"Mampus dah gue, Ra." ucap Dewita gelisah.
"Kenapa, Wit?" tanya gue bingung.
"Ada beberapa garis yang gue akalin pake penggaris Ra, gimana dong ini?" ucap Dewita masih dengan kegelisahanya.
"Yaudah gini aja, kan pak Indra masih di belakang tuh. Sekarang coba lu apus garis yang lu akalin pake penggaris itu, terus lu buat aja garis free hand sekarang." ucap gue ke Dewita.
"Kalau gitu gue gak ikut dulu ke belakang buat ngeliat punya Harry ya Ra, gue benerin ini dulu."
"Iya wit, udah sekarang cepet lu apus! Gue tutupin lu pake badan gue di sini." Ucap gue sambil berdiri di belakang kursi Dewita menghadap sekumpulan mahasiswa yang berkumpul di meja Harry untuk membuat mahasiswa gak fokus ke Dewita.
"Gimana, udah belum?"
"Bentar Ra, satu kali garis lagi."
"Yes, Alhamdulillah Ra." Ucap Dewita dengan lega.
"Selesai?"
"Udah Ra, lega banget sumpah. Thanks ya."
"Oke Wit, sama-sama. Ayo ke sana! mumpung mereka pada masih ngumpu," ajak gue ke Dewita.
"Oke Ra."
Setelah seluruh mahasiswa mendapat coretan dan nilai dari pak Indra, akhirnya pak Indra undur diri dan tak lupa meninggalkan sebuah tugas lagi bagi kita untuk diserahkan minggu depan. Tugasnya adalah membuat jenis-jenis motif sebanyak 4 lembar di kertas A3. Ekspresi kami sekelas bener-bener seperti sudah capek sendiri dengan tugasnya, padahal dikerjain aja belum tugasnya. (hhehe)
"Keluar yuk keluar, asem ni mulut." ucap seorang mahasiswa diikuti mahasiswa yang lain.
Gue sih udah tahu mereka mau ngapain, pasti pada ngumpul di smoking area di luar gedung buat ngerokok. Cowok kan kebanyakan begitu, tapi ternyata gak cuman cowok aja sih yang mau ngerokok.
"Ra, Din, ikut gak?" ajak Nisa.
"Ayo lah," balas gue dan Dinda.
"Kalian mau ke mana?" tanya Dewita.
"Biasa Wit." balas Nisa.
"Oh, jangan banyak-banyak nanti bau." ucap Dewita.
"Siapp."
Dewita tahu kalau kita bakal ngerokok juga kayak mahasiswa cowok yang lain. Dewita gak suka bau rokok, makannya tadi dia ngelarang kita buat banyak-banyak hisap batang rokok. Gue bukan tipe yang tiap hari ngerokok, hanya beberapa waktu aja gue suka butuh rokok.
Gue juga gak begitu suka bau asap rokok, makannya di apartemen, gue gak pernah ngerokok dan melarang siapa pun yang datang buat ngerokok.
Perokok yang aneh ya gue?
Setelah sampai di luar gedung, kita mencari tempat untuk merokok.
"Eh, Nis. Sini?" Ucap Harry sambil melambaikan tangan ke arah kami.
Lambaian itu tidak dibalas dengan ucapan, hanya di balas dengan lambaian tangan Nisa tetapi arah jalan kita menuju ke Harry.
"Ini," ucap Harry menawarkan sebungkus rokok ke arah kami bertiga.
"Kita pada bawa rokok sendiri-sendiri kok, Har." ucap gue.
"Oh oke. Gue kira selera kalian sama kayak kita-kita, rokok apapun hayoo aja." ucap Harry yang hanya kita balas dengan tertawa kecil.
"Kok, lu bisa nekad gitu sih, Har. Ngerjainnya pake bantuan penggaris?" tanya gue.
"Gue udah mentok banget Ra, makannya gue pake penggaris. Kirain pak Indra gak bakalan tahu, ternyata salah besar gue."
"Emang lu gak tahu kalau pak Indra terkenal jeli dan teliti?" ucap Dinda.
"Tahu, kan itu emang rumor yang sering dibicarain para mahasiswa, Din. Cuman gue gak tahu kalau bakal sejeli itu."
"Ehh, kodok. Orang lain yang liat juga bakal tahu kalau lu pake penggaris." ucap Rio.
"Jelas banget ya?" tanya Harry lemas.
"Iyaa," balas gue serempak bersama beberapa mahasiswa yang lain.
Berangsur mahasiswa mulai memasuki gedung untuk kembali ke dalam ruang kuliah, hanya tertinggal gue, Dinda dan Nisa. Kita harus membeli permen buat penghilang bau rokok di mulut, Dewita bisa ngomel-ngomel nanti kalau gue masih bau asap rokok begini.
O iya, temen gue Sinta sama Mawar juga gak ngerokok kayak Dewita. Cuman mereka gak seribet Dewita yang bener-bener gak suka bau asap rokok. Sinta berhijab sedangkan mawar cewek femenim yang selalu pakai rok setiap ke kampus, jadi gue gak pernah nawarin atau ngajak mereka buat ngerokok. Biarkan tubuh mereka tetap sehat tanpa rokok, malah gue yang suka mewanti-wanti mereka buat gak mencoba rokok.
Setelah mendapatkan permen, kita bertiga bergegas kembali memasuki ruang perkuliahan dan menanti dosen pengajar selanjutnya.
~~~~
Akhirnya selesai juga perkuliahan hari ini, rasanya gue pengen cepet-cepet sampai rumah buat selonjoran di sofa empuk gue. Makan macaron yang dikasih Sammy semalem sama ditemani segelas hot choco yang tersaji di meja. Nikmat banget rasanya, baru aja sejenak membayangkan akan kenikmatan di dalam apartemen, tanpa sadar tangan ini ditarik paksa oleh seseorang.
"Ayo Ra?" ajak Dewita sambil menarik paksa tangan gue menuju pintu ruangan.
"Ke mana?" balas gue dengan ekspresi bingung.
"Ke rumah Dewa."
O iya, gue lupa kalau hari ini bakal ke sana. Aktifitas perkuliahan hari ini ngebuat gue bisa lupa, padahal gak biasanya gue begini.
"O iya, lupa gue Wit."
"Gue tunggu di deket rumah bu kantin ya?"
"Oke Wit."
Kami berdua bergegas ke parkiran kampus untuk segera menuju rumah ibu kantin, untuk minta tolong nitip motor. Biasanya gue dan Dewita selalu bawa makanan atau minuman kalau mau mengambil motor di rumah ibu kantin, hitung-hitung sebagai ungkapan terima kasih karna udah bersedia membantu.
Anak-anak ibu Karsiyah selaku ibu kantin yang selalu gue repotin memiliki dua anak yang masih duduk di bangku SD dan TK. Mereka seneng banget kalau gue dan Dewita bawa bingkisan ke rumah mereka, mereka akan sering mengucapkan "makasih kak" sampai kami bener-bener berpamitan untuk pulang.
Tring, bunyi pesan group di hp gue.
"Kalian pada di mana?" Dewa.
"Kita ketemu di depan kampus, gue lagi ke suatu tempat sama Ara." balas Dewita.
"Oke." balas Dewa.
Gue tadi udah bilang ke ibu Karsiyah buat nitip motor di rumahnya, dan beliau ngasih gue kunci cadangan rumahnya buat jaga-jaga kalau anak-anaknya belum pada pulang dari rumah bibinya. Karna biasanya mereka dititipkan ke adik ibu Karsiyah selaku bibi anak-anak sampai menunggu ibu Karsiyah atau suaminya pulang untuk menjemput mereka. Jadi, gue disuruh masuk aja ke dalam rumah dan menaruh motor di dalamnya.
Sepercaya itu bu Karsiyah sama gue, jadi gue gak mungkin kan cuman sebatas nitip aja terus bilang makasih doang. Dan benar saja, anak-anak ibu Karsiyah belum pulang ke rumah dan rumah bener-bener sepi. Tapi sesaat kemudian datang bapak-bapak mengendarai sepada motor ke arah gue, yang mana gue baru aja turun dari motor.
"Eh, nak Ara. Mau nitip motor ya?" ucap seorang bapak-bapak yang tak lain adalah pak Karto suami bu karsiyah.
O iya, beliau ini bukan pak Karto dosen pembimbing gue ya, tapi suami bu Karsiyah.
"Iya, pak. Bolehkan Ara nitip?" jawab gue sambil menyalami tangan pak Karto.
"Ya, boleh lah nak. Yaudah ayo masuk, tolong kamu bukain pagarnya ya!" perintah pak Karto.
"Baik, pak."
Pak Karto bekerja sebagai kuli bangunan, kadang kalau gak ada pekerjaan, pak Karto ngebantu bu Karsiyah di kantin kampus. Tapi kalau lagi ada pekerjaan ya bu Karsiyah sendiri, tapi kadang suka dibantu sama keponakannya.