"Minggirlah, Tom. Aku sedang lelah," Vincent menepiskan tangan Tommy dari lengannya.
"Apa Kau sudah lupa dengan peraturan di sini? Bersenang-senanglah hingga pagi buta, Vincent," ucap Tommy.
Vincent tidak memedulikan ucapan setengah mabuk lelaki yang menarik-narik lengannya. Ia menenggak dengan kasar wine yang berada di depannya.
Perempuan-perempuan dengan gaun seksi berwarna-warni menemani mereka memainkan kartu UNO. Permainan yang sangat menyebalkan untuk Farell karena Ia sangat kesusahan untuk menghafalkan angka dan warna. Meskipun begitu, Farell tak mau kalah hingga Ia mengerahkan otaknya untuk bekerja keras sepanjang malam. Gengsinya terlalu tinggi untuk mengakui Ia sangat kesusahan dalam permainan itu, untung saja Ia tidak berlama-lama di jenjang Taman Kanak-kanak. Mulut Farell tak henti menggerutui Vincent karena hanya menonton dengan bengong.
"Apa kau takut kalah lagi seperti dulu, Vin?" ejek Gerry.
"Vincent tidak mensyukuri kekalahannya yang membawa berkah," gumam Farell.
Tommy melontarkan kartu dan sekarang giliran Farell untuk mengeluarkan kartunya.
"Hei, itu warna biru bodoh," seru Tommy.
"Ini juga," sahut Farell.
"Yang Kau keluarkan itu warna hijau," bantah Tommy.
"Bagaimana bisa warnanya berubah?" ujar Farell dengan keras mengalahkan dentuman musik yang mereka setel.
"Kau mabuk, Rell? Sedari tadi tidak ada yang menggantinya," timpal Gerry.
Perempuan-perempuan kelab yang menemani mereka hanya tertawa kecil melihat kekonyolan Farell. Setelah pusing karena berkali-kali gagal mencocokkan angka dan huruf, Farell mengundurkan diri dari permainan konyol yang Ia ikuti bersama Tommy dan Gerry.
"Aku mau nonton kalian berdua saja," tukas Farell.
"Itu namanya curang, Kau selalu mundur jika sudah terpepet," Gerry tidak terima.
"Sekarang kita buat perjanjian saja," usul Tommy.
"Apa?" Gerry bersemangat.
"Menang, mengencani gadis Vincent!" ucap Tommy.
"Setuju!" seru Gerry.
Farell tertawa terbahak-bahak, Vincent naik pitam karena gadis itu kini menjadi taruhan kebodohan teman-teman laknatnya.
"Aku tidak terima!"
Lelaki itu menyahut setumpuk kartu di meja dan membuatnya berceceran di lantai. Bella tidak boleh menjadi korban kekonyolan anak-anak bobrok itu meskipun Ia kini tengah berada di jarak yang sangat jauh darinya. Demi apapun, Ia tidak terima.
Farell menghentikan tawanya dan menahan suara apapun yang keluar dari mulutnya. Tommy dan Gerry menoleh memandang Vincent yang mengamuk seperti orang kesurupan.
"Kalau begitu, ikutlah Vin. Siapa tahu Kau yang menang," ujar Gerry.
"Kalau aku ikut, kalian harus mengalah," tanggap Vincent.
"Itu tidak fair, Vin. Kau harus mengikuti permainannya," otot Tommy.
"Jika kalah, stop mengikuti dua putaran dari permainan ini," ujar Farell.
"Itu hanya menguntungkanmu, Rell. Mengaku saja kalau Kau kesulitan mengikuti permainan ini," ucap Tommy.
"Kau banyak protes, Tom," gerutu Gerry sembari membagikan kartu baru.
Permainan berubah sengit semenjak Vincent bergabung, Gerry dan Tommy tidak peduli dengan wajah membara Vincent, Farell mati-matian memutar otak agar bisa menyeimbangi kelihaian ketiga temannya. Ronde pertama dimenangkan oleh Gerry. Vincent menempati urutan kedua.
Lexa masuk ke dalam ruangan VVIP setelah Ia selesai melayani klien short time. Ia ngotot untuk bergabung karena melihat permainan itu rupanya seru.
"Kau akan digilir jika kalah, Lex," ujar Farell.
"Bukankah biasanya juga begitu?" tanggap lexa.
"Biasanya Kau hanya melayani Vincent," ucap Gerry.
"Apa hadiah kemenangannya?" tanya Lexa sembari menyusun kartu yang telah diterimanya dari Gerry.
"Mengencani Arabella," sahut Tommy dengan semangat. Ia tidak tahu jika Vincent di sampingnya melotot dengan sepenuh tenaga.
"Astaga, aku straight. Bagaimana jika aku mengunjungi Vincent ke kantornya saja seperti Geisha waktu itu?" ujar Lexa.
"Tidak bisa, Lex. Kau merugikan sepihak," protes Vincent.
"Ah, sudahlah. Aku tidak yakin Lexa akan menang, Vin," ucap Gerry.
"Kau menantangku, Ger?" tukas Lexa.
Permainan terus berlanjut, Farell yang terseok-seok untuk mencocokkan kartu dan angka sesekali mengintip koleksi Vincent. Tommy yang mengetahui tingkah Farell tidak berniat memberi tahu Vincent. Ia justru senang jika perolehan Farell mengimbangi Vincent.
Namun naas, Farell tetap saja kalah tepat di bawah Lexa. Perempuan itu tertawa penuh kemenangan.
"Kau terlaku overthinking, Dude," tawa Lexa
Ronde kedua, permainan terus berlanjut dengan melontarkan kartu yang mengungguli kartu lawan atau sejajarnya. Gerry mulai memijit pelipisnya karena koleksinya menggunung. Ia sudah tidak memiliki harapan untuk mengencani gadis kecil nan manis dan membakar emosi Vincent setelahnya. Tommy berjingkrak senang ketika Ia tahu Vincent mulai kewalahan melarikan kartunya.
"Sudahlah, Vin. Mengalah saja," goda Tommy.
Vincent tidak memedulikan ocehan Tommy, Ia terus memutar otak agar kartu-kartunya berpindah ke meja dan tidak menggunung di tangannya.
Triiiing triiing
"Oh, shit!"
"Farell, apa-apaan Kau?"
Alarm bangun dini hari berdering melengking dari handphone Farell, teman-temannya mengutuk karena suara itu hampir membuat jantung mereka lepas.
"Sorry, Guys. Aku suka rekaman jam segini karena suasananya sepi dan segar," ujar Farell.
Hasil akhir permainan UNO yang membuat sikap mereka sangat kekanakan, membawa keberuntungan bagi Tommy. Ia akan mengencani Bella. Gelak tawanya disambut tatapan tajam Vincent. Lelaki itu mengutuk siapapun yang memilki ide permainan konyol ini.
"Maafkan diriku, Vin. Tapi ini sudah menjadi nasib baikku," ujar Tommy.
"Awas saja sampai Kau berani menyetuhnya, Tom!" seru Vincent.
"Aku tidak akan menyentuhkan, tetapi menyeretnya," sahut Tommy sembari tertawa.
Vincent melotot dan kembali melontarkan ancaman tak terucapkan. Farell dan Gerry terkikik-kikik menahan tawa.
Vincent mengumpat sembari keluar kelab dan mengemudikan mobilnya dengan kencang. Meskipun Ia yakin Tommy tidak akan macam-macam terhadap Bella, tetapi Ia tetap saja tidak terima mengetahui anak bangsat itu akan mengencani gadis pujaannya.
Pagi ini Ia akan kembali ke rutinitas dan terus mengharapkan pengampunan dari sekretarisnya yang manis -seperti penilaian Lexa dan Geisha. Ia sarapan apa adanya dari kulkas apartement, menelannya dengan segala bayangan di kepalanya yang penuh dengan Bella.
Gadis itu tidak hanya takut dan marah, tapi nampak jelas di matanya bahwa Ia jijik melihat dirinya. Vincent sedikit menyadari bahwa dirinya sangat berbeda dari orang-orang pada umumnya yang hidup dengan normal. Tanpa paksaan perasaan sama sekali.
Vincent sadar, semua yang ada pada dirinya adalah palsu dan hasil karbitan. Hanya ada dua wadah tempat Ia berekspresi sesuai hati nuraninya, di kelab bersama anak-anak laknat itu atau di depan Bella ketika mereka hanya sedang berdua.
Ia membuka handphone-nya dalam perjalanan ke kantor.
"Ah, shit!" desis Vincent. Matanya melihat akun gadis itu menerima following dari Tommy.
"Mohon maaf ada yang salah, Pak?" ucap sang sopir yang membawanya menuju menara gading Sidomuktiningjaya.
"Tidak, lanjut saja. Ekhm," sahut Vincent.
Gemeretak gigi terdengar di tengah musik lembut yang diputar untuk menemani perjalanan Vincent. Lelaki itu tidak peduli sama sekali oleh betapa romantisnya musik yang diputar. Kepalanya sedang mendidih membayangkan gadis itu dikencani Tommy.
***
https://dynamic.webnovel.com/book/18533884806200905?utm_source=writerShare&utm_campaign=4310647660