Chereads / Love Rain / Chapter 21 - Menuju Jawaban

Chapter 21 - Menuju Jawaban

Ketegangan jelas terlihat dari mimik wajah penghuni rumah bergaya joglo ini, kecuali seorang wanita tua yang sangat-sangat terlihat tenang, yaitu nenek.

"Le(nak), kamu atur video recording dulu, ya!" pinta nenek.

"Baik, bu. Anggada coba atur semuanya dulu, ya."

"Kenapa harus direkam segala, yah?" tanya Wisnu.

"Sebagai pengingat buat mbakmu, Wis." ucap tante Anila.

Pengingat? Gue makin yakin kalau tante Anila tahu tentang penyakit gue, dan om Anggada pun pasti tahu juga tentang kondisi gue.

"Sebentar nek, maksud nenek ini apa ya? Apakah om Anggada dan tante Anila sudah tau tentang kondisi Ara?" tanya gue ke nenek.

"Nduk, nanti akan nenek jelaskan semuanya, termasuk pertanyaan-pertanyaan dari kamu selama ini. Kita tunggu om kamu selesai dulu." ucap nenek.

"Baik nek."

"Wis, tolong bantu ayah untuk mengambil sebuah box di kamar nenek, ya! Box berwarna hitam." perintah om Anggada ke Wisnu.

"Nggih (iya), yah."

Box? Box apa yang dimaksud sama om Anggada? Apakah box yang berisi catatan gue yang hilang? Kenapa bisa ada di sini? Sebenarnya ini ada apa? Berbagai pertanyaan memenuhi otak gue. Lalu, kenapa papa mama tidak datang disaat seperti ini? Mereka benar-benar membuat gue sendirian.

"Ini yah," ucap Wisnu sambil membawa box hitam.

"Taruh di dekat nenek ya nak!"

"Iya, yah." sambil Wisnu berjalan melangkah ke arah nenek dan setelahnya kembali duduk di tempat semula.

"Bu, semua sudah siap." ucap om Anggada.

"Baiklah, le(nak). Kamu udah siap nduk?" tanya nenek ke gue.

"Iya, nek. Ara udah siap."

"Sebelumnya, nenek minta maaf yang sebesar-besarnya ke kamu ya nduk."

"Minta maaf untuk apa, nek?" tanya gue.

"Semuanya nduk, termasuk memberitahukan soal kondisi kamu ke om dan tantemu."

"Apakah ada alasan kenapa nenek memberitahukan kondisi Ara ke om dan tante?"

"Ada nduk."

"Apa nek alasannya?"

"Karna nenek tidak ingin mereka membicarakan sesuatu yang akan membuat kamu seperti dulu lagi, nak."

"Seperti dulu lagi? Maksud nenek?"

Nenek terdiam cukup lama, sampai om Anggada membuka pembicaraan disela diamnya nenek.

"Kejadian dua tahun lalu, Ra." ucap om Anggada.

"Dua tahun lalu? Kejadian apa om, Ara benar-benar gak bisa mengingat hal tersebut jika tak ada berkas nyata dari Ara sendiri."

"Maksud mbak Ara tidak bisa mengingat hal itu apa, mbak?" tanya Wisnu.

"Mbakmu memiliki semacam kondisi langka dalam kemampuan daya ingat, Wis. Mbakmu akan mudah lupa dan mudah ingat tentang suatu hal." ucap tante Anila.

"Maksud bunda apa? Wisnu gak paham, bun."

"Maksudnya, aku akan mudah ingat tentang sesuatu, tetapi aku juga akan mudah untuk lupa. Aku akan lupa tentang ingatan aku jika dihari itu aku tertidur, dan akan ingat kembali jika aku membaca catatan atau buku harian yang aku tulis." ucap gue menjelaskan ke Wisnu.

"Benarkah itu, mbak?"

"Iya, le(nak). Mbakmu menuruni kondisi ini dari bude Sinta. Kamu ingat kan, kalau bude Sinta sering melupakan nama kita semuanya kecuali pakde Bharata?" ucap tante Anila.

"Iya bun, Wisnu ingat banget soal itu."

"Nah, kondisi daya ingat mbakmu Ara sekarang sama seperti kondisi bude Sinta, nak."

"Apakah itu sebabnya mbak Ara gak ingat tentang hal itu, bun?"

"Iya, sayang."

"Sekarang kamu sudah tahu kan tentang kondisi mbakmu, jadi nenek mohon jaga dia baik-baik ya!" ucap nenek ke Wisnu.

"Nek, Ara baik-baik aja kok. Tolong jangan anggap Ara seperti pasien, nek!" ucap gue sambil menahan air mata yang serasa tak mampu gue bendung lagi.

Karna setelah melihat ini semua, gue merasa mereka berubah dalam memandang gue.

Ini yang tidak pernah gue suka jika orang lain tahu tentang kondisi gue, ini yang ngebuat gue merasa seperti orang yang benar-benar memiliki penyakit. Papa mama, Ara gak suka dengan pandangan mereka semua. Di mana kalian sebenarnya?

"Enggak sayang, kami tidak menganggap kamu seperti pasien, kami hanya tidak ingin kamu merasa terpuruk lagi."

"Terpuruk karna hal apa, nek? Lalu di mana sebenarnya papa dan mama? Kenapa mereka tidak di sini disaat seperti ini?" tanya gue bertubi-tubi ke nenek.

"Baiklah nenek akan ceritakan semuanya." ucap nenek.

Suasana di ruang keluarga mendadak hening menantikan cerita yang akan nenek utarakan. Tapi gue yakin, hanya gue sendiri yang tidak tahu apa-apa tentang cerita nenek nantinya.

"Sebenarnya, waktu ulang tahun kamu yang ke-20 itu kita gak jadi ngerayain bareng-bareng nduk."

"Kenapa gak jadi, nek. Bukankah nenek sudah sampai stasiun Pasar Senen, menunggu papa datang menjemput?"

"Ada sesuatu hal yang terjadi nduk."

"Tentang apa, nek."

"Tentang papa mama kamu, nduk."

"Papa mama? Apakah ini ada hubunganya kenapa gak ada catatan harian Ara setelah hari ulang tahun yang ke-20 itu, nek?"

"Iya, nduk. Catatan kamu setelah hari itu memang tidak ada nduk, kamu mulai menulis setelah kamu terbangun dari koma 2 bulan setelahnya."

"Koma? Kenapa Ara bisa koma, nek?"

"Waktu itu, nenek menunggu papa kamu di stasiun sangat lama. Hampir 2 jam nenek berada di stasiun, nenek coba telfon ke nomer papa dan mama kamu tapi tak ada jawaban. Lalu nenek mencoba menelfon ke nomer kamu, tapi nomer kamu sedang sibuk.

"Nenek memutuskan menuju rumah menggunakan taksi. Baru saja nenek masuk ke dalam rumah, nenek sudah melihat kamu pingsan masih dengan ponsel berada di tangan kamu, dan disitu nenek baru tahu kalau nomer kamu sibuk karna kamu menerima telfon dari rumah sakit"

"Telfon dari rumah sakit?"

"Iya, nduk."

"Tapi, di berkas catatan yang Ara simpan, Ara gak menemukan catatan tentang Ara menerima telfon dari rumah sakit nek. Dan kenapa sampai Ara bisa pingsan? Apa terjadi sesuatu dengan papa mama?" tanya gue beruntun ke nenek."

Dulu gue terkadang menuliskan percakapan via telfon, walau tulisan awal akan berantakan karna menulis sambil berbicara dan mendengarkan. Tapi akan gue perbaiki saat sambungan telfon terputus, dan akan menjadi sebuah percakapan rapi karna gue menuliskannya saat ingatan gue masih bagus.

"Catatan itu kamu tulis di lembar kertas yang berbeda sayang, bukan di bukumu."

"Lalu di mana lembar kertas itu, nek?"

Lalu om Anggada tiba-tiba membuka box hitam yang dibawa oleh Wisnu tadi dan mengambil selembar kertas yang telipat dua.

"Kertas itu di sini, Ra." ucap om Anggada.

"Kenapa bisa di situ, om?"

"Nenek yang membawanya nduk." ucap nenek.

"Kenapa harus nenek bawa?"

"Karna nenek tidak ingin kamu terpukul lagi, nak."

"Terpukul? Maksud nenek?"

"Silahkan kamu baca, Ra!" ucap om Anggada sambil memberikan selembar kertas ke gue.

Gue masih ragu untuk menerima, lalu tante Anila menawarkan diri untuk membacanya.

"Sini, yah! Biar bunda yang bantu bacakan isinya." tawar tante Anila.

"Bolehkan sayang?" tanya tante Anila ke gue.

Gue terdiam cukup lama, lalu mengiyakan pertanyaan tante Anila dengan menganggukkan kepala.

"Baiklah, tante mulai baca ya."