Allah..., kenapa semua wanita yang ada di sini selalu saja menggodaku dengan ucapan-ucapan seperti itu?

Ternyata benar kata Bu Anita saat itu yang memintaku untuk memikirkan lebih jauh tentang persiapanku pindah ke sekolah negeri.

"Mahes, apa kamu tak ingin tetap sekolah di tempat biasa? Bukannya ibu tak mau. Tapi ibu masih keberatan karena rata-rata ketika kita sekolah di sekolah negeri, ada banyak sekali tantangan dan cobaan. Apalagi kondisimu yang seperti ini, ibu tak mau melihatmu menjadi bulan-bulanan sang penguasa kelas."

Saat itu, dengan sigap kuambil papan tulis kemudian menuliskan alasannya.

"Ibu jangan khawatir. Aku bisa menjaga diri. Insya Allah."

"Kamu memang anak yang baik sekali. Ibu doakan semoga di sana kamu mendapatkan banyak teman yang menerima kamu apa adanya. Jangan segan bilang sama ibu kalau ada yang menjahili kamu di sekolah nanti, ya?"

Aku mengangguk dengan cepat.

...

Tringgg!!!

Waktu istirahat sudah berbunyi.

Semua orang nampak sibuk keluar kelas untuk mencari jajanan penunda lapar.

Aku yang memang dibekali roti oleh Bu Anita, segera mengambilnya di dalam tas.

"Hei, rumah kamu di mana?" seorang wanita tiba-tiba menghampiriku.

"Yayasan Bunda Kasih." aku menulis kemudian menunjukannya pada dia.

Bisa kulihat dengan jelas, raut wanita itu seketika berubah. Kali ini dia terlihat mesem seperti ada suatu hal yang membuatnya jijik.

"Sinta?" panggil seorang temannya, "lu kenapa di situ? Ayo jajan. Nanti lagi lah kalo mau goda. Gua laper."

Wanita ini lantas menghampiri temannya kemudian berbisik seperti mengatakan sesuatu.

Entahlah. Aku tak mau mendengarnya karena perlahan, mereka semuapun pasti akan tahu kekuranganku yang sebenarnya.

Kubuka tutup misting kemudian melahap roti yang sudah diirisi kecil-kecil guna untuk sekali suap.

Dari semua orang yang ada di kelas ini, hanya ada satu wanita dan aku yang berdiam diri di kelas.

Wanita itu pendiam. Dia tengah memakan nasi entah dengan apa tepat di depanku.

Aku yang memang ingin berkenalan, tapi melihat keterbatasan membuatku mengurungkan niat saja.

Aku tak mau dia merasa risih melihat kehadiranku yang tiba-tiba duduk di sampingnya kemudian mengajak berkenalan.

Ya sudah. Biar nanti saja.

Kusuap lagi roti yang kedua.

"Oh, ini anak baru itu ya?" tiba-tiba seorang pria yang berbadan besar menghampiriku bersama dua orang teman di belakangnya.

Dari nada bicaranya terdengar songong. Pantas saja ketika pak Haris mengenalkanku di depan tadi, wajahnya seperti risih dan tak bersahabat ketika melihatku.

"Nama lu itu Mahes, ya?"

Aku mengangguk cepat sambil tersenyum.

"Pindahan dari yayasan Bunda Kasih?"

Aku mengangguk juga.

Lelaki itu mengambil kursi kemudian duduk di sampingku. Melihat aku menyimpan sebuah papan tulis kecil, pria yang kulihat namanya di nametag bernama Dito itu mengambilnya dengan kasar.

Dia tertawa. "Bro, liat nih. Si Mahes bawa kaya gini!" sikap Dito seperti meremehkanku.

"Hahaha iya." ujar salah satu temannya, "udah SMA tapi masih bawa mainan anak kecil. Situ sehat?"

Aku memilih diam dan tak ingin menggubrisnya.

"Eh, kenapa sih lu itu dari tadi kagak ngomong-ngomong? Apa..., suara lu itu terlalu emas?" Dito tertawa mengejek.

"Mungkin dia bisu kali Dit." timpal temannya.

Aku membawa papan tulis itu dari Dito kemudian mulai menulis.

"Katamu itu benar. Aku memang bisu." Dito mengeja tulisanku pada papan berwarna hitam putih ini.

Ketiganya seketika berkelakar hebat.

"Wah bos, gila nih sumpah. Lu dapet santapan juga akhirnya." ucap seorang pria yang kuketahui dari nametag nya bernama Benny.

Pria berbadan besar itu berdiri sambil tersenyum licik.

"Pantes aja gitu gua heran dari tadi pas pak Haris mulai ngenalin si bisu ini. Gua aneh karena baru kali pertama liat anak baru, tapi perkenalannya sama wali kelas sendiri."

"Bener, bos. Gua juga heran apalagi pas pak Haris bilang kalo dia itu pindahan dari yayasan Bunda Kasih." timpal Benny lagi.

"Betul banget. Kita kan tahu, di sana itu sekolahnya kalau bukan orang miskin, yaa orang-orang kekurangan kaya dia."

Mereka lantas menertawakanku.

"Percuma ganteng kalo bisu." celetuk Dito. "lebih mending gua lah. Meskipun badan gede tapi masih bisa ngomong."

"Iya tuh." sahut salah satu temannya lagi yang kulihat bernama Robby.

Brakk!!!

Kami seketika terperanjat kaget tatkala seorang wanita yang berada di depanku tadi menggebrak meja dengan keras lalu berdiri sambil membalik badan ke arah Dito dan menatapnya dengan tatapan tajam.

"Percuma bisa ngomong kalo mulutmu sendiri gak dijaga!"

...