Beberapa tahun yang lalu...
"Masya Allah nak..., kenapa kamu bisa pinter kaya gini?" Bu Rufida, pengajar kelasku seperti biasa memuji pengetahuanku saat bisa meraih nilai seratus di semua mata pelajaran tanpa terkecuali.
"Kamu ini bener-bener calon anak sukses. Selain tampan, kamu juga pinter banget. Jenius. Ibu doain semoga kepinteranmu ini gak buat kamu sombong sama adik-adik asrama, ya."
Aku mengangguk sambil tersenyum.
Perlu kalian ketahui.
Aku ini tinggal di salah satu panti yatim di daerah Jakarta. Sejak bayi, aku sudah diurus oleh keluarga panti yang ramah nan baik hati.
Mereka tak pernah memarahiku. Justru..., di sini aku seperti kakak dari adik-adik asrama yang sungguh sopan dan menghargai keberadaanku.
Aku tak sendiri di sini.
Maksudku, orang-orang sepertiku yang kurang sempurna, juga banyak yang dirawat oleh panti asuhan Bunda Kasih.
Ada yang tuna netra, ada yang tuna daksa, ada yang tuna rungu, ada pula yang tuna wicara. Salah satunya aku.
Banyak alasan kenapa mereka disimpan di panti yatim ini.
Ada yang kedua orang tuanya sudah meninggal, ada yang kehidupan keluarganya kurang mampu sehingga menitipkan anaknya di sini, ada juga yang..., dibuang sejak kecil dan disimpan di halaman panti.
Sama seperti ceritaku.
Tapi, lagi-lagi Bu Anita -ibu cantik yang telah merawatku dari bayi, selalu memberiku kekuatan untuk tetap bangkit dan berjuang meneruskan hidup.
Aku masih ingat dengan lekat sekali.
Dulu beliau pernah bilang. Kata-katanya kurang lebih seperti ini.
"Nak...," ujarnya lemah lembut, "kamu jangan pernah berpikir sendiri di sini karena tak ada orang tua kandung yang datang menjenguk dan mencari tahu kabar tentang kamu. Ingatlah, kita semua, orang-orang yang ada di yayasan ini juga adalah keluargamu. Kamu harus tetap bertahan untuk mengejar seluruh impianmu. Doa kami selalu menyertai anak-anak di sini tak terkecuali kamu, Mahes. Maka dari itu kamu jangan pernah bersedih lagi."
Memang, dulu ketika aku mulai mengerti orang tua, aku merasa iri dengan teman-teman yang selalu dijenguk oleh kedua orang tua mereka.
Salah satunya Zaid.
Belakangan kutahu anak itu disimpan di sini karena orang tuanya tak mampu membiayai anaknya sekolah. Bisa makan dengan nasi dan kecap saja sudah alhamdulilah. Begitu yang pernah dia katakan padaku.
Maka dari itu kata Bu Anita, temanku yang bernama Zaid ditawarkan untuk tinggal di sini.
Alasannya cukup terharu.
Agar generasi muda penerus bangsa ini tak ada yang buta huruf, buta pelajaran, buta wawasan, buta Al-Qur'an dan buta etika hanya karena kurangnya pendidikan, cinta, kasih sayang juga perhatian kedua orang tuanya.
Walau kondisiku yang seperti ini, aku masih bersyukur.
Karena di luaran sana banyak anak-anak yang sempurna tapi kehidupannya jauh kurang memadai dengan kehidupanku saat ini.
Mereka mengamen di jalan, di pasar bahkan di tempat-tempat umum. Dan ukulele, adalah salah satu teman setianya untuk mencari nafkah.
Demi sesuap nasi, anak-anak yang seharusnya bersekolah, mencari ilmu, malah terpaksa bekerja untuk bisa meneruskan hidup untuk hari ini, hari esok dan hari-hari berikutnya.
Tak tahu ayah bundanya kemana.
Mungkin kalau aku menjadi ayah dari salah satu anak jalanan itu, aku pasti akan menjerit kesakitan. Merasa tak becus menjadi ayah yang tugasnya harus menafkahi anak dan membiayainya sekolah, tapi malah anaknya sendiri yang memberi nafkah untuk orang tua.
Kalau sudah tamat sekolah ya bagiku tak masalah. Karena bisa juga disebut sebagai pengabdian terhadap kedua orang tua karena telah sukses mendidik anaknya hingga tamat sekolah bahkan ada yang tamat sarjana.
Tapi..., entah kenapa hatiku begitu miris sekali melihat anak-anak di bawah umur yang sudah berani meminta-minta dengan pakaian kucel.
Terkadang, aku juga pernah mengintip mereka berlari ke sebuah gubuk lalu memberikan uang yang mereka kumpulkan dari orang-orang kepada para preman.
Aku bisa melihat dengan jelas. Upah dari pagi sampai malam hanya dibayar lima ribu rupiah perorang.
Kasihan sekali. Karena bagiku, tinggal di ibukota seperti ini, uang lima ribu rasanya tak bisa membeli masakan warteg.
Entahlah. Aku bisa melihat raut mereka yang kegirangan lalu pergi ke warung kecil untuk membeli roti.
Aku, aku benar-benar tak sanggup melihat mereka.
Andai aku punya kuasa dan banyak uang. Akanku sekolahkan mereka sampai tamat dan sukses.
Aku ingin generasi ini semakin meningkat karena prestasi, bukan karena kurangnya motivasi.
"Mahes?" Zaid menepuk pundakku, "kamu kenapa? Dari tadi diem aja. Dimarahin ibu ya?" Maksud ibu dari Zaid itu, adalah ibu Anita.
Aku seketika menggelengkan kepala.
Karena bagiku, Bu Anita adalah seorang ibu penyayang dan memiliki sikap yang lemah lembut. Beliau tak pernah memarahi atau bahkan menegurku sekalipun.
Karena sifat yang sudah terbenam dalam hatinya itulah. Yang membuat Bu Anita anti memarahi anak kalau tidak melakukan kesalahan yang berat.
Kalaupun ada yang bertengkar, ibu akan menasehatinya dengan baik-baik dan sopan. Terkadang..., ibu juga membubuhi cerita bagaimana sikap Rasullullah dalam berteman dengan teman-temannya ketika masih kecil.
"Terus kamu mikirin apa?" tanya Zaid lagi.
Aku menunjuk pada anak di ujung sana yang tengah mengais botol bekas minuman lalu memasukkannya ke dalam karung.
"Oh aku ngerti." ujarnya kemudian, "kasihan ya dia. Tapi alhamdulilah. Kita beruntung bisa tinggal di sini dengan teman, dan anggota yayasan yang sangat menyayangi semua anak-anaknya."
Aku mengangguk dengan cepat memberi isyarat bahwa aku juga sangat setuju dengan ucapan Zaid.
Sebenarnya, dulu yayasan Bunda Kasih berada di Banten. Termasuk aku dan teman-teman juga.
Tapi, karena adanya donatur yang sangat dermawan, membuat yayasan kami dipindahkan ke Jakarta dengan ruangan dan fasilitas yang jauh lebih baik dari sebelumnya.
Tanpa membayar sepeserpun uang. Kami baru menempati bangunan indah ini selama beberapa bulan.
Sungguh, hamba Allah itu baik sekali.
Selain kaya, beliau juga kerap menyambangi kami sembari membawa coklat dan makanan ringan.
Tak hanya itu. Jika ada waktu lenggang, bapak yang sering kami sebut pak Arkam, selalu mengajak kami jalan-jalan.
Kadang ke Ancol, kadang ke Dufan, kadang ke Taman Mini, atau kadang membuat perkemahan kecil di bukit kota Bogor.
Intinya, aku sangat bahagia bisa berjumpa dengan beliau.
Sekarang aku tak bisa memberikan apa pun kepadanya.
Tapi di setiap doa, selalu kusisipkan nama pak Arkam agar Allah menerima semua kebaikannya dan dibalas dengan surga.
Aku juga berdoa agar usaha pak Arkam semakin maju dan sukses. Karena yayasan kami juga ditopang donatur tujuh puluh persen oleh beliau.
Aku mendengar semuanya dari Bu Anita.
Ibu mengatakan sejujurnya kepada kami, bukan tanpa alasan.
Beliau ingin ketika kami sukses nanti, kami tak lupa dengan orang-orang yang dulu berjasa terhadap kehidupan aku dan teman-teman.
Dan benar sekali.
Bu Anita, Bu Rufida dan Pak Arkam adalah pahlawan tanpa tanda jasa bagi setiap langkahku.
Aku tak akan pernah melupakannya di kemudian hari.
Bu, pak, doakan aku ketika besar nanti semoga sukses, ya!
...
"Mahes, kamu dari mana?" aku menoleh dan melihat Bu Anita sedang duduk sambil berjemur di pagi hari.
Aku menunjuk uang dan seorang pengemis anak yang kuceritakan tadi.
"Oh..., kamu ngasih uang?"
Aku mengangguk.
"Baiklah. Sini." Ibu melambaikan tangannya, "duduk sama ibu."
Aku lantas menghampirinya.
"Bagaimana hasil nilai ulangan kamu?"
Aku meminta izin darinya kemudian berlari ke asrama dan menyerahkan semua nilai itu.
"Masya Allah. Semuanya seratus." ibu mengusap kepalaku dengan lembut, "kamu ini pintar, nak. Nanti SMA kamu sekolah di negeri, ya."
Aku melebarkan kedua mata tanda senang. Segera kupeluk Bu Anita karena sekolah di negeri, adalah salah satu keinginanku dari kecil.
Bukan tak bisa, dulu aku dilarang oleh Bu Anita karena kondisiku yang kurang sempurna. Takutnya aku dibully oleh anak-anak negeri yang mayoritas sempurna dan banyak uang.
Karena memang, dari kecil sampai sekarang aku sekolah di swasta yang masih termasuk lingkup yayasan Bunda Kasih.
Bukan sekolah luar biasa. Karena anak-anak luar juga banyak yang sekolah di sini.
Dan aku, sangat bahagia karena nanti bisa bertemu dengan teman dan pengalaman yang baru.
...