**
Percayalah
Disaat engkau merasa buruk, pasti ada sebagian orang yang menganggap mu baik. Dan disaat engkau merasa baik, tetap akan ada yang menganggap mu buruk.
Jadi, bertanggung jawablah akan langkah dan keputusan yang selama ini kamu ambil.
Menyesal boleh, tapi jangan terlalu lama berada di sana.
Segeralah bangkit, lalu perbaiki.
Karna Tuhan akan selalu menyertai niat baikmu.
***
Hari ini menjadi hari perilisan novel terbaru gue, novel tersebut berjudul 'Kisah Cinta si Gadis Selingkuhan'. Membaca dari judulnya saja sudah pasti penuh akan berbagai masalah. Tapi memang terkadang, cerita cinta bukan hanya milik dua orang saja.
O iya, cerita ini milik seorang wanita tanpa nama jelas yang menceritakan kisahnya ke gue melalui email beberapa bulan yang lalu. Gue harap dia bisa lebih berbahagia, karna telah mampu bercerita tentang kesalahannya, ketakutannya, keinginannya, dan perjuangannya.
O iya, ada satu box di secret room yang tidak pernah gue buka, box tersebut bertuliskan 'kepergian'. Terkadang ada hasrat ingin mengetahui, tapi naluri hati lebih besar untuk menolak. Pasti moment dan kenangan yang dulu pernah gue tulis disitu, sangat menyedihkan.
Dan hari ini gue mencoba untuk membaca dan mengingat kembali moment tersebut. Terima kasih untuk sang wanita yang telah berbagi kisahnya hingga mampu membuat gue terinspirasi dan menyelesaikan novel 'Kisah Cinta si gadis Selingkuhan' ini.
Terima kasih juga karna akhirnya mendorong gue untuk berani membuka dan mengingat kembali tentang segala hal yang berkaitan tentang kepergian. Bergegas gue buka tutup box tersebut, dan disambut dengan foto seekor kucing tertempel disebuah buku bertuliskan 'Chiko 2005-2008'.
"Chiko," ucap gue lirih.
***
Flashback.
3 April 2005 adalah hari pertama gue bersama Chiko. Kita hidup bersama hampir 3 tahun lamanya, Chiko adalah kucing liar yang dibawa pulang oleh papa saat pulang dari bekerja.
"Assalamualaikum," ucap papa.
"Waalaikumsalam," ucap mama sambil bergegas menuju pintu utama.
Gue yang masih asik dengan tontonan tv tidak menghiraukan langkah mama.
"Pah. Itu kasihan sekali," ucap mama yang ngebuat gue beranjak dari kursi untuk menimbrung dengan mama.
Di tangan papa ada seekor kucing kecil berjenis kucing kampung yang keadaannya sangat buruk. Kedua matanya tidak bisa terbuka karna tertutup nanah yang sudah mengering dan berdarah, mungkin karana efek sering digaruk sehingga mata si kucing sampai berdarah. Dia hanya mengeong-ngeong sambil mengerakkan kepala tak tentu arah di gendongan papa.
"Pah, mpus nya kasihan." ucap gue sambil menahan tangis.
Gue type orang yang sensitif dan cenggeng terhadap hewan, melihat papa memukul anak tikus yang berakhir dengan kematian mereka saja udah bikin gue nangis sesegukan.
Sambil berucap, "kasihan pah."
"Tadi katanya takut, udah dipukul sama papa ehh sekarang malah ditangisin. Haduhh cenggeng sekali anak mama ini," ucap mama geleng-geleng waktu itu.
"Ara mau bantuin papa?" ucap papa sambil duduk di kursi masih dengan menggendong si kucing kecil.
Sedangkan mama sudah beranjak ke dapur untuk mengambil minum untuk papa yang baru pulang bekerja.
"Mau pah," ucap gue sambil mengangukkan kepala.
"Bantuin papa untuk bujuk mama biar kita bisa rawat bareng-bareng si mpus di sini ya?"
"Iya pah. Ara nanti bilang ke mama, kasihan si mpus kalau diluaran sana."
Gue sama papa sebenernya sama-sama suka kucing, tapi tidak pernah memelihara mereka. Alasan kami tidak memelihara mereka karna mama tidak suka dengan hewan peliharaan. Bukan kucing aja sih, tapi hewan berjenis apapun itu mama gak pernah ngasih ijin.
"Iya, mama ijinin kok." ucap mama tiba-tiba dari arah dapur menanggapi pembicaraan gue sama papa tadi.
Karna letak dapur dan ruang tamu yang tidak terlalu jauh mama jadi mendengar pembicaraan kami.
"Beneran mah?" Tanya gue memastikan.
"Iya sayang, asal rajin-rajin dibersihin ya!"
"Iya mah, makasih." ucap gue senang dan dibarengi senyum bahagia dari papa.
"Kira-kira mau Ara kasih nama siapa mpusnya?" tanya papa.
"Mpusnya cowok atau cewek pah?"
"Cowok sayang."
"Hmmmm, Chiko aja gimana pah?"
"Chiko, hmm boleh sayang."
"Yaudah kalau gitu, sekarang Chiko diobatin dulu ya. Mama ambilin air hangat dulu untuk kompres matanya yang lagi sakit itu," ucap mama sambil menuju dapur.
Setiap pagi dan sore gue selalu sempetin untuk mengompres mata Chiko, mengompres ini bertujuan untuk menghilangkan sedikit demi sedikit nanah yang telah mengering diseluruh matanya.
Papa tidak berani membawa Chiko ke dokter hewan, karna takut akan dikenai biaya mahal. Mengingat bahwa papa hanya bekerja sebagai karyawan biasa di pabrik obat di daerah Jakarta timur, sedangkan mama hanya ibu rumah tangga biasa. Jadi niat kami membawa Chiko untuk berobat ke dokter hewan pun dibatalkan.
Papa tidak pernah mengijinkan mama bekerja sejak awal pernikahan mereka, alasannya pasti kalian tahu kan? Iya, soal penyakit mama yang memutuskan papa untuk melarang mama bekerja.
Hari demi hari keadaan Chiko mulai membaik, dia semakin aktif dan lincah. Seringnya Chiko ikut tidur bareng sama gue di kamar, walaupun setiap gue terbangun dari tidur gue gak bisa langsung ingat dia, tapi dia tetap berada di samping gue sampai gue kembali ingat tentang dia. Setelah gue ingat tentang dia dan menyebut nama dia, tatapan matanya seolah mengatakan
"akhirnya kamu ingat juga" lalu menempelkan kepala minta diusap-usap.
Setiap pagi Chiko mengantar kepergian papa bekerja dan gue sekolah, sama seperti mama yang selalu mengantar kami setiap akan mulai beraktifitas di luar. Dan di setiap gue dan papa pulang, Chiko akan menyambut kedatangan kami dengan setia menunggu di dekat pintu utama.
Chiko meninggal karna mengalami insiden tabrak lari persis terjadi di depan rumah. Hari itu kami sekeluarga duduk santai di depan rumah, berbagi cerita sambil memakan bakwan jagung buatan mama. Chiko juga duduk dipangkuan gue, tapi dia tiba-tiba turun dan menuju pagar rumah untuk keluar.
"Chiko, mau ke mana?" tanya gue yang dibalas Chiko dengan suara mengeong.
"Pacaran mungkin sayang, kan dia udah gede." ucap papa.
"Wah, si Chiko ganjen tu pah." balas gue.
"Hahaha, bisa aja kamu sayang." ucap papa diikuti senyum lucu dari mama.
Chiko memang sering main ke luar, tapi tetep ingat buat pulang ke rumah. Jadi kami tidak terlalu mengkhawatirkan kepergian Chiko ke luar pagar. Tak berselang lama, terdengar suara kucing mengeong sangat keras. Hingga membuat kami bertiga beranjak dari kursi menuju ke jalanan depan rumah untuk mengecek.
Jalanan depan rumah adalah jalanan utama di lingkungan tempat tinggal gue. Maka, akan banyak kendaraan berlalu lalang di jalanan tersebut.
Ternyata, suara yang kami dengar tadi adalah suara Chiko. Chiko tergeletak di pinggir jalan dengan nafas yang tersenggal-senggal tanpa ada darah sedikit pun di tubuhnya. Dan kami melihat ada sebuah sepeda motor telah melaju menjauhi Chiko, mungkin orang itu adalah orang yang sudah menabrak Chiko. Bergegas gue menghampiri Chiko diikuti papa mama yang berada di belakang gue.
Reflek gue memangku tubuh Chiko sambil beruraian air mata.
"Chiko, gak boleh pergi! Ayo buka matanya!" ucap gue sambil terisak-isak gemetaran.
Tubuh Chiko lemas tanpa tenaga, dengan mata tertutup dan air mata yang mengaliri wajahnya. Tidak ada darah dalam tubuh Chiko, tapi badannya seolah remuk tak mampu bergerak.
"Papa, papa. Chiko pah."
Masih dengan isakan tangis dan gumaman memanggil Chiko, gue menempelkan mulut ke Chiko untuk berusaha memberi nafas buatan ke Chiko. Konyol sekali gue waktu itu, tapi dulu yang ada di fikiran gue cuman pengen Chiko membuka kembali matanya dan mengeong-ngeong manja ke gue.
Tapi ternyata, semua yang gue ucapin dan gue lakuin gak ngaruh ke tubuh Chiko. Nafas Chiko makin melemah, tubuhnya makin lunglai dan suaranya makin menghilang di pangkuan gue. Hingga akhirnya dia benar-benar tidak bergerak sedikit pun dengan mata tertutup dan masih ada sisa-sisa air mata yang membasahi wajahnya.
"Pah, Chiko, pasti ngerasa kesakitan." ucap gue lirih.
Lalu, papa mengambil tubuh Chiko yang sedari tadi ada dipangkuan gue berucap,
"Sini, kita makamkan Chiko dengan baik sayang!"
Sambil merelakan Chiko di ambil papa untuk dibawa masuk ke dalam rumah dan dimakamkan, mama menuntun tubuh gue yang masih lunglai dengan deraian air mata untuk mengikuti langkah papa memasuki rumah.