Semua pegawai diam sejenak, bingung ingin menanggapi seperti apa perkataan manager sekaligus bos mereka itu.
"Hey-hey, kalian tidak usah takut ya? Saya jamin kalian akan lebih bahagia jika dia bisa lebih lama di sini nantinya."
"Iya pak," ucap para pegawai berbarengan.
"Lalu, kapan dia akan datang pak?" tanya Ara.
"Besok Ra."
"Besok banget pak?" ucap Ara kaget.
"Iya. Memang kenapa Ra?"
"Oh, tidak apa-apa pak."
"Yasudah kalau begitu, kalian lanjut lagi pekerjaan kalian."
"Baik pak," jawab beberapa pegawai lesu.
~~~~~
-->Ara
Gimana nih, kalau lusa nanti udah gak ada pak Rico?
Gue masih gampang buat tuker shift kerja gak ya? Mengingat kegiatan gue yang masih kuliah rutin lima hari dalam seminggu.
Kata pak Rico sih, orangnya gak galak dan ganteng. Bagi gue mah bodo amat dia ganteng, yang penting mah dia bisa diajak kompromi sama jadwal kuliah gue aja. Hahaha, karyawan gak tahu diri gue.
"Ra?"
"Iya Tal."
"Gue udah jadian sama Bembi."
"Seriusan?" jawab gue pura-pura belum tahu.
"Iya, tapi ini rahasia kita berdua ya! Jangan sampai orang lain tahu."
"Bertiga Tal," batin gue.
"Oke Tal. Selamat ya?"
"Iya Ra. Makasih ya?"
"Iya sama-sama."
"O iya, nanti kalau pengganti pak Rico udah dateng. Jangan lupa buat obrolin soal jadwal kuliah lu ke dia ya Ra!"
"Siap Tal, gue udah nyiapin banyak kata-kata dari sekarang," ucap gue sambil tertawa.
"Hemm dasar lu."
~~~~~
Suasana cafe hari ini terbilang cukup sepi, mungkin karna suasana hati para pegawai yang membuat nuansa cafe jadi terlihat sepi. Banyak pegawai yang tidak bersemangat hari ini. Pembicaraan pak Rico pagi ini membuat mood mereka menurun. Lalu, beberapa anak muda memasuki cafe dan mengambil area duduk di sudut cafe.
Di sudut cafe tersebut, ada satu kursi berbentuk setengah lingkaran dan meja berbentuk elips yang lumayan besar. Area sudut tersebut memang sering digunakan untuk satu rombongan pengunjung. Karena kursi tersebut mampu menampung kurang lebih sembilan sampai sepuluh orang, maka akan menyenangkan jika digunakan untuk berkumpul.
"Ra? Lu yang ke meja sana ya!" pinta Talia.
"Oke Tal."
Bergegas Ara menghampiri sudut cafe dan menyiapkan buku menu dan buku kecil yang selalu dibawa oleh semua pegawai cafe.
"Permisi? Sudah siap untuk memesan?" tanya Ara ke pengunjung.
"Eh, kak Ara. Masih ingat saya kan kak?" ucap seorang cowok.
"Emm…"
"Gue Rio kak, temennya Sammy."
"Oh, temen Sammy. Sammynya gak ikut?"
"Nanti nyusul kak."
"Oh gitu. Kalian semuanya, jadi pesen apa?"
"Kita pesen minum dulu aja kak. Nanti kalau udah full kumpul semua, kita baru pesen makanannya."
"Oke, minumnya apa?"
"Jus alpukat lima sama jus jeruk tiga ya, kak!"
"Oke, ditunggu sebentar ya!"
"Iya kak."
Beberapa saat kemudian…
"Silahkan pesanannya," ucap seorang pegawai cafe.
"Makasih mbak."
"Nyariin siapa lu? kak Ara?" bisiknya.
"Apaan sih Ri," balasnya.
"Dia udah ke sini Sam."
"Oh."
"Kalian kok bisa samaan sih manggil gue Ri, biasanya orang pertama yang tahu nama gue, akan tetep manggil gue Rio."
"Yaelah Ri, kayak begini pake didebatin segala."
"Hehehe, ngerasa aneh aja Sam."
"Eh, kalian kenapa sih? Berantem sendirian."
"Kagak Sin, kita cuman ngobrolin game kok."
"Oh, gitu."
Jam kerja Ara, Bembi dan Talia usai berbarengan. Mereka bertiga memutuskan untuk berkumpul di apartemen Ara dan mengambil oleh-oleh yang tidak sempat Ara bawa ke cafe untuk Bembi dan Talia. Mereka bertiga mengendarai tiga motor yang berbeda, Ara motor matic, Talia motor manual, dan Bembi motor berkopling.
"Rumah lu di mananya Ra?"
"Di Green Hara, Bem."
"Lu tinggal di sana?"
"Iya Tal."
"Di sana kan apartemen mahal Ra?"
"Kalau beli emang mahal Tal, tapi gue cuman penyewa Tal."
"Enak gak Ra tinggal di sana?"
"Ada enak ada enggaknya. Yaudah, kita jalan sekarang yuk! Keburu macet parah nanti."
"Oke Ra."
Mereka bertiga berjalan beriringan, sebisa mungkin jarak kemudi tidak terlalu jauh, biar gak saling kehilangan. Untung jalanan belum terlalu padat, maka perjalanan menuju apartemen hanya memakan waktu kurang dari sejam. Setelah sampai basement tempat parkir di apartemen, ketiganya melepaskan segala atribut yang mereka kenakan saat mengendarai sepeda motor tadi.
Mulai dari helm, jaket, sarung tangan, masker dan kacamata. Untuk jaket dan kacamata, mereka tetap pakai.
Ketiganya memasuki lift apartemen, lalu Ara menekan tombol lift dan mengobrol ringan dengan kedua temannya sembari menunggu lift sampai di tujuan.
"Ayo masuk!"
"Assalamualaikum?" ucap kedua teman Ara.
"Waalaikumsalam salam," balas Ara.
"Duduk dulu ya! O iya, mau minum apa?"
"Pengen yang dingin-dingin Ra."
"Oke Tal."
Lalu Ara bergegas menuju ruang ganti dan kembali keluar menuju dapur untuk mengambil minuman dan beberapa cemilan.
"Ra, banyak banget buku di rumah lu?"
"Gue suka baca Bem."
"Pantesan."
"Diminum dulu minumannya!"
"Iya Ra."
"O iya, lu tinggal di sini sendirian?"
"Iya Tal, ortu gue ada di kampung semua."
"Gak ngerasa sepi?"
"Lumayan, tapi udah biasa kok."
"Bukannya kamu juga tinggal sendirian?"
"Ciyeee, sekarang udah aku kamu aja nih," ledek Ara.
"Iiih, apaan sih Ra."
"Gak papa kali Tal, normal kok. O iya, bentar gue ambilin oleh-olehnya."
"Gue pinjem buku ini ya Ra?" ucap Bembi, sambil menunjukkan sebuah novel berjudul 'Kisah Cinta Si Gadis Selingkuhan.
"Oke Bem, lu gak pinjem buku juga Tal?"
"Gue gak begitu suka baca Ra, lebih suka nonton."
Lalu Ara beranjak dari ruang tamu untuk mengambil sesuatu.
"Ini, oleh-oleh dari gue buat kalian."
"Apa ini Ra?"
"Bakpia sama baju couple dari Jogja buat kalian."
"Baju couple?"
"Iya."
"Makasih Ra," ucap talia sambil memeluk erat Ara.
"Iya sama-sama. Gue udah ngerasa aja kalau kalian bakal jadian, makannya gue beli baju ini.
"Thanks banget pokonya Ra."
Tepat jam 8 malam, Bembi dan Talia berpamitan dari apartemen Ara. Ara mengantarkan keduanya sampai ke lantai basement area parkir sepeda motor.
"Tiati Bem! Elu juga tiati ya Tal!"
"Okey," keduanya menjawab.
Ara menuju lift lagi setelah kedua temannya meninggalkan area parkir sepeda motor, menekan tombol dan bersandar ke dinding lift.
"Kira-kira, temen pak Rico baik gak ya?" ucap Ara.
Sesampainya di dalam apartemen, Ara mulai melakukan ritual harian yang selalu dia kerjakan, apalagi kalau bukan menuliskan semua hal yang dia lalui hari ini. Ara juga masih membaca ulang draft-darft novel yang pernah ia tuliskan. Ara belum menuliskan judul novel untuk karya terbarunya. Ia masih mengetuk-ngetukkan jari telunjuk kanannya di atas meja, seperti sedang memikirkan judul yang sesuai untuk ceritanya.
"Gue kasih judul apa ya?" ucap Ara, sambil membenarkan kacamata bacanya.